HomeNalar PolitikBenar Yahya Pegang Nasib Muhaimin?

Benar Yahya Pegang Nasib Muhaimin?

Yahya Cholil Staquf menjadi salah satu tokoh yang paling diunggulkan untuk Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang baru. Sebagian pihak menilai jika Yahya berhasil menjadi Ketua Umum PBNU, pengaruhnya akan dimanfaatkan untuk menggoyahkan kepemimpinan Muhaimin Iskandar di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Pada tanggal 23 sampai 25 Desember nanti, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menyelenggarakan acara Muktamar ke-34. Rencananya, di dalam acara tersebut akan ditentukan Ketua Umum (Ketum) dan Rais Aam yang baru untuk lima tahun ke depan. Untuk saat ini, nama yang paling mencuat di bursa ketum adalah sang petahana Said Aqil Siradj dan Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.

Sebagai organisasi Muslim terbesar di Indonesia, banyak pihak yang menilai ketum yang akan dipilih nanti akan memberikan dampak yang besar pada perpolitikan Indonesia. Tidak heran, dilihat dari sejarahnya, organisasi ini memang memiliki keterkaitan yang kental dengan politik. Khususnya, dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang didirikan oleh Presiden Indonesia ke-4 sekaligus Ketum PBNU periode 1984-1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Salah satu komentar yang menarik adalah dari seorang pengamat politik asal Universitas Paramadina, Khoirul Umam. Ia melihat jika Gus Yahya terpilih menjadi Ketum PBNU yang baru, maka ulama yang saat ini menjabat sebagai Katib Aam tersebut bisa dimanfaatkan oleh sekelompok kader PKB yang ingin menggulingkan posisi Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dari posisinya sebagai ketum partai.

Baca Juga: Yenny Wahid, Kunci Poros Islam?

Utamanya, menurut Umam, adalah dari pihak yang selama ini berusaha menggunakan perseteruan politik antara Cak Imin dan Gus Dur pada tahun 2009 untuk mendapatkan dukungan. Umam mengatakan pihak tersebut utamanya terdiri dari elemen internal yang terkesampingkan dari lingkaran elite partai.

Dan memang, beberapa waktu yang lalu, sempat beredar kabar akan diadakan Muktamar Luar Biasa (MLB) di PKB untuk menggeser Cak Imin. Pada April 2021, Yenny Wahid, putri dari Gus Dur, sempat berusaha mendorong internal partai beserta sesepuhnya untuk mengingat apa yang dilakukan Cak Imin pada Gus Dur dalam upayanya memperoleh posisi Ketum PKB. Ia juga mengklaim kalangan akar rumput PKB memandang diamnya para sepuh sebagai upaya perlindungan rezim politik Cak Imin.

Kemudian, pada saat yang sama, Yenny juga mengaku mendapat dorongan dari “arus bawah” partai untuk menggantikan Cak Imin sebagai ketum partai, meskipun ia saat itu mengaku belum mempunyai pikiran ke sana.

Dengan demikian, karena Gus Yahya memiliki kedekatan personal dengan keluarga Ciganjur, yaitu keluarga Gus Dur, Umam menilai ini akan dijadikan sebagai pintu pembuka untuk mengonsolidasikan kekuatan politik oposisi internal PKB.

Lalu, dapatkah anggapan tersebut kita benarkan?

Kekuatan Akar Rumput dan Elite

Gus Yahya memang punya kedekatan khusus dengan Gus Dur, ia pernah secara langsung diangkat sebagai Juru Bicara Presiden Indonesia ke-4 tersebut. Sebelumnya, Gus Yahya juga merupakan anggota sighor shohabah, sebutan yang diberikan pada murid-murid unggulan sekaligus sahabat Gus Dur di NU.

Baca juga :  Siasat Rahasia Prabowo-Sri Mulyani?

Selain kedekatan langsung dengan Gus Dur, yang membuat publik melihat Gus Yahya memiliki kelekatan khusus dengan PKB juga  karena ayah dari Katib Aam tersebut, yakni M. Cholil Bisri adalah salah satu pendiri partai lebah.

Namun, apakah ini cukup untuk mengonsolidasikan kekuatan politik oposisi internal PKB?

Tanpa perlu menerka-nerka, jika kita membicarakan mengenai pergantian kepemimpinan, tentu kita perlu melihat proyeksi kekuatan yang ada.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak menilai kepemimpinan Cak Imin di PKB dikuatkan oleh beberapa hal. Pertama, kesuksesannya dalam mengantarkan partai lebah ke jajaran partai politik papan atas. Memang, di Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dan 2019, PKB menjadi partai berbasis Islam dengan perolehan suara terbanyak.

Hal ini menurut Zaki karena Cak Imin mampu melakukan gerakan politik yang sering tak terduga dan cenderung keluar dari pakem. Kita ingat, pada Pemilu 2014, strategi Cak Imin banyak membuat orang cukup terkaget saat ia menggandeng musisi Ahmad Dhani dan Haji Rhoma Irama masuk dalam barisan PKB. Ini juga ternyata berdampak pada elektoral PKB waktu itu.

