Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) menuding program biodiesel 35 persen atau B35 menjadi penyebab langkanya minyak goreng bersubsidi “Minyakita” di pasaran. Tudingan yang langsung dibantah sesama menteri itu seakan menjadi bentuk manuver politik Zulhas menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Benarkah demikian?
Kelangkaan dan melonjaknya minyak goreng tak jarang menjadi polemik di Indonesia. Kebutuhan dalam negeri yang tinggi kerap tidak diimbangi dengan pasokan memadai ke pasaran.
Permasalahan minyak goreng ini yang kemudian di duga banyak pihak menjadi salah satu faktor reshuffle Menteri Perdagangan (Mendag) saat itu Muhammad Lutfi yang digantikan oleh Zulkifli Hasan (Zulhas).
Kelangkaan dan melonjaknya harga minyak goreng di pasaran membuat pemerintah meluncurkan program minyak goreng bersubsidi pada pertengahan 2022 lalu. Minyak goreng tersebut bermerk “Minyakita”.
Minyakita seolah sukses menjadi solusi dari pemerintah untuk mengatasi melonjaknya harga minyak goreng pada saat itu. Harga eceran per liter Minyakita adalah Rp14 ribu pada saat awal diluncurkan.
Kini, permasalahan yang sama kembali muncul. Kelangkaan minyak goreng Minyakita kembali menimbulkan polemik.
Polemik yang hadir saat ini seakan diperparah dengan pernyataan Zulhas selaku Mendag yang menuding program biodiesel 35 persen atau B35 menjadi salah satu faktor yang membuat Minyakita menjadi langka.
Dalam program B35, pemerintah akan meningkatkan persentase campuran bahan bakar bakar nabati ke dalam bahan bakar minyak jenis solar dari 20 persen pada B20 menjadi 35 persen. Pasalnya program itu meningkatkan penggunaan Crude Palm Oil (CPO), bahan baku minyak goreng konsumsi.
Namun, pernyataan Zulhas tersebut dibantah oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Mereka kompak menyatakan bahwa kelangkaan Minyakita di pasaran bukan disebabkan oleh program B35.
Airlangga menyebut pemerintah sudah meningkatkan kebutuhan minyak sawit dalam negeri dari 300 ribu kiloliter (kl) menjadi 450 ribu kl. Di lain sisi, tekanan pasar ekspor di Eropa juga akan mengurangi permintaan, yang kemudian dikompensasikan dengan kehadiran B35.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pentingnya mengetahui pembagian penggunaan minyak sawit untuk energi dan sektor lainya.
Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengaku kurang yakin persoalan Minyakita terletak pada program B35.
Menurutnya, suplai bahan baku program tersebut sudah diperhitungkan dengan baik oleh Pertamina, terlebih program biodiesel sudah lebih dulu ada dibandingkan dengan Minyakita.
Ronny menilai Kementerian Perdagangan (Kemendag) gagal memberikan kepastian pasokan Minyakita kepada pasar sehingga menyebabkan harganya melonjak diatas harga eceran tertinggi (HET).
Sebagai produk, Minyakita cukup kompetitif untuk sebuah produk minyak kemasan dengan HET Rp14 ribu per liter. Maka, tidak heran jika masyarakat lebih memilih Minyakita dibanding minyak goreng kemasan lain atau bahkan minyak goreng curah.
Hal ini yang tampaknya tidak dapat diperkirakan oleh Kemendag selaku pihak yang menginisiasi produk tersebut. Ketimpangan supply dan demand membuat Minyakita mulai langka dari pasaran.
Lantas, mengapa Zulhas menuding B35 menjadi salah satu faktor penyebab langkanya Minyakita di pasaran?
Zulhas Maksimalkan “Panggung”?
Pernyataan Zulhas tampaknya dapat dilihat sebagai bentuk lempar tanggung jawab terhadap kelangkaan produk minyak goreng bersubsidi yang dia luncurkan sendiri. Dia seolah menyalahkan faktor dari pihak lain yang menghalangi program kementeriannya.
Zulhas menuding bahwa implementasi B35 menjadi salah satu penyebab langkanya Minyakita di pasaran. Sebuah gestur yang agaknya juga memanfaatkan momentum politik untuk kepentingan tertentu.
Luis Rubio dalam publikasinya yang berjudul Time in Politics menyebut momentum atau waktu yang tepat sangat esensial dalam komunikasi dan manuver yang memiliki irisan dengan aspek politik.
Rubio menjelaskan bahwa kecenderungan segala keputusan dan tindakan tertentu dapat memiliki efek dan impresi yang sangat berbeda, tergantung pada momentum dan kapan keputusan maupun tindakan itu dibuat.
Singkatnya, setiap peristiwa yang mengandung unsur politis erat dengan bagaimana konstruksi momentum itu dapat dimaksimalkan.
Senada dengan apa yang dijelaskan Rubio, John Gibson dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events juga mengemukakan hal serupa dari pentingnya momentum yang dapat memengaruhi peristiwa politik dalam konteks memaksimalkan benefit politik atau meminimalkan biaya politik dari para aktor.
