HomeNalar PolitikBencana Alam, Momentum Politik Risma?

Bencana Alam, Momentum Politik Risma?

Di tengah rentetan bencana alam yang melanda berbagai wilayah di Indonesia, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menjadi salah satu pejabat yang paling sibuk. Ia melakukan kunjungan ke berbagai lokasi guna menyalurkan bantuan. Akankah ini menjadi momentum politik yang menguntungkan eks Wali Kota Surabaya tersebut?


PinterPolitik.com

Belum genap satu bulan memasuki tahun 2021, rentetan bencana melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Tak ayal kabar mengenai musibah ini menjejali lini masa dalam beberapa hari terakhir. 

Di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat telah terjadi bencana longsor yang mengakibatkan puluhan nyawa melayang dan belasan masih belum diketahui rimbanya. Di hari yang sama kabar buruk juga datang dari dunia penerbangan nasional, di mana pesawat Sriwijaya Air bernomor SJ-182 tujuan Pontianak, Kalimantan Barat kandas di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, bersama 62 orang di dalamnya. 

Belum tuntas upaya pemerintah dalam melakukan pencarian korban Sriwijaya Air, kabar bencana datang lagi, kini dari Kalimantan Selatan (Kalsel). Dikabarkan hampir seluruh wilayah di sana dilanda banjir yang disebut-sebut terparah sepanjang sejarah Kalimantan Selatan. 

Tak lama dari tersiarnya kabar banjir di Kalsel, gempa berkekuatan 6,2 pada skala richter (SR) mengguncang wilayah Majene, Sulawesi Barat. Gempa dengan kedalaman 10 km ini juga memicu kerusakan, korban jiwa, dan menimbulkan keresahan bagi masyarakat setempat.

Menanggapi rentetan bencana yang terjadi di berbagai daerah ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun langsung memerintahkan pembantu-pembantunya bergerak cepat. Mantan Wali Kota Solo itu menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah akan selalu hadir di tengah-tengah lokasi bencana. 

Dari sekian banyak para pembantu Presiden, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini agaknya menjadi salah yang paling sibuk di situasi seperti saat ini. Pos kementerian yang diampunya mau tak mau memang membuat dirinya menjadi sosok sentral dalam penanggulangan bencana. Ia bahkan telah mengunjungi tiga lokasi berbeda dalam beberapa waktu terakhir. 

Dalam keterangan persnya politikus PDIP itu, sejak bencana terjadi, kementeriannya langsung melakukan upaya penanganan dampak di lapangan. Upaya ini dilakukan melalui pilar sosial seperti pelibatan Tagana, pekerja sosial, dan juga Unit Pelayanan Teknis (UPT) di masing-masing daerah setempat. 

Dalam konteks pemerintahan, bencana alam merupakan salah satu aspek yang tak bisa dilepaskan dari dimensi politik dan kebijakan. Penanggulangan bencana dalam beberapa kondisi bahkan dapat menguntungkan posisi seseorang secara elektoral. 

Menyikapi hal tersebut, maka yang menjadi menarik untuk dipertanyakan apakah peran sentralnya dalam penanggulangan rentetan bencana di awal tahun ini akan memberikan keuntungan politik bagi Risma?

Politik Penanggulangan Bencana

David R. Weise, Tom Pyszczynski dan kawan-kawan dalam tulisan mereka yang berjudul The Role of Terror Management and Attachment Processes in Shaping Political Preferences menemukan bahwa secara psikologis ancaman kematian dapat menentukan preferensi dan orientasi politik seseorang.

Hal tersebut memungkinkan politisi, pemangku kebijakan, hingga pemimpin dapat menggunakan taktik persuasif dengan memaksimalkan pemaknaan psikologis, termasuk ketakutan maupun ancaman akan kematian, untuk meraih dukungan publik dan kepentingannya.

Baca juga :  Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush adalah salah satu pemimpin yang dinilai berhasil menggunakan strategi tersebut. Hal ini terlihat dari cara Bush dalam mengakomodasi kekhawatiran dan ancaman terhadap keselamatan jiwa rakyat negeri Paman Sam pasca teror 11 September 2001. Langkah ini bahkan dinilai berhasil menarik simpati dan dukungan publik yang turut berkontribusi pada terpilihnya kembali dirinya pada Pilpres AS 2004.

Tak hanya Bush, penerusnya, Barack Obama pun disebut memanfaatkan situasi darurat seperti bencana untuk mendulang dukungan politik. Namun ironisnya, Obama justru memanfaatkan kesalahan pemerintahan Bush dalam penanganan Badai Katrina. 

Tom McCarthy dalam tulisannya di The Guardian membahas bagaimana Obama menggunakan peringatan 10 tahun bencana Badai Katrina di New Orleans untuk mendapatkan momentum politik. Dalam pidatonya, Obama menyebut bahwa kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya kala itu telah membuat Badai Katrina yang merupakan bencana alam menjadi bencana buatan manusia. 

Saat Badai Katrina terjadi pada 2005 lalu, memang sempat bocor percakapan dari Gedung Putih yang menyatakan bahwa tak perlu ada upaya evakuasi besar-besaran di New Orleans – daerah paling terdampak – karena populasi Afrika-Amerika alias kulit hitam terbanyak berada di sana. Beredarnya rekaman ini pun langsung memantik kemarahan publik AS. 

