HomeHeadlineBenarkah Ganjar Paling Ahli Alutsista?

Benarkah Ganjar Paling Ahli Alutsista?

Menjelang debat ketiga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, calon presiden (capres) Ganjar Pranowo melontarkan kritik terhadap pengadaan alutsista jet tempur bekas Mirage 2000-5 dari Qatar yang terarah ke Menhan Prabowo Subianto. Kendati belakangan ditunda, sejatinya kebijakan Menhan Prabowo mengenai pertahanan kiranya telah menjadi yang paling rasional untuk dilakukan. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Menjelang debat ketiga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 pada hari Minggu 7 Januari nanti, para calon presiden (capres) agaknya sudah mempersiapkan materi debat dengan matang.

Salah satunya, capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo yang mengklaim sudah percaya diri untuk menghadapi debat tersebut.

Hal itu diperlihatkan ketika Ganjar melemparkan kritik terhadap Menteri Pertahanan (Menhan) yang juga capres nomor urut 2 Prabowo Subianto atas kebijakan pengadaan alutsista bekas.

Ganjar menilai pengadaan jet tempur bekas Qatar itu tidak efektif dan hanya menghamburkan uang negara.

Dengan usia yang sudah menua dan membutuhkan pemeliharaan ekstra, Ganjar menilai sebaiknya pengadaan alutsista harus direncanakan lebih bijak.

branding abu abu ganjar

Pernyataan Ganjar pun didukung oleh Wakil Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud yang juga mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn.) Andika Perkasa.

Andika menambahkan jika jet tempur bekas yang akan dibeli Indonesia sudah tidak diproduksi lagi oleh negara asalnya, Perancis.

Hal ini menyebabkan suku cadang akan sulit sehingga biaya pemeliharaan juga akan membengkak.

Seperti yang diketahui, Kementerian Pertahanan (Kemhan) memutuskan untuk membeli 12 jet tempur Mirage 2000-5 dari Qatar dengan nilai kontrak sebesar 733 juta Euro atau sekitar Rp12 triliun.

Lantas, apakah pengadaan jet tempur bekas itu memang diperlukan oleh Indonesia?

Pilihan Paling Rasional?

Dalam beberapa kasus di negara berkembang, urgensi pemenuhan alutsista demi memperkuat pertahanan seakan selalu terbentur dengan keterbatasan anggaran. Hal ini tak jarang menimbulkan dilema tersendiri.

Hal ini bisa kita lihat dari apa yang terjadi di Filipina. Sejak Amerika Serikat (AS) menyetujui penjualan 12 jet tempur F-16, negara itu kini dihadapkan pada bagaimana membiayai pembelian itu.

Dengan perkiraan biaya pesawat dan peralatan yang mencapai US$2,43 miliar, Manila kini justru mulai mempertimbangkan beralih ke pembelian jet tempur bekas atau menerima bantuan keuangan dari Washington.

Sejatinya, jet tempur itu dipersiapkan untuk melakukan operasi memantau kegiatan udara dan maritim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

Berkaca dari kasus yang terjadi di Filipina, ditambah dengan melihat konstelasi geopolitik dunia yang kian memanas, tampaknya pengadaan jet tempur bekas kiranya adalah pilihan yang cukup rasional bagi Indonesia.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Prabowo Subianto dalam penjelasannya sebelum pengadaan jet tempur Mirage 2000-5 ditunda mengatakan, meskipun jet tempur bekas tapi jam terbang Mirage 2000-5 dari Qatar masih 30 persen. Sehingga, jet tempur itu masih bisa digunakan hingga 15 tahun mendatang. 

Dengan bergabungnya jet tempur Mirage 2000-5 ke Angkatan Udara Indonesia diperkirakan akan menambah kekuatan dan memenuhi ketertinggalan pertahanan Indonesia dari negara lain.

Selain itu, pengadaan jet tempur Mirage 2000-5 adalah opsi terbaik untuk mengisi gap alutsista Indonesia sampai jet tempur Rafale selesai produksi tahun 2026 mendatang.

Bahkan, bukan tidak mungkin juga dapat menghadirkan efek gentar atau deterrence effect bagi negara lain.

Patrick Morgan dalam bukunya yang berjudul Deterrence Now menjelaskan bahwa deterrence effect adalah wujud dari realisme sesungguhnya.

Patrick menambahkan, hal itu dikarenakan upaya damai seperti dialog tidak menjamin suatu negara tidak melakukan aksi militer terhadap negara lain.

Maka dari itu, dengan memperkuat sistem pertahanan akan membuat suatu negara mempertimbangkan hal terburuk jika memutuskan untuk melakukan aksi militer.

Dalam mendukung rasionalitas dari deterrence effect ada satu pepatah latin kuno, yakni si vis pacem, para bellum yang memiliki arti jika menginginkan sebuah perdamaian maka juga harus siap dalam berperang.

