Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor secara masif. Apa sebenarnya motivasi Jokowi melontarkan pernyataan tersebut?
Sejak menjamurnya berbagai platform e-commerce, konsumen Indonesia agaknya semakin dimudahkan dalam berburu barang-barang murah, terutama yang datang dari luar negeri. Bahkan beberapa produk yang sebagian besar berasal dari Tiongkok ditawarkan lebih murah dari pada barang yang sama dari produsen lokal.
Semakin gandrungnya masyarakat terhadap barang impor murah ini pun akhirnya mendapat perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Puncaknya, saat membuka Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan Tahun 2021 beberapa waktu lalu, eks Wali Kota Solo itu menggaungkan wacana cintai produk lokal, dan benci produk luar negeri.
Sontak penggunaan diksi “benci” ini pun memantik polemik di masyarakat. Banyak yang memandang pernyataan itu punya standar ganda lantaran pemerintah sendiri masih membuka keran impor secara masif.
Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno menilai pernyataan Presiden Jokowi yang mengajak masyarakat membenci produk asing itu merupakan wujud kegalauan pemerintah, sekaligus menunjukkan sikap paradoks. Sebab, saat ini hampir semua sektor melakukan impor. Padahal, banyak sektor yang sebenarnya bisa dikapitalisasi.
Namun di sisi lain, para pendukung Jokowi memandang bahwa pernyataan Presiden ini justru menunjukkan tingginya rasa nasionalisme seorang Kepala Negara.
Eks politikus Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean misalnya memandang ajakan Presiden tersebut merupakan cara untuk melindungi pengusaha-pengusaha lokal khususnya mereka yang bergerak di sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dari tekanan pandemi Covid-19. Ia pun menyayangkan berbagai pihak yang tak bisa menangkap maksud baik Presiden tersebut.
Jika memang benar demikian, sudah tepatkah langkah Presiden menggaungkan perang terhadap produk-produk asing?
Langkah Keliru?
Presiden Jokowi mungkin tak menyangka pernyataannya itu memantik polemik yang terus bergulir hingga hari ini. Ia pun mengaku heran mengapa pernyataannya tersebut justru diributkan publik.
Terkait dengan hal itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi sebenarnya telah “pasang badan” meluruskan pernyataan Presiden Jokowi. Menurutnya, pernyataan itu dilontarkan Kepala Negara setelah mendapatkan laporan darinya perihal e-commerce asing yang menjual produk impor secara tidak sehat dan membunuh UMKM lokal dengan melakukan predatory pricing, atau praktik menerapkan harga yang membunuh kompetisi.
Jika hanya bertolak dari pembelaan Mendag Lutfi, respons tegas Presiden Jokowi terkait praktik tersebut sebenarnya wajar dan sah-sah saja. Apalagi, di situasi krisis akibat pandemi Covid-19, UMKM menurut sejumlah analis punya peranan vital bagi kebangkitan perekonomian nasional.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia pun pernah menyebut bahwa pada krisis 1998, sektor UMKM lah yang dianggap telah menyelamatkan perekonomian nasional.
Pernyataan Bahlil cukup beralasan. Sebab secara agregat, UMKM memang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 60 persen. Angka ini paling besar jika dibandingkan sumbangsih ekonomi dari sektor bisnis lainnya.
Kendati demikian, jika dilihat dari konteks yang lebih komprehensif, langkah Presiden yang merespons praktik tersebut dengan menggunakan diksi keras seperti “benci” bisa jadi kurang tepat. Sebab pada kenyataannya, ada sejumlah permasalahan dalam negeri yang justru membuat produk-produk UMKM ini sulit untuk bersaing dengan produk-produk impor.
Asisten Deputi Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), Destri Ana Sari misalnya pernah menyoroti soal terbatasnya kualitas barang produksi UMKM. Ia menilai hal ini terjadi lantaran banyak industri rumahan yang menerapkan sistem chief of everything atau mempekerjakan satu orang untuk semua hal.
Selain dari segi kualitas barang, keterbatasan juga terjadi dari segi kuantitas. Artinya, produk UMKM menjadi kurang bersaing akibat jumlah produksi yang sedikit. Kondisi ini semakin diperparah akibat rendahnya tingkat digitalisasi dari UMKM.
Data Kemenkop UKM pada pertengahan 2020 lalu menyebut dari total 64,19 juta pelaku UMKM, baru 13 persen saja yang terhubung dengan pasar daring atau marketplace. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya saja rendahnya tingkat literasi digital hingga tak meratanya akses internet di berbagai daerah.
Dengan adanya sengkarut persoalan ini, maka menjadi wajar jika pernyataan Presiden Jokowi soal benci produk asing mendapat sorotan minor publik. Dari segi konsumen, Presiden bisa saja dianggap tak mampu menjamin hadirnya produk-produk dalam negeri yang berkualitas dan terjangkau, namun protes ketika masyarakat berusaha mencari alternatif yang tersedia.
Sementara dari segi pengamat kebijakan, Presiden bisa dianggap gagal memahami persoalan di dalam negeri, dan cenderung menyalahkan faktor eksternal. Hal ini, menurut Ekonom Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal, justru bisa menimbulkan retaliasi bagi produk Indonesia di luar negeri.
