Site icon PinterPolitik.com

Benarkah ASEAN Tempat “Arisan” Jokowi?

jokowi asean labuan bajo

Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta Ibu Iriana berbincang dengan para pemimpin ASEAN dan pendamping di atas geladak kapal pinisi sesaat sebelum lepas sauh dari Marina Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Rabu, 10 Mei 2023. (Foto: BPMI Setpres)

KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo mengundang sorotan banyak pihak. Apa yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Indonesia sebagai pemegang Keketuaan ASEAN overrated karena peran ASEAN sebagai lembaga kerja sama multilateral yang tidak terlalu signifikan untuk menjadi jawaban atas krisis yang terjadi di kawasan maupun global. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Kendati menjadi keharusan dalam menjamu tamu negara secara memadai, apa yang diberikan sekaligus dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Indonesia sebagai pemegang Keketuaan ASEAN 2023 kiranya cenderung overrated jika berkaca pada efektivitas organisasi multilateral tersebut. 

Presumsi itu muncul setelah para pemimpin negara-negara Asia Tenggara bertemu dalam KTT ASEAN ke-42 pada 10-11 Mei 2023. 

Dikatakan overrated dikarenakan, di tengah berbagai krisis yang melanda di kawasan, ASEAN jamak dinilai belum memainkan peran signifikan dalam menyelesaikan krisis tersebut. 

Bahkan, dalam pidatonya, Presiden Jokowi sebenarnya juga mempertanyakan posisi dan sikap ASEAN yang dipandangnya hanya sebagai penonton saja dalam krisis kawasan maupun global yang terjadi. 

Sejauh ini, peran ASEAN baik dalam menyelesaikan krisis yang terjadi di kawasan maupun global belum terlihat signifikansinya. 

Beberapa masalah mendesak yang dihadapi ASEAN saat ini di antaranya konflik Myanmar akibat kudeta militer, perundingan Code of Conduct (CoC) di Laut Tiongkok Selatan yang tak kunjung rampung, hingga kemunculan kekuatan eksternal seperti AUKUS dan Quad baru-baru ini di kawasan.

Padahal, menurut Presiden Jokowi, ASEAN dapat mempunyai peran yang signifikan dalam politik global dan menyelesaikan krisis yang terjadi tersebut. Peran yang signifikan itu disebut bisa terjadi asalkan semua negara anggota ASEAN bersatu. 

Dengan persatuan itu, menurutnya ASEAN bisa menjadi pemain sentral dalam membawa perdamaian dan pertumbuhan dalam politik internasional. 

Namun, masih terkait dengan kesan overrated, mengapa peran ASEAN belum signifikan menghadapi krisis yang terjadi? Serta apakah Indonesia juga turut berperan atas tidak signifikannya peran ASEAN di kawasan maupun global? 

Jokowi Tinggalkan ASEAN? 

Kendati seakan menggambarkan “separuh realita”, pidato Presiden Jokowi yang mengajak negara-negara ASEAN untuk bersatu dalam menghadapi berbagai krisis dan memanfaatkan peluang di tengah krisis kiranya merupakan ajakan yang bersifat diplomatis dan formalitas semata. 

Felix Heiduk dalam jurnal yang berjudul Indonesia in ASEAN: Regional Leadership Between Ambition and Ambiguity mengatakan pada era pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia justru dipandang semakin berpaling dari ASEAN. 

Menurut Felix, hal itu terjadi karena kebijakan luar negeri Presiden Jokowi mengutamakan kepentingan nasional Indonesia diatas kebijakan luar negeri yang telah ada sebelumnya, terutama terkait konsep sentralitas ASEAN. 

Perubahan nyata itu, setidaknya yang eksis pada tingkat retoris, memicu ketakutan di dalam dan di luar kawasan terhadap Indonesia yang mengingkari ASEAN. 

Felix menambahkan, perlu diingat, banyak gagasan dibalik terbentuknya ASEAN Community yang dibuat oleh Indonesia sendiri pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. 

Emirza Adi Syailendra juga menyatakan hal serupa dalam analisisnya Consensual Leadership in ASEAN: Will It Endure Under Jokowi?, yang menjelaskan kebijakan luar negeri pada era Presiden Jokowi lebih menitikberatkan pada kerja sama bilateral dengan negara-negara besar dengan fokus utama dimensi ekonomi domestik. 

Emirza menambahkan, seiring meningkatnya profil global Indonesia, pilihan mitra semakin meluas. Akan tetapi, keraguan juga muncul kembali tentang apakah ASEAN masih menjadi landasan kebijakan luar negerinya. 

Sebagai contoh kebijakan Presiden Jokowi tentang poros maritim dunia yang membuat Indonesia menjalin kerjasama bilateral  dengan negara-negara di Samudera Hindia dan Pasifik. 

Ihwal itu menggambarkan bahwa Indonesia di bawah pemerintahannya tidak melihat multilateralisme sebagai agenda utama kebijakan luar negeri. 

Munculnya pendekatan yang lebih nasionalistik semakin jauh menggarisbawahi pergeseran ini. 

