Ganjar Pranowo kerap disebut sebagai “Jokowi kedua”. Ganjar dinilai ingin meniru kesuksesan personal branding Jokowi. Namun, jika diperhatikan saksama, Ganjar sebenarnya justru adalah upgrade dari personal branding Jokowi. Benarkah demikian?
Jika ditelaah secara objektif, berbagi isu minor yang mengiringi pencapresan Ganjar Pranowo seolah tak dapat mereduksi citra politiknya secara signifikan. Setidaknya, saat dibandingkan dengan kandidat lain seperti Prabowo Subianto maupun Anies Baswedan.
Beberapa variabel tampak cukup mendukung postulat itu. Salah satunya adalah saat politisi muda Tsamara Amany yang belum lama ini mendeklarasikan dukungannya kepada sang Gubernur Jawa Tengah (Jateng) di Pilpres 2024.
Mantan politisi PSI itu meyakini Ganjar dapat melanjutkan progresivitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus menawarkan pembaruan.
“Dengan segala kekurangan pemerintahan Pak Jokowi, perubahan-perubahan yang dilakukan beliau itu riil dan nyata dan dirasakan oleh banyak orang. Tapi kita butuh orang yang satu bisa melanjutkan perubahan dan juga menawarkan kebaruan,” begitu ujar Tsamara di sebuah diskusi yang digagas gerakan LARI (Langkah Anak Muda Republik Indonesia) pada hari Selasa 27 Juni 2023 lalu, yang mana merujuk “butuh orang yang satu” itu kepada Ganjar.
Selain itu, elektabilitas Ganjar pun cenderung konsisten di beberapa lembaga survei. Terlepas dari interpretasi lembaga survei “pesanan”, nyatanya jika itu bagian dari strategi, PDIP dan Ganjar tampak selalu unggul.
Tak hanya itu, angin segar pada pencapresan Ganjar juga disokong oleh koalisi politik yang tampak begitu memikat.
Sejauh ini, selain PDIP, Ganjar telah diusung oleh PPP, Partai Hanura, Partai Perindo, PSI (kemungkinan besar), serta sejumlah parpol lain yang seakan telah memberikan sinyal seperti Partai Buruh.
Hal itu tentu menjadi kabar segar bagi pencapresan Ganjar, khususnya bagi PDIP untuk menasbihkan rekor hattrick kemenangan di tiga edisi pilpres beruntun.
Padahal, sejauh ini Ganjar secara konsisten dirundung sejumlah isu minor. Bahkan, sejak sebelum pencapresannya oleh PDIP pada 21 April 2023 lalu.
Mulai dari tumpang tindih plus konflik kepentingan penetrasi kampanye capres terhadap statusnya yang masih mengampu jabatan sebagai Gubernur Jateng, hingga rekam jejak minor seperti isu agraria dan lingkungan.
Itu belum termasuk polemik hebat mengenai penolakannya terhadap Piala Dunia U-20 karena keikutsertaan Israel, dan komentar masa lalu terkait film porno.
Beberapa variabel di atas tentu memantik pertanyaan menarik, yakni mengapa Ganjar seakan justru tampak memiliki peluang yang lebih di Pilpres 2024, setidaknya jika dibandingkan kandidat lainnya?
Modifikasi Politik Jawa Jokowi?
Dengan merepresentasikan sebagai suksesor Presiden Jokowi yang memiliki basis massa yang telah terbukti di dua ajang kompetisi elektoral, tak salah memang jika Ganjar meniru strategi sang mantan Wali Kota Solo itu.
Dalam beberapa artikel PinterPoltiik, Presiden Jokowi sendiri diinterpretasikan memainkan strategi politik Jawa yang begitu kental dalam proses pencapresannya di 2014 serta sepanjang memimpin sebagai RI-1.
Politisi Partai Gerindra Arief Poyuono dan analis politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono sempat menyatakan kentalnya aktualisasi politik Jawa dalam karakteristik dan branding image Jokowi selama ini.
Cara yang dipakai Jokowi disebut memeragakan sifat akomodatif terhadap semua kekuatan politik untuk mencapai harmoni dan keserasian.
Bagi masyarakat Jawa, harmoni dalam sebuah interaksi adalah sesuatu yang sangat penting. Harmoni diwujudkan dengan mengikat kebersamaan dalam budaya gotong royong.
Presiden ke-1 RI Soekarno yang menjadi sosok kiblat PDIP pun dikatakan begitu memegang teguh filosofi itu untuk mewujudkan pondasi dan dasar demokrasi Indonesia.
Dan itu menjadi aspek yang juga terlihat dari strategi politik pencapresan Ganjar. Sejumlah karakteristik politik Jawa seolah berhasil memikat entitas politik lain untuk bergabung. Ihwal yang menjadi aspek mendasar nan konkret atas pembentukan koalisi politik di 2024.
Sementara itu, dari aspek citra personal, Ganjar kiranya juga menerapkan strategi adopt and adapt atau mengadopsi dan mengadaptasi/memodifikasi apa yang telah dilakukan Jokowi.
Saat pencapresannya pada 2014 silam, Jokowi kerap mengaktualisasikan apa yang kemudian disebut sebagai populisme melalui falsafah dan tajuk-tajuk bernuansa Jawa.
