HomeNalar PolitikBenang Kusut Aksi Intoleran

Benang Kusut Aksi Intoleran

Aksi kekerasan beragama nampak memiliki pola, masyarakat pun mulai berteori untuk mengurai benang kusut aksi tersebut.


PinterPolitik.com

[dropcap]N[/dropcap]egara dalam keadaan darurat. Begitulah gambaran yang terkesan saat melihat berita dan wacana di media sosial. Kengerian timbul setelah negeri ini dilanda aksi intoleransi secara bertubi-tubi dan beruntun.

Teranyar, aksi penyerangan terjadi pada Gereja Santa Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta. Seorang pria bersenjata pedang menyerang pastor dan beberapa umat yang sedang beribadat. Seketika, rasa khawatir pun menyelimuti penduduk yang ada di negeri ini.

Kejadian di Gereja Lidwina hanyalah satu dari rentetan penyerangan serupa yang terjadi sebelumnya. Beberapa pemuka dari lintas agama, juga telah menjadi sasaran tindak kekerasan. Situasi ini pun membuat publik bertanya-tanya, beberapa lainnya mulai menerka-nerka. Beragam teori konspirasi pun muncul dengan berbagai versi.

Sejauh ini, kepolisian menilai peristiwa penyerangan yang waktu kejadiannya berdekatan tersebut tidak memiliki kaitan dan berlaku tunggal. Namun, masyarakat sepertinya tidak begitu saja mudah percaya. Sangat mungkin ada benang merah dari rangkaian tersebut. Masyarakat pun mulai menduga-duga, siapa yang diuntungkan dari kondisi ini?

Pola yang Serupa

Dari rangkaian peristiwa yang terjadi, nampak kalau ada pola yang serupa dari kekerasan berbau agama belakangan ini. Tanda yang paling terlihat adalah korban dari kekerasan tersebut adalah para pemuka agama.

Selain memiliki korban yang sama, para pelaku kekerasan juga memiliki profil yang serupa. Setelah dilakukan pemeriksaan, para pelaku ini kerapkali dinyatakan mengalami gangguan kejiwaaan.

Benang Kusut Aksi Intoleran

Dari fakta ini, sulit rasanya memercayai kalau kejadian tersebut bersifat kebetulan dan acak. Terlebih, label gangguan kejiwaan pada para pelaku juga cukup menggelitik. Sangat aneh jika tiba-tiba ada orang dengan gangguan kejiwaan berlaku agresif tanpa disertai pemicu. Lebih mengherankan lagi, obyek kekerasannya serupa yaitu pemuka agama.

Melihat dari fakta yang ada, kejadian ini memiliki kemiripan pola dengan kasus kekerasan terhadap pemuka agama sebelumnya. Salah satunya adalah peristiwa Naga Hijau di Banyuwangi dan sekitarnya, setelah Mei 1998. Pada peristiwa tersebut, korban-korbannya merupakan para ulama NU dan disinyalir pelakunya adalah “orang-orang sakit”.

Peristiwa Naga Hijau terjadi ketika Soeharto baru saja meninggalkan jabatannya sebagai Presiden. Saat itu, terjadi pembantaian para guru ngaji di kawasan Banyuwangi dan sekitarnya di Jawa Timur. Akibatnya, timbul keresahan dan kerusuhan di masyarakat akibat operasi Naga Hijau ini.

Selain mirip dengan peristiwa Naga Hijau, pola serupa juga ditemukan di Amerika Serikat (AS). Di Negeri Paman Sam tersebut, dikabarkan kalau seringkali ada aksi penembakan yang disebut dilakukan oleh lone wolf oleh orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Motif Memecah Belah Bangsa

Banyak pihak menganggap, rangkaian kejadian ini adalah bentuk dari upaya memecah belah bangsa. Bila dilihat dari rangkaian kejadiannya, bisa saja disimpulkan kalau ada upaya adu domba di masyarakat.

Kejadian kekerasan yang berulang-ulang pun akan menciptakan ketakutan berlebihan dalam masyarakat. Rasa takut juga akan menimbulkan saling curiga di antara para pemeluk agama, dan pada akhirnya akan berubah menjadi perasaan benci. Bila pola ini sudah tertanam, maka masyarakat akan sangat mudah dipancing emosinya.

Munculnya rentetan kekerasan, juga dapat menimbulkan pertentangan di antara umat beragama. Masing-masing pemeluk agama akan lebih ekspresif menyampaikan kebencian mereka pada pemeluk agama lain. Pertentangan tersebut dapat berujung pada instabilitas nasional.