Emirza melihat bahwa Presiden Jokowi tidak akan mendukung program dan kesepakatan yang terjadi di ASEAN jika tidak menempatkan Indonesia dalam posisi yang menguntungkan. 

Hal itu agaknya merupakan sinyal bahwa Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Jokowi tidak segan untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya dan mengorbankan kepentingan ASEAN. 

Berkaca dari dua penjelasan tersebut, maka tak berlebihan kiranya jika kita memaknai pidato Presiden Jokowi yang mengajak negara-negara ASEAN bersatu hanya sebagai formalitas dan bersifat diplomatis semata. 

Hal tersebut karena apa yang disampaikan dalam pidato, berbanding terbalik dengan kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Jokowi terkait ASEAN selama masa pemerintahannya. 

Presiden Jokowi tampaknya memandang ASEAN hanya sebagai tempat bercengkrama bagi para pemimpin negara-negara Asia Tenggara karena kemungkinan tak memberi keuntungan yang signifikan bagi Indonesia. 

Sejauh ini, memang tidak ada negara-negara ASEAN yang terlihat benar-benar peduli untuk memperjuangkan isu dan agendanya dalam setiap pertemuan, termasuk Indonesia sendiri. 

Maka, kebijaka luar negeri Indonesia boleh jadi0 juga menjadi salah satu penyebab tidak signifikannya peran ASEAN dalam penanganan krisis di kawasan atau bahkan global. 

Padahal, sebagai negara besar di Asia Tenggara dan salah satu negara pendiri ASEAN, Indonesia seharusnya dapat berperan penting untuk merangkul negara-negara lain di ASEAN memperjuangkan setiap agenda dan isu yang diangkat dalam KTT. Terlebih, tahun ini Indonesia bertindak sebagai Ketua ASEAN. 

Lantas, melihat permasalahan yang terjadi di internal ASEAN tersebut, apakah lembaga multilateral seperti ASEAN masih cukup relevan menjadi jawaban atas krisis yang terjadi? 

Bukan Eranya Multilateral? 

Konsep kerja sama multilateralisme dipandang oleh beberapa pihak sudah tidak terlalu relevan di era sekarang ini. Berbagai macam kepentingan masing-masing negara dalam kerja sama multilateralisme yang akan menimbulkan perpecahan dan masalah dianggap sebagai salah satu faktor sudah tidak relevannya konsep multilateralisme.  

Multilateralisme dianggap hanya sebagai ajang berkumpul dan membahas permasalahan secara formalitas tanpa menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. 

Anggapan minor tentang multilateralisme tersebut tercermin dari apa yang terjadi dalam tubuh ASEAN. Nicholas Khoo dalam tulisannya yang berjudul Deconstructing The ASEAN Security Community menjelaskan sulit menemukan norma positif dalam hubungan intra-ASEAN. 

Hal itu karena, negara-negara anggota ASEAN lebih memilih lembaga internasional untuk penyelesaian konflik dibandingkan dengan semangat memberi dan menerima. 

Nicholas menambahkan, minimal, jika norma benar-benar dianggap penting oleh negara-negara ASEAN, kita akan melihat norma itu bekerja saat terjadi perselisihan antar negara ASEAN. 

Melihat analisis itu, bisa dikatakan jika sebenarnya negara-negara ASEAN semakin terlihat “berjalan masing-masing” terutama dalam menanggapi permasalahan yang terjadi dalam kawasan. 

Hal tersebut jelas sangat membahayakan ASEAN sebagai lembaga kerja sama multilateral yang mengedepankan kepentingan bersama, karena akan mempersulit tercapainya konsensus dan respons secara kolektif ketika ada permasalahan. 

Sinyal itu bisa dilihat dengan adanya perpecahan ketika negara-negara ASEAN merespons konflik yang terjadi di Myanmar belakangan ini. 

Negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Filipina menginginkan adanya pendekatan yang lebih vokal dan tegas terhadap Myanmar. 

Namun, disisi lain, Thailand dan Kamboja yang memang terkenal dekat dengan junta militer Myanmar tidak menginginkan adanya kesepakatan yang dapat mengisolasi Myanmar. 

Meskipun negara-negara ASEAN sudah menyepakati five point consensus terkait konflik di Myanmar pada 2021 lalu, masih ada negara anggota yang memandang hal itu hanya sekadar panduan, bukan sebuah perjanjian yang mengikat. 

Beberapa tahun belakangan, memang terlihat tidak adanya perhatian negara ASEAN terhadap perkembangan dan terobosan ASEAN itu sendiri. Hal ini membuat ASEAN kini kurang dianggap berarti dalam percaturan politik internasional. 

Negara-negara ASEAN kiranya harus lebih berani dalam memperjuangkan setiap isu yang dianggap penting bagi kawasan. Sehingga, ASEAN sebagai lembaga kerja sama multilateral kembali mendapatkan posisi tawar yang baik dalam politik internasional dan dihadapan negara anggotanya sendiri. (S83) 

Exit mobile version