Tajuk seperti “berpihak kepada wong cilik” (masyarakat kelas bawah) hingga kampanye “kerja, kerja, kerja” juga mengacu pada bagaimana filosofi Jawa yang “dimainkan”.
Niels Mulder dalam bukunya Mysticism and Daily Life Contemporary Java, Cultural Persistence and Change meyakini masyarakat Jawa memiliki etos kerja tersendiri yang disebut sebagai bagian dari kejawen.
Salah satunya melalui nasihat penting, yakni sing sopo gelem obah bakal mamah artinya siapa yang mau berusaha (bekerja) pasti akan makan.
Secara harfiah, nasihat itu sendiri bermakna etos kerja yang kuat dan disiplin tinggi yang harus dijunjung tinggi sekaligus harus dicitrakan oleh sosok pemimpin.
Selain itu, figur “bapak” atau filosofi paternalistik masyarakat Jawa yang mengayomi juga menjadi unsur berikutnya yang juga diterapkan oleh Jokowi dalam mengimpresikan kesan “merakyat”.
Kendati saat ini politik pencitraan hingga buzzword bertajuk ”merakyat” semacam itu kerap disebut tak lagi relevan, Ganjar sejauh ini tampak cukup apik memeragakan modifikasi politik Jawa itu.
Sekali lagi, adopt and adapt juga tampak berupaya dilakukan Ganjar untuk meneruskan serta melakukan metamorfosis terhadap aspek personal Jokowi.
Kini, Ganjar kiranya sedang mempraktikkan falsafah Jawa “gampang ditekuk-tekuk” yang memiliki makna orang Jawa mudah “ditekuk” atau luwes dalam artian suku mudah beradaptasi.
Hal itu tampak dikemukakan Ganjar dalam pernyataan terbarunya yang menyebut tak akan serta merta melanjutkan kebijakan dan program Presiden Jokowi jika terpilih nantinya.
“Kalau ada (kebijakan dan program Jokowi) yang tidak benar, ya kita hentikan. Kecuali ada yang tidak pas, ya kita koreksi,” begitu ujar Ganjar kemarin lusa (29/7/23) saat membicarakan bagaimana visi kepemimpinannya kelak.
Di luar konteks filosofi Jawa, visi tersebut kiranya juga menarik untuk diinterpretasi lebih dalam. Terutama mengenai adaptasi citranya di hadapan calon pemilih dan ketika disandingkan dengan visi calon rival lain.
Terlebih, mengenai pembeda Ganjar dengan Jokowi yang selama ini berupaya diimpresikan sebagai suksesor yang lebih baik.
Halo Effect Ganjar?
Selain sebuah keharusan untuk berbeda dari kandidat rival lain, Ganjar juga kiranya sedang berusaha menjadi versi lebih baik dari Jokowi agar bisa unggul.
Hal itu dapat dipahami melalui apa yang Gaurav Gulati jabarkan dalam publikasinya yang berjudul Why is Personal Branding Important for Politicians? And Tips to Elevate Your Political Career.
Gulati menjelaskan personal branding merupakan hal krusial bagi politisi karena membantu mereka menonjol serta membangun reputasi dan kredibilitas.
Aspek personal branding yang kuat membuat politisi terhubung dengan pemilih secara lebih intim dan personal. Aspek tersebut sangat penting dalam membangun dukungan dan memenangkan pemilu.
Dalam suasana politik kontemporer, di mana pemilih memiliki akses informasi yang sangat luas tentang kandidat, personal branding dapat menjadi faktor kunci untuk membedakan satu kandidat dengan kandidat lainnya.
Secara lebih spesifik, dalam sebuah konsep branding dari “produk” sebelumnya, titik perbedaan tidak perlu signifikan dan cukup ada satu hal pembeda yang menarik.
Hal itu serupa tapi tak sama seperti branding perusahaan di mana satu perubahan kecil dapat menciptakan kesan berbeda
Jika ditelaah secara praktikal terhadap Ganjar, tampak terdapat keunggulan personalnya dari Jokowi yang kiranya akan memberikan halo effect.
Menurut kajiak psikolog Edward Lee Thorndike, halo effect merupakan efek psikologi yang membuat manusia kerap kali menilai keseluruhan objek berdasarkan atas suatu impresi awal yang terlihat.
Halo effect akan membuat seseorang menilai sesuatu atau orang lain hanya berdasarkan pada single quality yang jelas terlihat, seperti kecantikan, status sosial, usia, hingga kemampuan berorasi. Ini seperti penilaian yang mengacu pada pandangan pertama.
Dan Ganjar tampaknya memenuhi kriteria itu. Tak dapat dipungkiri, mulai dari parasnya, nada suaranya yang cenderung bersahabat, tidak terkesan kasar, hingga gaya komunikasinya yang terlihat lebih unggul jika dibandingkan dengan Jokowi.
Bahkan, aspek terakhir ketika dibandingkan dengan Anies yang gaya bahasanya kurang membumi, maupun dengan Prabowo yang dalam aspek serupa seolah terlalu old school.
Saat ditelaah secara organisasi, strategi branding demikian agaknya cukup apik digunakan Ganjar dan PDIP. Cukup sederhana namun efektif, selaras dengan konsep pragmatisme Richard Rorty yang mengafirmasi keberagaman nilai dan kepentingan manusia sebagai subjek konkret.
Lalu, akankah Ganjar sukses merengkuh kesuksesan saat memaksimalkan strategi tersebut? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)