Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti merupakan sosok menteri yang banyak dikagumi. Ini tidak terlepas dari keberhasilannya dalam menanggulangi illegal fishing pun karena penampilannya yang nyentrik dan sederhana. Namun, di luar itu, nyatanya banyak pihak menganggap Susi gagal dalam menjalankan tugasnya sebagai menteri karena tidak mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan.
PinterPolitik.com
Tidak akan ada ikan laut yang gurih di meja makan tanpa adanya jerih payah para nelayan. Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk menimbulkan rasa kasihan, melainkan memberi penjelasan kausal, yakni hadirnya nelayan adalah vital dalam memenuhi kebutuhan pangan laut.
Dengan luas laut teritorial Indonesia sebesar 290.000 km persegi dan potensi lestari sumber daya ikan laut yang diperkirakan sebesar 12,54 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), tentunya laut Indonesia menjadi surga bagi para nelayan.
Anehnya, pernyataan ini tidak didukung oleh Data Sensus Pertanian yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistika (BPS) yang menunjukkan adanya penurunan jumlah Rumah Tangga Perikanan (nelayan) dari 1,6 juta pada Sensus Pertanian tahun 2003 menjadi 868,41 ribu pada Sensus Pertanian 2013. Data ini mengindikasikan bahwa sektor perikanan merupakan sektor yang tidak begitu menjanjikan dibanding sektor lain.
Bono Budi Priambodo dalam bukunya Ikan Untuk Nelayan menyebutkan bahwa nelayan sampai saat ini masih berada di bawah garis kemiskinan.
Ini tentu mengherankan, mengapa sumber daya laut yang kaya tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan nelayan. Bagaimana mungkin itu dapat terjadi?
Jawabannya adalah karena terjadi penangkapan ikan oleh kapal asing secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, unregulated fishing atau IUU fishing) yang memenuhi perairan Indonesia dan membuat para nelayan lokal kian terpinggirkan.
Dari masalah ini, terbitlah sosok Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang nyentrik dan pemberani. Dengan gahar Susi mengambil tindakan tegas untuk menanggulangi IUU fishing, salah satunya adalah lewat penenggelaman kapal nelayan asing.
Keberaniannya ini membuat sosok Susi terkenal dengan slogan: “Tenggelamkan”.
Akan tetapi, di balik kesuksekan Susi memberangus IUU fishing, ia justru dinilai sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang gagal dalam menjalankan tugasnya. Tentu aneh mendengar hal tersebut. Bukankah sosok Susi begitu digaungkan, baik oleh media dalam dan luar negeri perihal keberhasilannya? Lantas kegagalan seperti apa yang dimaksud?
Susi, Lawan Terberat IUU Fishing
Melihat pada akar masalahnya, IUU fishing terjadi karena masih dianutnya rezim akses semi-terbuka dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Menurut Bono, dalam UU tersebut memang mengatur mengenai pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan melalui mekanisme perizinan bagi usaha perikanan. Namun, jumlah kapal yang dapat mengaksesnya tidak dibatasi, sehingga Indonesia dapat dikatakan menganut rezim akses semi-terbuka.
Kombinasi akses semi-terbuka membuat sektor perairan dikuasai oleh kapal-kapal ikan asing atau eks asing baik yang berizin maupun yang ilegal. Tidak main-main, sekitar 10.000 kapal asing dan eks asing berukuran raksasa berpesta pora mengeruk kekayaan laut Indonesia dari perairan Natuna hingga Arafura.
Imbasnya? Tentu saja terjadi kejadian tangkap-berlebihan (over fishing). Nelayan-nelayan tradisional tentu tidak memiliki peluang bersaing, sehingga menjadi kian terpinggirkan.
Mengatasi hal ini, dilakukan Penerbitan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), atau lebih dikenal dengan “Permen Moratorium”.
Permen ini bertujuan untuk menghentikan eksploitasi yang dilakukan oleh kapal ikan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri atau “kapal eks-asing” berukuran besar dengan rata-rata ukuran 150-400 gross ton (GT) yang menggunakan alat dan metode penangkapan ikan yang merusak lingkungan, yang kemudian diikuti dengan larangan alih muatan (transshipment) di laut.
Tidak hanya itu, Susi juga membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan IUU Fishing (Satgas IUU Fishing) melalui Keputusan Menteri Nomor 76/KEPMEN-KP/2014 Tahun 2014 yang bertugas melakukan Analisis dan Evaluasi (Anev) kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri, serta melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan penegakan hukum terhadap kejahatan perikanan di Indonesia.
Hasilnya?
Sampai saat ini Susi sudah menenggelamkan 539 kapal asing – 55 persennya adalah kapal Vietnam – yang melakukan praktik illegal fishing.
Kemudian, sampai tahun 2016 saja, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menjatuhkan sanksi administrasi terhadap 400 kapal objek Anev yang pada saat itu izinnya masih berlaku karena melanggar peraturan.