Jika memang begitu, lantas mengapa hal ini tetap dilakukan Presiden? Benarkah karena alasan nasionalisme seperti yang disinggung Ferdinand?
Nasionalisme adalah Ilusi?
Nasionalisme memang kerap menjadi titik fokus sejumlah analis dan pengamat politik. Dalam konteks dalam negeri, seorang peneliti dari Cornell University, Benedict Anderson, bahkan melakukan studi khusus yang mempelajari asal muasal dan tipologi nasionalisme yang tumbuh di Indonesia.
Dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Anderson menilai konsep nasionalisme di Indonesia tak pernah memiliki realitas objektifnya. Sebaliknya, Ia memandang bahwa slogan-slogan nasionalisme justru ada karena hasil fabrikasi kapitalisme melalui media massa dan literatur.
Ia menilai nasionalisme di tanah Jawa tidak akan pernah sama dengan nasionalisme di tanah Papua. Ini lah yang menurutnya menjadi sebab mengapa konflik horizontal seolah tak pernah berhenti menghantui Indonesia.
Lebih lanjut, Anderson menyebut pihak yang memiliki otoritas untuk menentukan penguatan atau pelemahan terhadap narasi nasionalisme adalah golongan elite dan borjuasi. Oleh karenanya, kontestasi politik di tingkat elite kemudian kerap menimbulkan potensi lahirnya konflik horizontal.
Namun, meski dianggap sebagai sebuah imajinasi oleh Anderson, nasionalisme faktanya tetap menjadi faktor penting dalam pembangunan ekonomi dalam negeri, tak terkecuali di pemerintahan Jokowi.
Kyunghoon Kim dalam Indonesia Juggles Globalism and Nationalism menyebut Presiden Jokowi menggabungkan nilai-nilai globalisme dan nasionalisme dalam upaya pembangunan ekonominya.
Di satu sisi, pemerintah menyambut dengan tangan terbuka kehadiran investor asing dengan menggunakan serangkaian reformasi regulasi. Namun di sisi lain, Presiden Jokowi tetap mengadopsi kebijakan ekonomi nasionalistik yang dapat dilihat dari tiga faktor.
Pertama, pemerintah tetap menekankan pentingnya swasembada. Kedua, Pemerintah menempatkan perusahaan milik negara sebagai leading sector dalam pembangunan infrastruktur dan menghidupkan kembali industrialisasi. Ketiga, pemerintah berusaha memperkuat kedaulatan atas sumber daya ekonomi Indonesia, misalnya saja dengan menggalakan patroli terhadap para pencuri ikan di perairan Indonesia.
Berangkat dari sini, pernyataan Ferdinand yang menilai bahwa pernyataan Presiden Jokowi soal benci produk asing sebagai wujud rasa nasionalisme seorang Kepala Negara dalam derajat tertentu bisa jadi benar adanya.
Namun yang jadi pertanyaan benarkah karena murni dorongan rasa nasionalisme semata?
Economic Insecurity
Dalam konteks ekonomi, tumbuhnya nilai-nilai nasionalisme sebenarnya tak hanya dimotivasi oleh kecintaan terhadap tanah air. Melainkan rasa nasionalisme tersebut bisa juga muncul di tengah situasi ketidakpastian ataupun memupuknya rasa tidak aman secara ekonomi (economic insecurity).
Nouriel Roubini dalam tulisannya Economic Insecurity and The Rise of Nationalism, kemudian menyebut ada semacam anomali di negara-negara Asia yang menerapkan prinsip nasionalisme dalam pembangunan ekonominya, termasuk Indonesia.
Anomali itu terkait dengan tendensi untuk menyalahkan perdagangan asing dan pekerja asing terhadap menurunnya performa ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini kemudian membuka ruang bagi kekuatan politik populis untuk mempromosikan kebijakan-kebijakan proteksionis.
Namun demikian, di saat yang sama, Roubini melihat kebanyakan negara-negara seperti ini cenderung tak menyadari bahwa mereka harus mengatasi tantangan reformasi struktural di internal untuk dapat mengatasi terhambatnya pertumbuhan ekonomi.
Jika kita kaitkan kembali dengan pendapat Anderson yang menilai bahwa nasionalisme dalam konteks Indonesia lebih bersifat ilusi, maka kebijakan proteksionis yang lahir boleh jadi juga bersifat naratif belaka. Pemerintah sepertinya tidak akan pernah benar-benar serius untuk melakukan pelarangan produk-produk asing secara total.
Di titik ini, maka sebenarnya kurang tepat menyebut kampanye benci produk asing murni sebagai wujud rasa nasionalisme Presiden Jokowi semata. Sebaliknya, pernyataan reaktif semacam ini patut dicurigai muncul karena didorong rasa economic insecurity di tengah krisis pandemi Covid-19 yang belum mereda.
Pada akhirnya sekelumit analisis ini merupakan argumentasi interpretatif yang masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Namun setidaknya bisa disepakati bahwa untuk dapat menyelesaikan persoalan predatory pricing, pemerintah sebaiknya fokus menyelesaikan segudang persoalan internal yang menghambat daya saing produk lokal, bukan hanya sekadar melontarkan gertakan-gertakan. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.