Site icon PinterPolitik.com

Bencana Palu, Bencana Petahana?

Bencana Palu Bencana Petahana

Foto : Istimewa

Tak jarang kubu oposisi menjadikan isu bencana sebagai ajang untuk mencari kelemahan pemerintah dan kemudian mengolahnya untuk kepentingan elektoral.


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]encana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala menjadi tragedi kemanusiaan yang memilukan bagi Indonesia. Belum sembuh dari luka gempa Lombok, Indonesia harus menghadapi musibah bencana alam yang merenggut banyak nyawa ini.

Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, melaporkan bahwa korban tewas kembali meningkat menjadi 1.407 orang, dan diprediksi akan terus bertambah.

Sementara yang luka berat ada 2.549 orang, hilang 113 orang, dan yang tertimbun 152 orang. Adapun pengungsi jumlahnya lebih dari 73.000 orang.

Seiring bertambahnya korban, kritik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kian bermunculan dari berbagai sisi. Penyaluran bantuan, baik logistik maupun tenaga ahli, kebijakan terkait penanganan korban, serta masuknya bantuan asing tak luput menjadi celah kritik yang diumbar.

Dalam menghadapi Pilpres 2019, penanganan bencana menjadi arena pertaruhan legitimasi bagi Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintah sekaligus sebagai calon wakil presiden. Share on X

Menariknya, kritik yang muncul tidak menyoal kemanusiaan saja, melainkan juga memanfaatkan momentum tahun politik menyerang Jokowi. Bencana pada akhirnya menjadi dimensi pertarungan legitimasi politik.

Tak jarang kubu oposisi menjadikan isu bencana sebagai ajang untuk mencari kelemahan pemerintah dan kemudian mengolahnya menjadi manuver politik tertentu. Lalu bagaimana sesungguhnya dampak penanganan bencana dapat berpengaruh secara politik bagi seorang pemimpin?

Pertaruhan Legitimasi Jokowi

Di saat bencana, peran pemerintah menjadi vital. Kebijakan-kebijakan penanganan jangka pendek dan jangka panjang, serta koordinasi berbagai instansi terkait menjadi sorotan publik.

Dalam menghadapi Pilpres 2019, penanganan bencana menjadi arena pertaruhan legitimasi bagi Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintah sekaligus sebagai calon wakil presiden. Kapabilitas dan tanggung jawab dalam menangani bencana pada akhirnya bisa dimanfaatkan sebagai celah bagi oposisi untuk menyerang pemerintah.

Sejauh mana penanganan bencana mampu mempengaruhi legitimasi dan elektabilitas seorang pemimpin?

Pertaruhan legitimasi ini sebenarnya bagaikan pisau bermata dua untuk Jokowi. Di satu sisi, penanganan bencana secara tepat akan efektif mendongkrak legitimasi pemerintah, sehingga rakyat mendukung dan percaya sepenuhnya pada memerintah.

Hal ini pernah terjadi di Jerman pada masa pemerintahan Kanselir Gerhard Schrӧder. Evelyn Bytzek dalam tulisanya Flood response and political survival: Gerhard Schrӧder and the 2002 Elbe flood in Germany menyebut bahwa  a well-prepared government atau pemerintah yang mempersiapkan diri dengan baik yang mampu merespons secara efektif dan bertanggung jawab ketika mengatasi dampak bencana alam, memungkinkan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan dukungan rakyat.

Bantuan dan rehabilitasi yang masif dari Gerhard Schroder pasca banjir bandang Elbe yang menimpa Jerman di tahun 2002, membuatnya terpilih kembali sebagai kanselir Jerman dalam Pemilu pada tahun yang sama .

Namun di sisi lain, ketidakefektifan penanggulangan bencana juga dapat menjadi bencana itu sendiri bagi pemerintahan petahana.

Bertrand Albala dalam bukunya Political Economy of Large Natural Disasters: With Special Reference to Developing Countries menjelaskan bahwa sejarah politik bencana alam mencatatkan banyak pemerintah kehilangan legitimasi yang menyebabkan perubahan rezim, dan bahkan disintegrasi negara.

Misalnya pasca bencana gempa bumi twin yang melanda Meksiko pada 1985 secara serius menyebabkan runtuhnya legitimasi Partido Revolucionario Institucional (PRI) sebagai partai petahana yang telah memimpin selama lima puluh tahun.

Sementara dalam konteks politik Indonesia, Kyle Breardsley dalam jurnalnya Rebel Groups as Predatory Organizations: The Political Effects of the 2004 Tsunami in Indonesia and Sri Lanka menyebut bahwa bencana gempa dan tsunami Aceh adalah momentum keberhasilan integrasi bangsa di mana pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memanfaatkan momentum tersebut untuk mempercepat proses perjanjian damai di Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia.

Akhir tahun ini mungkin menjadi akhir tahun yang menyesakkan bagi pemerintahan Jokowi. Di sinilah komitmen pemerintah diuji menjelang tahun politik. Bisa jadi jika Jokowi dan pembantu-pembantunya tak solid dalam penanganan bencana Palu-Donggala, akan mengantarkannya pada kekalahan di Pilpres mendatang.

