HomeNalar PolitikBenarkah 2024 Jokowi Kehilangan Segalanya?

Benarkah 2024 Jokowi Kehilangan Segalanya?

Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto bergantian menempati posisi puncak dalam survei elektabilitas calon presiden (capres) yang dirilis berbagai lembaga survei. Hal tersebut pun dikaitkan dengan restu yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap dua nama tersebut. Namun, mengapa dan benarkah restu itu berpengaruh? 


PinterPolitik.com 

Elektabilitas yang dirilis beberapa lembaga survei terhadap tiga tokoh bakal calon presiden (capres) menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 terus bergerak dinamis. 

Namun, persaingan ketat dalam memperebutkan posisi pertama sejauh ini tampak hanya terjadi di antara Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Sementara satu nama lainnya, Anies Baswedan tetap tak beranjak dari posisi ketiga.

Itu misalnya tercermin dalam survei terakhir yang dilakukan Poltracking Indonesia. Elektabilitas Prabowo berada pada posisi teratas dengan 28,8 persen, posisi kedua ditempati Ganjar dengan 27,5 persen, dan Anies berada di posisi ketiga dengan 19,3 persen. 

Namun, hasil survei yang dirilis pada 30 April 2023 oleh Indikator Politik Indonesia, elektabilitas Ganjar berada di posisi pertama dengan 34 persen, Prabowo diurutan kedua dengan elektabilitas 31,7 persen, dan Anies duduk di posisi ketiga pada perolehan 25,2 persen. 

Berdasarkan contoh dua hasil survei diatas, persaingan ketat tampak hanya terlihat pada Ganjar dan Prabowo. Baik secara perolehan suara yang berbeda tipis ataupun secara posisi yang saling bergantian menempati posisi pertama survei. 

Refleksi dari kecenderungan itu kemudian datang dari Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi yang menilai torehan tersebut berkaitan dengan approval rating atau tingkat kepuasan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

luhut berani setop jokowi

Tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi akan berpengaruh terhadap elektabilitas Ganjar dan Prabowo yang memang disebut-sebut telah mendapat restu langsung atau endorsement dari Presiden Jokowi untuk menjadi suksesornya kelak. 

Sementara, Anies yang tidak mendapatkan political endorse Presiden Jokowi, serta mencitrakan atau dicitrakan sebagai antitesa Jokowi akan naik elektabilitasnya jika tingkat kepuasan terhadap Jokowi menurun. 

Namun, dari survei yang dilakukan Litbang Kompas justru menunjukkan hasil yang berbeda dari pernyataan Burhanuddin. Meski Presiden Jokowi telah memberikan sinyal dukungan kepada beberapa bakal capres, hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2022 menyatakan hanya 15,1 persen masyarakat yang yakin bakal memilih sosok capres yang didukung Jokowi. 

Sedangkan, 30,1 persen responden tidak akan memilih bakal capres yang disarankan Jokowi, dan 35,7 persen lainnya memutuskan masih akan mempertimbangkan. Sisanya, 19,1 persen menjawab tidak tahu. 

Terlepas dari hasil survei yang memang tak dapat menggambarkan hasil riil Pilpres 2024 kelak, satu pertanyaan menarik lain kiranya mengemuka. Mengapa dukungan politik (political endorsement) yang dilakukan Presiden Jokowi dianggap penting? Dan, apakah itu benar-benar penting dan berpengaruh? 

Restu Jokowi Overrated? 

Peneliti sekaligus Manager Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad sempat mengatakan tingkat kepuasan publik atau approval rating terhadap kinerja Presiden Jokowi sedang menanjak beberapa bulan terakhir menjelang akhir masa jabatannya. 

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Bahkan, Saidiman menambahkan, tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi mencapai diatas angka 75 persen dan akan membuat dirinya menjadi king maker dalam Pilpres 2024. 

George C. Edwards III dalam jurnal yang berjudul Explaining Presidential Approval: The Significance of Issue Salience menjelaskan studi kepuasan publik atas presiden (president approval ratings) dilakukan untuk melihat persepsi publik terhadap kinerja presiden berdasarkan isu-isu krusial seperti ekonomi (pengangguran dan inflasi), politik, hukum, dan kesehatan.

infografis jokowi tentukan politik 2024 percaya1

 

Karena basis dari poling ini adalah persepsi individu, maka tingkat kepuasan publik terhadap seorang presiden ditentukan oleh krusialnya masing-masing isu bagi setiap individu. 

Oleh karena itu, approval rating terhadap Jokowi yang kabarnya menembus diatas angka 75 persen masih perlu dipertanyakan. Hal ini karena kinerja pemerintahan Presiden Jokowi pun masih banyak menuai kritikan dari publik jelang akhir masa jabatannya.

Jeffrey E. Cohen dalam Interest Groups and Presidential Approval mengatakan tingkat kepuasaan publik atas presiden biasanya hanya digunakan sebagai alat untuk memprediksi kemenangan kandidat yang didukungnya atau partai politiknya dalam pemilu yang akan datang. 

Hal ini dikarenakan kandidat yang didukung oleh presiden yang akan habis masa jabatannya setidaknya akan memiliki beberapa kebijakan yang sama dengannya. 

Dalam konteks Presiden Jokowi, jika pun benar tingkat approval rating Jokowi berada diatas angka 75 persen, hal itu tak menjamin Jokowi akan menentukan kemenangan kandidat yang didukungnya. 

