Drama penyanderaan Pilot Susi Air tampaknya memasuki babak kritis setelah KKB mengancam akan mengeksekusi sandera jika dalam dua bulan tidak ada pembahasan kemerdekaan Papua. Di satu sisi, pemerintah Indonesia bersikukuh untuk tidak akan melibatkan dunia internasional atas masalah ini. Lantas, mengapa pemerintah terkesan kurang sigap dan tak bertindak cepat menangani penyanderaan ini?
Sudah tiga bulan lebih sejak pilot Susi Air Kapten Philips Max Mehrtens disandera kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Sampai saat ini, belum ada kepastian terkait usaha pembebasan pilot asal Selandia Baru itu.
Beberapa kali TNI dan polisi terlibat kontak senjata dengan KKB untuk membebaskan sandera secara paksa. Akan tetapi, hasilnya nihil. Kontak senjata hanya menambah daftar korban gugur di kedua belah pihak dan mengakibatkan warga sipil Papua harus mengungsi dari tempat tinggal mereka.
Di satu sisi, kelompok KKB Egianus Kogoya pada tanggal 27 Mei 2023 mengancam akan mengeksekusi sandera jika pemerintah Indonesia tidak mengadakan negosiasi dalam dua bulan ke depan.
Ancaman itu disampaikan melalui video singkat yang disebarkan Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom. Dalam video berdurasi sekitar 1 menit itu, Egianus meminta agar diadakannya diskusi mengenai rencana kemerdekaan Papua dengan melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam video itu tampak Kapten Philip Mark Mehrtens sedang dikelilingi para anggota KKB sambil memegang bendera bintang kejora. Ia juga menyampaikan tuntutan dari pihak KKB yang meminta agar negara-negara lain juga terlibat dalam pembicaraan kemerdekaan Papua.
Mantan negosiator antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hamid Awaludin memperingatkan jika sandera dieksekusi Indonesia akan dicap buruk oleh negara luar terutama Selandia Baru.
Sementara itu, di tengah ancaman KKB, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan Indonesia tidak akan melibatkan lembaga internasional dalam penyelesaian masalah Papua. Menurut Mahfud, pelibatan lembaga internasional hanya akan memperpanjang masalah.
“Karena kalau diiyakan, nanti akan merembet tuh ke PBB, ke mana-mana, ternyata ada ini, ada itu. Sehingga, kita tolak setiap upaya campur tangan internasional yang disodorkan oleh LSM, oleh LSM internasional,” Begitu ujar Mahfud menegasikan keinginan KKB.
Mahfud juga meyakinkan penyelesaian pembebasan sandera dapat diselesaikan oleh pemerintah Indonesia sendiri dengan mengedepankan negosiasi kedua belah pihak tanpa jatuhnya korban.
Keengganan Mahfud untuk membuka pintu bagi negara luar menangani krisis di Papua saat ini kiranya patut disorot.
Lantas, mengapa upaya penyelesaian kasus penyanderaan pilot Susi Air seolah menyiratkan bahwa pemerintah Indonesia seperti menyembunyikan masalah Papua?
Papua Terlalu Sensitif?
Selama ini, Papua seringkali disorot oleh dunia internasional. Selain dikarenakan tingginya dugaan jumlah kasus pelanggaran HAM, Papua selama ini sangat terisolir dari dunia luar.
Dalam jurnal yang ditulis oleh Ross Tapsell berjudul The Media and Subnational Authoritarianism in Papua, pemerintah Indonesia selama ini acapkali membatasi akses masuk bagi para jurnalis dan Non-Governmental Organization (NGO) baik lokal maupun asing ke Papua.
Keluhan atas terisolirnya Papua sempat disampaikan oleh NGO HAM Amnesty International pada tahun 2015 lalu. Organisasi non profit ini pernah meminta pemerintah Indonesia agar membuka akses bagi jurnalis independen dan lembaga kemanusiaan internasional ke Papua.
Jossef Roy Benedict yang pada waktu itu menjabat sebagai juru kampanye Amnesty International untuk Indonesia menilai pemerintah Indonesia sangat menutup Papua.
Menurutnya, hal ini mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk mencatat kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Di sisi lain, kekhawatiran atas masuknya NGO asing ke Papua pernah disampaikan oleh Pengamat Intelijen Stanislaus Riyanta.
NGO asing seringkali mengklaim aktivitasnya di Papua bertujuan memberikan advokasi bagi masyarakat lokal yang telah menjadi korban pelanggaran HAM.
Akan tetapi, menurut Stanislaus, NGO asing memiliki agenda tersendiri yaitu menciptakan “kerusuhan” di masyarakat lalu menyalahkan pemerintah Indonesia dan membenarkan kemunculan gerakan separatis.
Selain NGO, media asing juga kerap kerap dikaitkan dengan agenda negara Barat yang berusaha menyebarkan propaganda dan budaya ke negara dunia ketiga.
