Di balik dampak berantai serangan Hamas ke Israel pekan lalu, terdapat satu hal yang kiranya luput dari pembicaraan, yakni “konflik” internal pemerintah dan kekuasaan Palestina sendiri yang sebenarnya justru memantik penderitaan warganya selama ini. Mengapa demikian?
Tanpa mengurangi rasa duka kepada para korban, Palestina dan Israel seolah memang ditakdirkan terus-menerus berkonflik. Selain dari agresivitas Israel, sayangnya, takdir itu juga seakan tak berusaha diubah oleh pemerintah dan pengampu kekuasaan Palestina di sisi lain.
Terdapat banyak interpretasi saat Hamas melakukan serangan ter-dramatisnya – setidaknya dalam dua dekade terakhir – ke Israel. Utamanya, mengenai keganjilan kalkulasi dan antisipasi dari pihak Hamas bahwa Israel pasti akan membalas dengan lebih keras serta dampaknya bagi penduduk Gaza.
Sayangnya, warga Palestina secara umum, tampaknya akan berjuang “sendirian” kali ini.
Kekerasan di wilayah tersebut dalam beberapa tahun belakangan, tak lagi menghadirkan head-to-head solidaritas negara-negara Arab dengan Israel. Konflik yang terjadi agaknya akan lebih terisolir di antara Israel dan kelompok Hamas. Sekali lagi, dampak langsungnya kebanyakan dirasakan oleh warga sipil Palestina di Gaza yang tak bersalah.
Hal itu beriringan dengan banyak upaya rekonsiliasi damai yang dilakukan antara Israel dan negara-negara Arab.
Meski turut mengecam, memberikan simpati, serta menyokong bantuan, nyatanya negara-negara seperti Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Maroko, bahkan Arab Saudi tampaknya tetap mencoba mempertahankan arah relasi baik di balik layar.
Di titik ini, satu sorotan agaknya tak keliru untuk ditujukan ke pemerintah dan otoritas Palestina, baik di Tepi Barat maupun Gaza yang kiranya justru membuat konflik kian rumit dan kekerasan seolah berulang.
Alotnya Perebutan Kuasa Palestina?
Pertama, serangan Hamas terhadap Israel tidak boleh dilihat hanya sebagai respons terhadap ketidakadilan dan penindasan Israel terhadap rakyat Palestina.
Cukup esensial bagi semua pihak, terutama di Indonesia, untuk memahami konflik internal di Palestina dengan saksama.
Tak berbeda dari sebelumnya, konflik internal itu melibatkan Fatah yang dipimpin oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas di satu sisi, dan kelompok Hamas di sisi lain.
Kedua kelompok tersebut tak hanya bersaing secara politis, tetapi mereka juga memiliki perbedaan yang fundamental.
Hamas menuduh Mahmoud Abbas dan kelompoknya sebagai kolaborator dan korup, menganggap mereka tidak benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina.
Memang, akuntabilitas bantuan dana asing dan pengelolaan anggaran negara Palestina selama ini sempat dipertanyakan. Bahkan, pada tahun 2021 dan 2022 lalu, demonstrasi beberapa kali terjadi di Tepi Barat yang mana kritik bahkan desakan mundur tertuju langsung kepada Abbas.
Sementara itu, Mahmoud Abbas dan kelompoknya menganggap Hamas sebagai kelompok radikal yang tidak rasional, dan mereka mengkritik Hamas karena menentang perdamaian, terutama yang memiliki proyeksi konstruktif dengan Israel.
Selain itu, Hamas dianggap merusak citra perjuangan rakyat Palestina karena ideologi perjuangan radikal mereka yang dalam banyak kesempatan dibalut kekerasan.
Serangan terbaru Hamas ke Israel juga bisa saja merupakan ekspresi perasaan dikhianati oleh sejumlah negara-negara Arab yang mulai menormalisasi hubungan dengan Israel.
Itulah yang menjadi akar permasalahan internal Palestina sendiri yang seakan membuat rakyatnya terus menderita akibat korelasinya dengan perseteruan panjang dengan Israel.
Selain itu, persoalan lain yang kerap mengemuka saat konflik terbuka Israel-Palestina terjadi adalah kambing hitam dan siapa yang terlebih dahulu memulainya.
Padahal, jika dirunut akar permasalahannya dan dengan konflik yang telah berlangsung sangat lama, gestur tuduhan itu tak lagi relevan dan sebaiknya lebih mengedepankan hal-hal yang konstruktif dan realistis di momen saat ini.
Saatnya Berdamai Dengan Israel?
Siapa yang memulai terlebih dahulu atas eskalasi kekerasan untuk kemudian disalahkan, tampaknya sudah menjadi repetisi dalam konflik Israel-Palestina. George Orwell, ketika membahas propaganda secara umum, mengibaratkannya seperti jam yang mulai dan berhenti.
Sedangkan, jika melihatnya secara jernih, konteks itu menjadi salah satu yang penting untuk dipahami secara komprehensif, termasuk dengan konteks konflik internal Palestina yang sudah diinterpretasi di bagian sebelumnya.
Saat ini, konflik telah begitu rumit dan hampir mustahil untuk “mengusir” salah satu pihak, baik Israel maupun Palestina (Tepi Barat dan Gaza) dari wilayah mereka masing-masing. Solusi konkret adalah yang dibutuhkan.
Satu hal yang kiranya cukup memungkinkan untuk diupayakan adalah sebagaimana dikemukakan oleh eks Menteri Hukum dan HAM RI Hamid Awaludin.
Menurutnya, tugas semua pihak, termasuk pihak eksternal seperti Indonesia adalah memastikan bahwa kelompok Hamas dan kelompok Mahmoud Abbas menjalin perdamaian.
Diperlukan kesungguhan untuk meyakinkan Hamas bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel adalah melalui perundingan dan negosiasi dengan Israel.
Sebagai sampel, Hamid merefleksikan proses diplomatis Perjanjian Camp David tahun 1978 antara Israel dan Mesir.
Perjanjian itu tidak hanya mengakhiri konflik antara kedua negara itu, tetapi juga mengakibatkan Israel secara bertahap mengembalikan seluruh Semenanjung Sinai yang sebelumnya direbutnya selama Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur pada tahun 1973 kepada Mesir.
Refleksi yang sama juga terjadi dalam hubungan Israel dengan Suriah dan Yordania. Israel, pada akhirnya mengembalikan wilayah yang sebelumnya diduduki melalui hasil perundingan, bukan melalui kekerasan atau perang.
Selain harapan itu dapat terwujud, deklarasi perang dan pengerahan kekuatan darat maksimum yang baru saja digelorakan Israel dua hari terakhir juga diharapkan tak semakin menambah penderitaan warga sipil Palestina di Gaza yang tak bersalah. (J61)