Site icon PinterPolitik.com

Benarkah KJP Adalah Kunci?

(Foto: Kumparan.com)

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” ~ Kutipan Pembukaan UUD 1945


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]A[/dropcap]khir Februari lalu, seorang remaja berusia 19 tahun, Haris Kristian Putra, jadi bulan-bulanan warga Koja, Jakarta Utara. Dia ketahuan mencuri seekor burung kenari milik warga setempat. Haris yang putus sekolah sejak SMP itu hanya bisa pasrah. Haris selamat setelah Polsek Koja datang dan berhasil meredakan situasi. Haris pun digelandang ke kantor Polsek Koja untuk dimintai keterangan selanjutnya.

Haris hanyalah satu dari sekian banyak kasus kriminal yang pelakunya merupakan anak putus sekolah. Sedari Indonesia berdiri, pendidikan telah menjadi salah satu cita-cita utama bangsa. Namun sayangnya, sampai saat ini pendidikan masih saja menjadi problema, dari mulai keterbatasan dan keterjangkauan sarana, keahlian tenaga kependidikan, sampai akses penduduk terhadap pendidikan. Tidak terkecuali di DKI Jakarta.

Dalam Debat Publik Pilkada DKI Putaran Kedua, Anies mengatakan bahwa Jakarta adalah kota dengan populasi penduduk muda yang cukup banyak. Salah satu masalah Jakarta yang “agak serius”, menurutnya, adalah terdapat 116ribu anak yang tidak duduk di bangku sekolah. “Ini darurat dan bisa jadi bom waktu. Otomatis, pengangguran akan muncul dan masalah sosial akan muncul,” tambah Anies.

“Dari lebih 420 ribu anak usia 16-18 tahun di Jakarta, ada 116 ribu anak berada di luar sekolah,” tutur Anies.

Namun demikian, apakah pernyataan Anies tepat?

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan angka yang dinyatakan Anies tersebut sebagai Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang merupakan suatu ukuran (dalam %) banyaknya penduduk DKI Jakarta usia 16-18 tahun yang sedang bersekolah – baik di bangku SMP, SMA, atau perguruan tinggi – dibanding jumlah keseluruhan penduduk DKI Jakarta yang berusia 16-18 tahun.

Data mutakhir BPS menunjukkan bahwa APS DKI Jakarta tahun 2016, sebesar 70,83. Artinya, 29,17% penduduk usia 16-18 tahun di DKI Jakarta tidak bersekolah. Jika pernyataan Anies bahwa penduduk usia 16-18 tahun di Jakarta berjumlah lebih dari 420 ribu – kalau data ini benar, maka terdapat paling tidak 122 ribu penduduk usia 16-18 tahun di Jakarta sedang tidak bersekolah.

Pertanyaan Anies tepat terkait tingginya anak usia sekolah SMA yang sedang tidak bersekolah, namun angka yang dia sebutkan kurang tepat.

Di pihak lawan, Ahok menanggapi pernyataan Anies tersebut.Ia mengakui, “Masih banyak anak yang tidak sekolah, tapi angka partisipasi kasar sekarang meningkat.”

Apakah pernyataan Ahok ini tepat?

Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah suatu ukuran (dalam %) banyaknya penduduk DKI Jakarta yang sedang bersekolah di SMA, dibanding banyaknya penduduk DKI Jakarta berusia 16-18 tahun. Indikator ini berbeda dengan APS yang dipersoalkan Anies kepada Ahok. Nilai APK bisa lebih dari 100%. Ini disebabkan populasi siswa yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan, mencakup anak berusia di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan.

Dalam banyak kasus, ditemukan anak-anak usia diatas 18 tahun (APK) tetapi masih sekolah di tingkat SMA karena tinggal kelas. Selain itu juga, dengan adanya program fast track, banyak anak yang belum berusia 16 tahun sudah masuk SMA.

Data mutakhir BPS menunjukkan bahwa pada pada tahun 2016, nilai APK DKI Jakarta sebesar 73,09. Angka ini menurun dari tahun 2015 menjadi 76,35. Namun demikian, nilai APK DKI Jakarta mengalami tren kenaikan dari tahun 2011 sampai dengan 2015.