Hal ini seperti yang disampaikan Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda. Ia menjelaskan media seringkali digunakan oleh negara-negara berkuasa sebagai alat propaganda.
Bagaimana para politisi dalam negeri menggambarkan masalah Papua seperti yang dilakukan Menkopolhukam Mahfud MD menunjukan agaknya negara sedang membentuk realitas mengenai situasi Papua.
Berger & Luckman dalam bukunya berjudul The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge menjelaskan negara memiliki kemampuan dalam memproduksi wacana media untuk mengkonstruksi suatu “realitas” berdasarkan kepentinganya sendiri.
Bagaimana negara membatasi ruang gerak jurnalis telah menjadi strategi dalam mempertahankan stabilitas dalam di banyak negara terutama dengan gaya pemerintahan authoritarian. Hal ini misalnya dilakukan oleh Presiden Tiongkok Deng Xiaoping pasca kejadian Tiananmen 1989.
Berkat restriksi media oleh pemerintah Tiongkok, banyak generasi muda di sana tidak mengetahui peristiwa yang diperkirakan mengakibatkan sekitar 10 ribu orang tewas itu.
Akan tetapi melalui penerapan falsafah Tao Guang Yang Hui oleh Presiden Deng Xiaoping, Tiongkok berhasil mempertahankan stabilitas negaranya pasca peristiwa berdarah tersebut.
Bahkan, mereka tetap mendapatkan kepercayaan dari komunitas internasional untuk menjadi tuan rumah pada Olimpiade 2008.
Lalu, melihat probabilitas kecenderungan pemerintah untuk menutup isu Papua seperti yang pernah dilakukan Presiden Deng Xiaoping pasca peristiwa Tiananmen, apakah para politisi dalam negeri masih bertekad untuk menyelamatkan sandera atau sekadar ingin “mencuci tangan”?
Bukan Untuk Papua?
Bagaimana Papua terkesan terisolasi menunjukan terdapat berbagai masalah di Bumi Cendrawasih yang jika terekspos dapat memberikan dampak buruk bagi negara.
Apabila melihat agenda pemerintah yang saat ini bergantung terhadap negara luar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) menandakan Indonesia harus memiliki citra baik di dunia internasional.
Ilmuwan politik asal Amerika Serikat Robert Keohane dalam bukunya yang berjudul After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy menjelaskan kepercayaan atau trust dapat dibangun antara negara berkembang dengan negara maju melalui ketergantungan ekonomi.
Akan tetapi, Keohane juga menjelaskan bahwa tanpa adanya transparansi dan keterbukaan komunikasi sebuah kepercayaan tidak akan terbangun.
Adanya konflik yang disertai dengan masalah kekerasan di Papua dapat mengurangi kepercayaan dan optimisme dunia internasional atas progresivitas Indonesia dalam melakukan pembangunan IKN.
Hal ini kemudian mendorong pemerintah, kemungkinan mau tidak mau harus “menutupi” apa yang terjadi di Papua saat ini.
Masalah kekerasan disertai praktik pelanggaran HAM rentan menghilangkan kepercayaan negara-negara lain. Dalam konteks ini, tentu negara Barat yang beberapa di antaranya telah diundang menjadi investor proyek IKN.
Melihat konsekuensi negatif dari dilibatkannya dunia internasional untuk mengatasi masalah Papua membuat keputusan yang diambil pemerintah saat ini terdengar rasional.
Mengacu pada teori rational choice individu cenderung memilih keputusan berdasarkan untung dan rugi.
Apabila skenario yang muncul adalah pemerintah Indonesia memilih untuk tidak memenuhi tuntutan KKB sehingga sandera tidak terselamatkan, agenda-agenda besar yang melibatkan negara luar dan bersifat menguntungkan bagi negara kiranya akan tetap aman.
Hal yang juga menguntungkan secara tidak langsung dari skenario ini ialah, kasus pelanggaran HAM di Papua baik masa lalu maupun sekarang akan tetap tersamarkan.
Selain itu, keputusan KKB mengeksekusi sandera dapat menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Tindakan KKB dapat menimbulkan respons ketakutan dan kemarahan dari dunia internasional atas keberadaan organisasi separatis Papua.
Di satu sisi, keputusan untuk melibatkan dunia internasional dapat membuka kasus pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua.
Besar kemungkinan ini akan mengurangi simpati dunia internasional terhadap Indonesia dan mengganggu agenda kerja sama dengan negara luar.
Kemungkinan terburuk adalah KKB juga akan mendapatkan dukungan dari negara luar karena dianggap sebagai korban dan wacana kemerdekaan Papua semakin gencar dibicarakan di dalam komunitas internasional.
Lantas, apakah keputusan pemerintah di tengah dilema menyelamatkan nyawa pilot Susi Air dibandingkan pertimbangan lain akan membawa konsekuensi tertentu bagi aspek lain, terutama investasi di IKN, misalnya? Patut untuk ditunggu kelanjutannya. (F92)