Kemudian, Zaki menilai PKB di bawah Cak Imin berhasil memposisikan dirinya sebagai kekuatan religius yang nasionalis dengan mengintegrasikan wawasan keagamaan dan kebangsaan, serta sebagai salah satu pengusung moderatisme beragama. Zaki melihat ini menjadi modal tersendiri bagi Cak Imin, karena sebelumnya PKB belum pernah benar-benar bergerak seperti ini.

Terakhir, Zaki juga menyinggung soal kemampuan Cak Imin merangkul dan mencapai kalangan milenial. Ini dicerminkan dari bagaimana Cak Imin sangat aktif di berbagai platform media sosial seperti Instagram dan Twitter.

Baca Juga: Cak Imin Buat PKB Jadi Golkar?

Kemudian, kekuatan Cak Imin juga bisa dilihat dari bagaimana ia mendapatkan dukungan suara dari NU. Pengamat politik dari Universitas Nasional Australia, Greg Fealy, dalam tulisannya yang berjudul Nahdlatul Ulama and the Politics Trap, menilai Cak Imin sangat kuat dalam membangun dan menjamin dukungan dari kalangan atas maupun akar rumput NU.

Fealy merangkum dua strategi kunci yang dilakukan Cak Imin. Pertama, dengan mempererat hubungan antara PKB dan NU melalui semacam sistem perpajakan. Semua sayap parlemen PKB di tingkat nasional dan daerah diperintahkan untuk memberikan pembayaran bulanan kepada NU untuk keperluan administrasi, yang berasal dari retribusi oleh semua kader PKB. Sebagai pemanisnya, PKB juga menjamin jika partai itu dibubarkan, semua asetnya akan dialihkan ke NU.

Strategi yang kedua adalah infiltrasi ke kiai-kiai daerah melalui bantuan dana. Dengan bantuan seorang pialang politik senior, Muhaimin berhasil membujuk pemilik Lion Air, Rusdi Kirana, untuk bergabung dengan partai dan menjadi wakil ketuanya. Rusdi kemudian memberikan dana yang cukup besar kepada kiai lokal di daerah pemilihan kunci serta membuat sejumlah program kewirausahaan bagi pengusaha muda NU.

Baca juga :  Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Lalu, pertanyaan besarnya adalah, mampukah oposisi internal PKB mengalahkan kekuatan besar Cak Imin, hanya dengan mengandalkan Gus Yahya sebagai ketum baru PBNU?

Cak Imin Masih Tangguh

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan jika ada kelompok yang hendak menggeser kepemimpinan Cak Imin di PKB, maka mereka harus memiliki kekuatan yang besar. Kekuatan ini, nilai Ujang, berasal dari para kiai lokal dan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang notabene adalah pemilik suara PKB sesungguhnya.

Ini yang menjadi sumber daya terkuat Cak Imin. Tanpa adanya dukungan dari daerah, bentuk perlawanan terhadap kepemimpinan PKB yang sekarang tidak akan efektif.

Karena hal tersebut, akan sangat sulit jika Gus Yahya memang nantinya didorong untuk merubah kepemimpinan di PKB. Meskipun Gus Yahya diberikan dukungan politik yang kuat dari tokoh PKB seperti Yenny Wahid, Gus Yahya masih harus mendapatkan kekuatan tidak hanya berbasis politik, tetapi juga berbasis ekonomi, yang sudah sejak sebelum Pemilu 2014 ditanam oleh Cak Imin di pesantren dan kiai daerah.

Selain itu, di badan NU sendiri, muncul fenomena baru yang cukup unik. Kembali mengutip Fealy, ia menilai saat ini otoritas politik ulama besar PBNU semakin menurun. Sebelum era Reformasi, jika seorang kiai besar berafiliasi pada partai tertentu, maka hampir bisa dipastikan mayoritas santri akan mengikuti pandangan politiknya.

Baca Juga: Baliho Cak Imin Bukan untuk Nyapres?

Namun, di dua puluh tahun terakhir, keadaannya tidak lagi seperti itu. Dengan adanya penyusupan ke daerah-daerah, seorang tokoh politik bisa saja lemah di NU Pusat, tetapi kuat di daerah.

Dengan pendapat-pendapat di atas, penulis berkesimpulan,  argumentasi yang menyebutkan posisi Cak Imin terancam dengan pemilihan Gus Yahya sebagai ketum baru PBNU masih terlihat lemah.

Memang, isu Gus Dur yang beberapa bulan terakhir selalu digemborkan untuk menjadi alasan menyelenggarakan MLB, sekilas terdukung oleh kedekatan Gus Yahya dengan keluarga Ciganjur. Tetapi, melihat konteks PBNU yang sekarang, pelengseran Ketum PKB tidak cukup hanya dengan pernyataan-pernyataan politik, tetapi juga butuh tindakan nyata yang memakmurkan para santri di daerah.

Oleh karena itu, tampaknya Cak Imin sekarang masih bisa duduk dengan tenang. Manuver politik yang selama ini ia lakukan dan pencapaian yang ditoreh PKB, telah menjadikan politikus kelahiran Jombang tersebut sebagai tokoh paling kuat di PKB untuk saat ini. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?