Tidak hanya itu, perusahaan-perusahan pengelolaan ikan seperti Thai Union Group PCL dari Thailand; Pingtan Marine Enterprise dari Tiongkok; RD Tuna Ventures Inc, San Andres Fishing Industries Inc, Santa Monica Inc, Pamalario Inc, Starcky Ventures Inc, Virgo Inc, dan Kemball Inc dari Filipina yang mengambil ikan dari perairan Indonesia mengalami penurunan omzet bahkan terancam bangkrut.
Apa yang Dilupakan Susi?
Ketegasan Susi melawan IUU fishing tidak perlu diragukan lagi. Tidak hanya kita, dunia pun telah meliriknya dengan takjub dan kagum. Berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri turut menyertai kesuksekan Susi melawan IUU fishing. Apresiasi yang pantas ia dapatkan.
Akan tetapi, di luar itu semua, beberapa pihak justru menilai Susi gagal dalam menjalankan perannya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Di satu sisi, Susi memang mampu melawan illegal fishing. Namun, di sisi lain Susi tidak mampu menaikkan pendapatan negara dari sektor perikanan.
Salah satu indikasi atas ini terlihat dari target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Perikanan tahun hanya meraup Rp 285 miliar per Juli 2019. Padahal target PNBP tahun 2019 mencapai Rp 600 miliar. Tidak hanya itu, target PNBP Perikanan di tahun 2020 hanya sebesar Rp 900,35 miliar. Angka itu terhitung paling kecil dibandingkan target PNBP kementerian lainnya yang rata-rata jauh di atas Rp 1 triliun.
Lalu, KKP memang mencatat tingginya stok ikan sebesar 12,54 juta ton dari estimasi awal 6,5 juta ton. Namun, tingginya angka tersebut didapatkan bukan karena memang stok ikan meningkat, melainkan adanya perbaikan dalam metode penghitungan stok ikan.
Ini senada dengan pernyataan Ketua Asosiasi Marikultur Nasional, Muhibudin, bahwa metode penghitungan diperbaiki dengan menambah sampling dan item pengamatan.
Muhibudin juga menegaskan bahwa dari dulu sebenarnya stok ikan memang sudah tinggi, di mana para ahli berestimasi antara 6,5 sampai 16 juta ton. Namun untuk menghindari over fishing, stok ikan hanya ditetapkan sebesar 6,5 ton.
A 2016 study found that each year more than US $142-million of IUU fish seeps into the legal market through covert transshipmentshttps://t.co/DEFazv2bIU
Begitu pula dari pandangan Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004, Rohkmin Danuri, yang menjelaskan pertumbuhan ekonomi sektor perikanan berada dalam tren turun sejak angka tertinggi di tahun 2015 dengan 7,89 persen menjadi 5,20 persen di tahun 2018. Posisi Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan Indonesia pada 2018 terakhir berkisar di angka Rp150-200 triliun.
Menurut Rohkmin Danuri, potensi ekonomi dari sebelas sektor kelautan mencapai US$ 1,338 triliun dolar per tahun dan nilai itu setara dengan 5 kali lipat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
Merangkum dari hal tersebut, sebenarnya terdapat dua alasan utama mengapa pendapatan ekonomi dari sektor perikanan tidak mengalami kenaikan.
Pertama, karena Susi lebih fokus dalam memberantas IUU fishing ketimbang aquaculture (budidaya ikan).
Kemudian, keberaniannya menenggelamkan kapal di tengah banyak kritik diapresiasi berlebihan oleh media, sehingga menciptakan efek euforia yang membuat banyak pihak melupakan kekurangan dari sektor ekonomi perikanan.
Mengenai hal ini, Susi besar kemungkikan berpendapatan bahwa sebelum peningkatkan ekonomi perikanan, unsur destruktif atas sektor perikanan seperti IUU fishing harus diatasi terlebih dahulu. Tapi, pertanyaannya, sampai kapan fokus itu akan dilakukan?
Kedua, kebijakan-kebijakan yang dibuat Susi sendiri justru menurunkan pendapatan nelayan, termasuk nelayan ataupun industri lokal.
Salah satunya adalah Permen-KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan yang berdampak pada penurunan ekspor lobster. Kasus ini terjadi di Lombok, di mana potensi devisa ekspor sebesar Rp 685 miliar terancam tidak tercapai karena adanya pelarangan penangkapan lobster.
Pada akhirnya, kita harus lebih jernih dan komprehensif dalam menilai kinerja Susi sebagai menteri. Susi memang berhasil melawan IUU fishing, tapi itu tidak diikuti dengan peningkatan ekonomi perikanan. Hal ini membuat Susi lebih menjadi polisi laut yang bertugas melawan para penjahat lautan daripada Menteri Kelautan dan Perikanan yang seharusnya mampu meningkatkan ekonomi sektor perikanan. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.