Tahun 2011, APK DKI Jakarta sebesar 72,53. Angka ini  mengalami kenaikan menjadi 75,34 di tahun 2012, 75,34 di tahun 2013, lalu turun menjadi 74,71 di tahun 2014, kemudian kembali naik di angka 76,53 di tahun 2015.Saat nilai APK DKI Jakarta tahun 2016 turun, justru rata-rata nilai APK Indonesia (per provinsi) mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Dengan begitu, pernyataan Ahok terkait menurunnya nilai APK DKI Jakarta kurang tepat, sekaligus kurang nyambung untuk menanggapi pernyataan Anies.

KJP Dalam Angka

Untuk menyelesaikan persoalan pendidikan di atas, masing-masing calon mengaku memiliki program unggulan. Ahok mengungkapkan, “Bagi yang sudah terlanjur tidak berminat sekolah karena sudah lama tidak sekolah, akan direkrut menjadi pegawai harian lepas.”

Dengan begitu, menurut Ahok, mereka akan mendapat gaji setara upah minimum provinsi (UMP) sekaligus dilatih sampai dapat sertifikat.

Namun Anies mengkritik pernyataan Ahok tersebut.“Pak Basuki melihat alatnya hanya melalui pemerintah, ” kata Anies, ia menegaskan bahwa dirinya akan melibatkan juga masyarakat sipil dan sektor swasta. Dari sisi pemerintah, Anies akan memberikan Kartu Jakarta Pintar Plus (KJP Plus). Bukan hanya untuk anak-anak yang sedang bersekolah, tapi juga untuk anak-anak yang tidak bersekolah.

Harapannya, anak-anak yang tidak sekolah tersebut dapat menggunakan KJP Plus untuk ikut kursus dan pelatihan. “Sektor swasta yang paling besar di Jakarta. Jika kita ada KJP Plus, ada pelatihannya, dan ada sektor swastanya, anak-anak ini pun akan berinteraksi dengan lebih luas daripada hanya dengan pemerintah.”

Dalam tanggapannya, Ahok mengatakan, “Saya juga bingung. Kadang-kadang, kita disalahpahamkan tidak melibatkan sektor swasta. Begitu dilibatkan, saya dibilang membela pengusaha.” Menurutnya, sektor swasta kurang tenaga terampil kerja (buruh)bangunan. Perusahaan pun berat menyediakan ongkos untuk memberikan pelatihan bagi mereka yang putus sekolah.

Dalam kesempatan sebelumnya, pasangan calon (paslon) Ahok-Djarot juga menyinggung soal KJP. Mereka bertekad untuk meningkatkan angka partisipasi murni tingkat SMA dengan KJP.

Terkait program KJP yang  mulai dilaksanakan sejak era Jokowi-Ahok di tahun 2013. Data BPS menunjukkan, dari tahun 2013 sampai 2016, angka putus sekolah mengalami penurunan. Di tahun 2013, angka putus sekolah mencapai 1807, kemudian turun di tahun 2014 menjadi 1250. Di tahun 2015, turun drastis menjadi sebesar 682, dan di tahun 2016,mencapai 606.

Penurunan ini juga berkesinambungan dengan terus naiknya anggaran dan penerima KJP periode 2013 sampai 2016. Di tahun 2013, pemerintah DKI Jakarta menganggarkan hampir Rp 500 miliar. Anggaran penyelenggaran KJP terus meningkat tiap tahunnya sampai di tahun 2016,yaitu sebesar2,5 triliun rupiah.

Berdasarkan data-data di atas, KJP cukup signifikan dalam mengurangi angka putus sekolah. Bisa disimpulkan, kedua calon gubernur ini sebenarnya tepat dalam menyasar program KJP. Namun, masing-masing paslon perlu memerhatikan juga porsi anggaran KJP dalam APBD. Alih-alih membantu mereka yang sulit dalam mengakses pendidikan, KJP malah membuat APBD DKI Jakarta rawan pembengkakan dan penyelewengan, baik oleh pejabat pemerintah maupun warga penerima yang tidak bertanggung jawab. (H31)

Exit mobile version