Buruknya mitigasi pemerintahan Bush dalam bencana Katrina merupakan titik awal dari kejatuhannya. Isu ini pun kerap jadi andalan Obama untuk mengkritik Partai Republik dan mendulang dukungan, dari sejak Ia belum menjabat sebagai Presiden bahkan hingga akhirnya berhasil menduduki Gedung Putih. 

Di dalam negeri, bencana alam nyatanya juga tak bisa dilepaskan dari aspek politik. Pada gelaran Pilpres 2019 lalu misalnya, baik kubu petahana maupun penantang disebut sama-sama memanfaatkan situasi bencana untuk meraih simpati publik. 

Gempa berkekuatan 7 SR yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat, Agustus 2018 lalu mengundang simpati dari berbagai pihak. Presiden Jokowi mengunjungi Lombok untuk melihat secara langsung penanganan pasca gempa, disusul bakal cawapres Sandiaga Uno dua hari kemudian yang juga ingin memberikan santunan, kegiatan sosial, dan bantuan kepada masyarakat korban gempa.

Pengamat politik Habibie Center, Bawono Kumoro kala itu menyebut kunjungan Jokowi maupun Sandi ke Lombok tersebut tentu perlu diapresiasi dari sisi kemanusiaan. Namun, sebagai tokoh politik tentu kunjungan Jokowi maupun Sandi ke Lombok tersebut tak bisa dipungut juga sebagai sebuah langkah politik. Apalagi, di era pemilu langsung sekarang ini, terjun langsung ke masyarakat menjadi salah satu cara kampanye yang efektif.

Berangkat dari pengalaman tokoh-tokoh tadi, mungkinkah rentetan bencana di awal 2021 ini juga dapat menjadi momentum yang menguntungkan Risma dari segi politik?

Waktunya Risma Berjaya?

Sedari awal dilantik sebagai Mensos, Risma telah menuai sentimen minor karena aksi-aksinya melakukan blusukan di sejumlah wilayah di DKI Jakarta. Saat itu, tak sedikit yang menuding Ia tengah melakukan pencitraan karena dianggap mengincar kursi DKI-1 yang kini tengah diduduki Anies Baswedan. 

Baca juga :  Anies Bantu Prabowo Melupakan Jokowi?

Akibat aksi-aksi blusukannya yang fokus di wilayah Ibu Kota, banyak yang menyebut Risma sebagai ‘menteri rasa wali kota’. Ia pun ditantang untuk melakukan aksi serupa di daerah lain. 

Safari Risma yang mengunjungi sejumlah lokasi-lokasi bencana akhir-akhir ini tentunya dapat menjawab sentimen minor tersebut. Di samping melaksanakan tugasnya, rentetan bencana yang terjadi belakangan ini bisa saja dijadikan momentum bagi Risma untuk mendulang keuntungan politik. 

Alexander J Oliver dan Andrew Reeves dalam The Politics of Disaster Relief mengatakan upaya penanggulangan bencana dapat dijadikan salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaan. 

Mengutip pemikiran filsuf asal Italia, Niccolo Machiavelli, mereka menilai bahwa kemampuan untuk bereaksi dengan fleksibel dalam menghadapi kejadian tak terduga akan membuat seorang penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya. 

Dalam banyak kesempatan, masyarakat memang kerap menimpakan kesalahan terjadinya bencana, termasuk bencana alam, kepada para politikus petahana. 

Kendati begitu, sentimen minor ini menurut mereka dapat diimbangi dengan respons yang dilakukan oleh pejabat terkait dalam mengambil tindakan untuk menanggulangi bencana. Bahkan dalam beberapa kasus, hal itu justru bisa memberikan stimulus politik. 

Senada, Anna McCord dalam tulisan berjudul The Politics of Social Protection: Why Are Public Works Programmes So Popular with Government and Donors? juga mencoba mengulik elemen politik dalam program proteksi sosial, termasuk dalam hal kebencanaan.

Anna menyebut wacana program proteksi sosial dapat memberikan keuntungan politik berupa stabilitas keamanan, risiko ekonomi dan sebagainya. Program seperti ini memang memiliki keuntungan langsung atau tidak langsung terhadap tujuan ekonomi dan politik tertentu, serta bisa dianggap sebagai strategi yang populis. 

Dengan jalan tersebut, mudah bagi seseorang untuk memikat publik, sehingga memberikan keuntungan secara politik baginya dalam konteks elektoral.

Anna juga menyebutkan bahwa program-program semacam ini seringkali muncul saat seseorang memerlukan dukungan politik tertentu. Inilah yang menjadi dimensi politik dari rencana program sosial.

Dengan kondisi Indonesia yang sering tertimpa bencana alam, maka cukup mudah bagi Risma untuk mengambil insentif politik dari momentum-momentum bencana seperti yang terjadi saat ini. Apalagi kementerian yang dipimpinnya  memang tak bisa dilepaskan dari sektor bencana alam dan bantuan sosial. 

Kendati demikian, apakah situasi bencana benar-benar akan menjadi momentum politik yang menguntungkan Risma hanyalah waktu yang sanggup menjawabnya. Namun yang jelas, di titik ini perlu disadari bahwa mitigasi di tengah situasi bencana tetap merupakan hal yang harus diutamakan. 

Mari berdoa saja semoga rentetan bencana alam ini dapat segera ditangani dengan baik, dan tak menimbulkan kerugian lebih banyak lagi. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...