Pepatah itu pertama kali diucapkan oleh jenderal Romawi Kuno yang bernama Vegetius saat mengkritik penurunan kualitas pasukan Romawi karena dinilai terlalu lama menikmati sebuah perdamaian.

Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) M.Herindra juga mengungkapkan hal serupa dalam tulisannya yang berjudul Pengadaan Mirage 2000-5 dan Filosofi “Just in Case” ala Indonesia.

Herindra dalam tulisannya menjelaskan ada tiga alasan utama Indonesia memutuskan untuk membeli jet tempur bekas dari Qatar.

Pertama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Mirage 2000-5 adalah kepastian kekuatan seraya menunggu datangnya jet tempur baru Rafale dari Prancis yang proses produksi dan pengirimannya baru akan selesai tahun 2026 mendatang.

Kedua, kembali, bergabungnya alutista bekas seperti Mirage 2000-5 ke dalam Angkatan Udara Indonesia akan memperkuat pertahanan Indonesia dan memberikan jaminan keamanan atas tingginya tensi geopolitik dunia.

Sejauh ini Indonesia dilengkapi pesawat tempur dari varian F-16 A/B/C/D, SU-27/30, Hawk-109/209, T-50i Golden Eagle, dan EMB-314 Super Tocano. Namun, kesiapan tempurnya belum maksimal.

Ketiga, pengadaan alutsista bekas adalah pilihan yang paling rasionalitas secara politis. Baik dari segi anggaran dan diplomasi pertahanan Indonesia.

Lalu, mengapa pengadaan alustista bekas disebut sebagai pilihan yang paling rasional secara politis?

jet tempur ri semakin komplit

Bagian dari Diplomasi

Pasca reformasi, sistem pertahanan Indonesia mengalami pasang surut. Salah satunya, adanya embargo dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya untuk Indonesia pada era Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Dengan adanya embargo dari AS dan sekutunya, ini membuat Indonesia sadar akan pentingnya sebuah diplomasi dalam dunia pertahanan.

Teori arms military build up dan konsep turunannya, yakni revolution in military affairs (RMA) tampaknya tepat untuk menjelaskan keputusan pembelian Mirage 2000-5 dari Qatar.

Michael J. Thompson dalam tulisannya yang berjudul Military Revolutions and Revolutions in Military Affairs: Accurate Descriptions of Change or Intellectual Constructs? menjelaskan RMA adalah perubahan secara cepat dalam bidang militer suatu negara yang tidak hanya meningkatkan kuantitas atau kualitas, namun juga mengubah pola lama.

Berbeda dengan Menhan sebelumnya, Prabowo kini melakukan diplomasi pertahanan ke banyak negara sebagai bentuk membuka alternatif sebanyak-banyaknya bagi kebutuhan pertahanan Indonesia.

Akusisi alutsista bekas mencerminkan keberhasilan diplomasi pertahanan Prabowo yang akhirnya dapat menghadirkan kepercayaan dari Qatar dan Perancis untuk menjadi “partner strategis” bagi Indonesia.

Selain munculnya rasa kepercayaan terkait jual-beli senjata Indonesia dan Qatar, hubungan lebih luas yang menyangkut investasi di sektor lain boleh jadi juga akan mendapatkan efeknya.

Akuisisi sistem pertahanan dari negara lain juga kiranya akan membuat anggaran pertahanan Indonesia akan lebih hemat, bukan seperti apa yang di kritik oleh Ganjar.

Permasalahan anggaran bukanlah sesuatu yang baru bagi Indonesia. Berulang kali, berbagai macam pihak menggaungkan ide tentang modernisasi dan kemandirian alutsista dalam negeri.

Namun, jika kita lihat lebih dalam lagi, permasalahan ini ternyata sifatnya sangat kompleks.

Evan Laksmana dalam artikelnya yang berjudul Indonesia Military Modernization Must Go Beyond New Hardware menjelaskan alasan kenapa Indonesia selalu sulit dalam memantapkan perkembangan alutsista adalah tidak mempunyai rencana jangka panjang dalam sistem pertahanan.

Bebeda dengan negara tetangga, Singapura yang sudah mempunyai roadmap sistem pertahanan hingga 2030. Dalam roadmap itu, Singapura sudah merencakan tipe dan peruntukan wilayah mana dalam pembelian alutsista.

Namun, sejauh ini dengan apa yang sudah dilakukan Prabowo sebagai Menhan telah menunjukkan progresivitas yang cukup pesat dalam bidang pertahanan.

Apa yang dibangun Prabowo sebagai Menhan tampaknya akan terasa dampaknya beberapa tahun mendatang, karena dalam bidang pertahanan tidak bisa semua dijalankan berdasarkan oportunisme semata. 

Diskursus mengenai pembelian alutsista bekas pakai agaknya akan dibawa ke panggung debat pada akhir pekan ini. Oleh karena itu, akan menarik untuk menantikan kelanjutannya nanti. (S83)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?