Gagal Tangani Bencana, Gagal 2 Periode?

Pertaruhan legitimasi dalam penanganan bencana Palu-Donggala pada akhirnya menjadi isu serius bagi Jokowi sebagai calon presiden menjelang Pilpres 2019.

Seperti yang diberitakan Reuters, urgensi upaya penyelamatan korban bencana menjadi penting seiring meningkatnya frustrasi karena kurangnya pasokan makanan, bahan bakar, dan alat berat.

Hal ini terlihat dari serangan-serangan negatif di media massa, terutama yang berasal dari kubu oposisi.

Terlebih saat media dihebohkan dengan pemberitaan penjarahan di Palu. Pemerintah dianggap salah langkah saat membiarkan masyarakat Palu mengambil bahan makanan di toko dan minimarket secara liar.

Kala itu, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menghimbau masyarakat agar dapat mengambil bahan makanan di Indomart dan Alfamart. Ia mengklaim bahwa kebijakan itu mendesak karena sulitnya bantuan kemanusiaan masuk ke Palu akibat rusaknya  jalan raya dan landasan pacu bandara.

Karena kecerobohan pemerintah tersebut, Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang sekaligus sebagai bagian dari oposisi, mengusulkan pembentukan tim pengawas pemulihan dan rehabilitasi pasca gempa dan tsunami.

Ia menilai pemerintah tidak profesional dalam penanganan tanggap darurat bencana khususnya terkait koordinasi antar lembaga pemerintah. Fadli bahkan menyebut pemerintah amatir dalam penanganan bencana.

Selain itu, oposisi juga mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan status bencana nasional bagi gempa dan tsunami di Palu-Donggala. Desakan ini dinilai oleh pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati menjadi alat kritik pihak oposisi dan sarat akan politisasi.

Isu masuknya bantuan asing juga berisiko membuat marah para kelompok nasionalis karena Jokowi dianggap tidak konsisten dalam menangani bencana. Pemerintah sebelumnya menghindari bantuan asing ketika gempa bumi melanda Lombok, namun kini justru membuka kran bantuan internasional dalam kasus gempa Sulawesi.

Dalam laporan Reuters, bahkan isu itu pun berhasil dipelintir oleh salah satu politisi senior Gerindra, Sodik Mudjahid, yang menyatakan: “Kita tidak boleh melakukan hal yang akan merugikan kedaulatan kita”.

Tindakan Jokowi bisa menjadi senjata ampuh bagi oposisi mengingat survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Deny JA mengatakan, sebanyak 48,4 persen responden lebih mendukung Jokowi-Ma’ruf pasca gempa Lombok dan hanya 1,6 persen responden yang tidak mendukung. Jika oposisi berhasil menggiring opini publik bahwa ia telah membuat kebijakan yang tidak adil antara penanganan gempa Lombok dan Palu-Donggala, tentu hal ini akan berpotensi menjadi masalah besar bagi Jokowi.

Zahidul Arefin Choudhury dari University of Iowa, Amerika Serikat mengatakan bahwa tanggapan pemerintah yang buruk terhadap bencana berpotensi memunculkan kritik terhadap petahana, munculnya protes anti pemerintah, dan munculnya pemilih anti petahana dalam Pemilu mendatang.

Jika muncul keluhan publik secara meluas, maka klaim moral dari petahana untuk tetap berkuasa berkurang secara substansial. Dampaknya akan memperburuk elektabilitas petahana itu sendiri serta memungkinkan terjadinya perubahan rezim.

Kasus tersebut pernah terjadi di Pakistan dan Bangladesh. Bencana topan Aila pada 2009 menyebabkan delegitimasi kekuasaan, di mana pemerintahan Left-Front (LF) di negara bagian Bengal Barat, India kehilangan dukungan dari rakyatnya dalam pemilu karena masyarakat terlanjur menganggap bahwa pemerintah gagal menangani bencana. Hal serupa juga terjadi pada pemerintahan Fakhruddin di Bangladesh pasca bencana angin topan Sidr pada 2007.

Begitu juga dengan banjir bandang yang melanda Pakistan pada tahun 2010 yang menyebabkan hilangnya dukungan publik bagi pemerintah yang pada waktu itu baru terpilih. Diduga hal itu terjadi karena pemerintah dianggap tidak menaruh perhatian lebih terhadap bencana yang sedang terjadi.

Dalam konteks politik Indonesia, Keith Loveard, analis senior di Concord Consulting menyebut bahwa dalam jangka panjang, bisa saja terjadi manipulasi psikologis korban bencana maupun masyarakat secara luas  dalam mobilisasi kemarahan masal yang merasa kekurangan bantuan bencana. Bahkan efek politiknya akan lebih besar karena karakter masyarakat Indonesia yang mudah terpolarisasi. Jika demikian, mungkinkah Jokowi akan bernasib sama? Menarik untuk ditunggu. (M39)

Exit mobile version