Justru, bukan tak mungkin jika parpol dan kandidat capres yang menginginkan political endorsement dari Jokowi hanya untuk mendapatkan efek ekor jas (coattail effect), namun tidak melihat Jokowi sebagai king maker yang menjamin kemenangan bagi mereka. 

Selain itu, sulit tampaknya bagi kita melihat dukungan Presiden Jokowi yang berdasarkan kehendak independen sang mantan Wali Kota Solo itu sendiri. 

Itu mengingat, Presiden Jokowi adalah kader partai biasa dan bukan tokoh partai, dukungan itu boleh jadi hanya untuk mengikuti kehendak PDIP selaku partai tempat Jokowi bernanung. 

Mengutip epistemologi filsuf David Hume yang menjelaskan kesesatan bernalar karena kekeliruan melihat sebuah fenomena disebut dengan post hoc ergo propter hoc. 

Karena peristiwa X mengikuti peristiwa Y, maka bukan berarti peristiwa X disebabkan oleh peristiwa Y. Artinya, jika Presiden Jokowi memberikan political endorsement kepada kandidat A, bukan berarti kandidat A maju karena dukungan darinya secara langsung. 

Hal tersebut bisa kita lihat dari ditunjuknya Ganjar Pranowo sebagai capres dari PDIP. Dukungan Presiden Jokowi kepada Ganjar untuk maju dalam Pilpres 2024 bukan menjadi penyebab ditunjuknya Ganjar oleh partai berlambang banteng tersebut. 

Namun, PDIP mempunyai ketentuan yang mengatakan bahwa penunjukan capres adalah hak prerogatif Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri, tanpa satu pun pernyataan resmi partai yang keluar bahwa penunjukan berasal dari dukungan Jokowi yang hanya sebagai kader biasa di PDIP. 

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Singkatnya, survei elektabilitas kandidat, political endorsement Jokowi ataupun tingkat approval rating tidak akan mempengaruhi pemilih secara konkret. 

Apalagi, cukup sulit agaknya untuk seorang presiden yang kinerjanya pun masih menjadi pertanyaan banyak pihak dapat memengaruhi pilihan pemilih pada Pilpres 2024 nanti. Bahkan, termasuk ke relawannya di 2014 maupun 2019 yang kini seolah terbelah. 

Lalu, berkaca pada interpretasi tersebut, apakah yang dapat dimaknai dari impresi pengaruh yang sebenarnya tampak tak signifikan dari eks Gubernur DKI Jakarta itu setelah dirinya tak lagi menjabat di 2024? 

koalisi pilpres restu jokowi dipermainkan

Akan Kehilangan “Jati Diri”? 

Melalui endorsement, Presiden Jokowi kiranya ingin memastikan jika penerusnya nanti akan memberikan perlindungan politik pada dirinya ketika sudah tidak lagi menjabat. 

Termasuk, probabilitas turunan untuk berusaha menjamin posisi Gibran Rakabuming Raka (anak) dan Bobby Nasution (menantu) yang menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Wali Kota Medan posisi dan kariernya tetap “aman” dalam politik nasional. 

Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi seolah berupaya mempertahankan modal politik atau political capital personalnya selama ini dengan melakukan political endorsement pada beberapa kandidat bakal capres. Tentu, untuk “bekal” saat tak lagi menjabat. 

Rusydi Syahra dalam jurnalnya yang berjudul Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi juga menjelaskan kekuatan modal sosial salah satu elemen modal politik yang dimiliki seseorang tergantung pada seberapa besar kuantitas maupun kualitas jejaring sosial yang mampu dibangun. 

Dalam konteks Presiden Jokowi, upayanya dalam mempertahankan modal sosial yang dia miliki dengan cara melakukan political endorsement, serta tampak berusaha memposisikan diri sebagai king maker dalam menentukan kandidat capres maupun arah dukungan Pilpres 2024 kiranya belum cukup untuk menjadi “bekal” politiknya ketika sudah tak lagi menjabat. 

Kemungkinan penyebabnya adalah, pertama, meski statusnya nanti pasca 2024 adalah mantan presiden, posisinya yang hanya sebagai kader partai di PDIP tampak tidak cukup kuat untuk menandingi kekuatan pengaruh trah Soekarno maupun trah Megawati dalam tubuh PDIP yang masih kuat. 

Modal politik yang hanya bersumber dari impresi endorsement pun agaknya belum cukup untuk membuat dirinya untuk tetap eksis dalam politik nasional. 

Kedua, masih berkaitan dengan poin pertama, Presiden Jokowi bukan seorang pembuat keputusan (decision maker) di PDIP karena posisinya sebagai kader dan presiden yang lahir dari populisme yang sifatnya sesaat. 

Hal itu dapat direfleksikan dari tulisan Otto Gusti Madung yang berjudul Populism, The Crisis Of Democracy, And Antagonism yang menjelaskan prestasi elektoral Jokowi didasarkan pada konsultasi dan komunikasi langsung dengan para konstituen.

Namun, sejumlah agenda perubahan dan pro rakyat Jokowi yang pernah dijanjikan pada masa kampanye sulit direalisasikan karena bertentangan dengan kepentingan partai-partai politik pengusung pemerintah yang dikuasai para oligark. 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?