Merujuk dari apa yang di jelaskan Rubio dan Gibson diatas, pernyataan Zulhas yang menuding bahwa program B35 menjadi “biang kerok” atas langkanya Minyakita di pasaran kemungkinan terdapat intrik politis di belakangnya.
Tampaknya, Zulhas sadar jabatan dia sebagai Mendag membuatnya mempunyai ruang gerak politik lebih yang sebelumnya tidak dimiliki ketika hanya menjadi Ketua Umum (Ketum) PAN.
Momentum kelangkaan Minyakita dan mulai di jalankannya program implementasi B35 dimanfaatkan Zulhas dengan seakan melemparkan tanggung jawab terhadap pihak yang dianggapnya menghalangi ide dan program kementeriannya.
Jika kita lihat ke belakang, ini bukan pertama kali Zulhas memanfaatkan momentum yang dia dapatkan sebagai Mendag untuk “bermanuver”.
Pada saat melakukan sidak pertama menjabat sebagai Mendag pada Juni 2022 lalu, Zulhas tampak seolah kaget dengan naiknya harga bahan sembako di pasaran.
Ini jelas cukup mengherankan, mengingat pada saat itu berita tentang kenaikan harga bahan pokok sedang menghiasi berbagai macam headline berita nasional.
Zulhas pada saat itu berdalih bahwa dirinya jarang belanja ke pasar sehingga tidak tahu harga bahan pokok naik.
Kemudian pada Juli 2022, Zulhas yang memang belum lama dilantik sebagai Mendag ikut mengkampanyekan putrinya di wilayah kecamatan Teluk Betung, Lampung yang akan maju sebagai calon anggota legislatif pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Hal itu bermula dari acara pasar murah minyak goreng Minyakita yang digelar PAN dengan harga Rp10 ribu per 2 liter.
Zulhas lantas meminta para peserta yang datang untuk menyimpan kembali uang tersebut lantaran sudah dibayar oleh putrinya. Sebagai gantinya, mereka diminta untuk memilih putrinya yang akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif PAN Dapil Lampung I.
Sontak, aksinya bagi-bagi minyak goreng sambil mengampanyekan putrinya banjir kritik dan berujung pada teguran Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jika dilihat dari kejadian-kejadian diatas dan direfleksikan kembali dengan apa yang dijelaskan Rubio dan Gibson, Zulhas seolah cukup cerdik dalam memanfaatkan momentum dan memaksimalkan benefit politik yang dia punya sebagai Mendag.
Berkaca dari kasus Zulhas, ini bukan pertama kali seorang menteri memanfaatkan momentum jabatan politiknya atau bahkan saling lempar tanggung jawab antar kementerian dalam kabinet Presiden Jokowi.
Lalu, mengapa kejadian serupa sering kali terulang dalam kabinet pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi?
Jokowi Diabaikan Zulhas?
Tidak etis rasanya jika seorang menteri yang ditunjuk langsung oleh presiden memanfaatkan jabatannya atau bahkan melemparkan sebuah tudingan kepada kementerian lain untuk kepentingan tertentu.
Perbedaan pendapat antarmenteri kiranya lebih elok disampaikan dalam rapat kabinet, bukan justru di ruang publik.
Hal tersebut jelas akan menimbulkan persepsi negatif terhadap soliditas kabinet. Sudah seharusnya, semua kementerian bekerja untuk mensukseskan program yang dirancang presiden.
Berbagai kasus miskoordinasi antar kementerian sudah muncul sejak periode pertama Presiden Jokowi. Jelas ini bukan sesuatu yang baik untuk menjalankan program yang sudah dirancang.
Pada sejumlah kesempatan, Presiden Jokowi selalu menekankan pentingnya soliditas kabinet. RI-1 sudah berulang kali menekankan bahwa kegaduhan di internal kabinet akan mengikis kepercayaan masyarakat dan bisa berdampak negatif.
Pelaksanaan program maupun kebijakan agaknya akan cepat terealisasi jika para menteri saling mendukung. Namun, kenyataannya instruksi Presiden seolah belum dilaksanakan penuh oleh menteri-menterinya. Termasuk yang terjadi pada intrik tudingan Mendah Zulhas yang dibantah Menko Airlangga.
Jika dilihat lebih dalam, kabinet Jokowi adalah win-win solution dari semua partai pendukung dengan probabilitas basis kepentingan politik, bukan ketokohan. Akibatnya, “adonan roti” pemerintahan Jokowi tidak mengembang dengan baik karena terlalu banyak campur tangan.
Persoalannya kini, tinggal bagaimana Presiden Jokowi secara cerdas memainkan instrumen politik yang dimilikinya sebagai presiden untuk mengendalikan kepentingan politik yang mempengaruhi kabinetnya.
Akan tetapi, analisis diatas masih sebatas interpretasi semata. Penyebab kelangkaan minyak goreng bersubsidi saat ini hingga kemungkinan manuver Mendag Zulhas belum dapat benar-benar dipastikan.
Yang jelas, saling tuding antarkementerian memang kurang elok jika terus terjadi. Terutama bagi reputasi dan kinerja kabinet Presiden Jokowi di sisa akhir masa jabatannya. (S83)