Menariknya, pemuka agama yang menjadi korban kekerasan bukan hanya dari Islam saja, tapi juga dari agama lain, seperti Buddha dan Katolik. Entah atas dasar apa ketiga pemuka agama ini yang diserang, namun ada dugaan kalau penyerangan ini hanya bersifat pengalih perhatian utama saja. Beberapa pihak menduga, target awalnya adalah pemuka agama Katolik dan Buddha.

Di sisi lain, ada juga yang mengaitkan situasi ini dengan sentimen anti-Tiongkok. Alasannya berawal dari pernyataan petinggi Vatikan yang menyatakan kalau Tiongkok adalah negara yang paling mendekati ajaran Katolik sebenarnya. Padahal, Tiongkok merupakan salah satu negara yang pemeluk Buddha-nya terbanyak di dunia.

Berkaitan Dengan Tahun Politik?

Menurut Lembaga Swadaya Masyarakat KontraS, sulit untuk tidak melihat rangkaian kasus ini tanpa memandang dimensi politiknya. Jika dimensi tersebut diabaikan, maka kasusnya bisa saja terus-menerus meluas.

Ada indikasi bahwa peristiwa-peristiwa tersebut akan dibungkus dalam kemasan politik identitas jelang tahun politik, terutama pada 2019. Politik identitas merupakan isu yang sangat provokatif dan mudah menggiring massa untuk kepentingan elektoral.

Rangkaian peristiwa ini bisa saja dibingkai oleh pihak tertentu untuk kembali menciptakan narasi “kita vs mereka”. Kebencian terhadap satu kelompok agama dapat kembali digunakan untuk kepentingan kelompok lain. Sehingga, isu untuk memilih pemimpin seagama dapat kembali digunakan oleh kelompok tertentu.

Isu ini juga bisa digiring untuk menciptakan sosok yang dianggap mampu mengatasi kegentingan, seperti yang terjadi belakangan. Masyarakat bisa saja diarahkan untuk memilih pemimpin yang dianggap kuat dan kompeten menghadapi rangkaian kasus kekerasan tersebut.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Argumentasi ini pernah dikemukakan oleh Ketua Umum PPP, M. Romahurmuziy. Menurutnya, kejadian ini bisa saja dimanfaatkan oleh kandidat dengan latar belakang tertentu yang dianggap paling mampu mengendalikan keamanan.

Siapa yang Paling Diuntungkan?

Melihat beragam teori yang berserakan ini, nampak adanya ketidakpastian siapa yang paling diuntungkan dari aksi-aksi intoleran tersebut. Akan tetapi kejadian yang begitu mirip dan berdekatan ini, dipastikan sulit untuk mengelak kalau memang ada yang merancangnya.

Dari sejumlah motif yang mungkin dapat menjadi pencetus, rasa-rasanya kejadian tersebut sengaja dirangkai untuk memancing emosi masyarakat, mempertentangkan masyarakat, menghadapkan masyarakat dengan aparat keamanan, atau menghambat pelaksanaan Pemilu dengan huru-hara.

Benang Kusut Aksi Intoleran

Secara teori, aksi kekerasan bisa saja memberikan keuntungan. Menurut Earl Conteh-Morgan, ada kelompok yang bisa mengerahkan kekuatannya untuk memperoleh keuntungan politik. Kelompok ini bisa mengerahkan waktu, uang, atau kekuatan sosial-politik untuk menggerakkan aksi kekerasan.

Ada berbagai pihak yang dianggap masyarakat paling memiliki kekuatan untuk merancang hal ini. Kekuatan pertama yang dimaksud adalah negara. Jika melihat pengalaman kejadian seperti Operasi Naga Hijau, yang dianggap bertanggungjawab adalah kelompok militer.

Kekuatan semacam itu juga umumnya dimiliki oleh pihak asing. Jika memang gerakan ini berbau terorisme, maka bisa saja gerakan transnasional yang berada di Timur Tengah seperti Arab Saudi, ada di belakangnya. Mungkin pula negara dengan riwayat operasi berbau spionase seperti Amerika Serikat menjadi dalangnya.

Jika melihat operasi lintas negara di masa lalu, ada motif geopolitik di balik operasi ini. Melihat kondisi terkini, Indonesia tengah dekat dengan Tiongkok. Bisa saja ada negara yang tidak senang Indonesia dekat dengan Negeri Tirai Bambu tersebut.

Berdasarkan motif-motif di atas, mungkin pula mengaitkan kejadian ini dengan tahun politik. Dalam hal ini ada aktor politik yang diuntungkan. Bisa saja ada aktor politik yang ingin mendelegitimasi pemerintahan melalui aksi-aksi kekerasan. Aktor ini, biasanya, akan memunculkan diri saat kondisi sudah mulai mencekam dan menjadi “pahlawan” karena mampu menguasai keadaan.

Pemerintah sendiri, tampaknya tidak ingin menduga-duga akan adanya aktor atau faktor khusus dari kejadian-kejadian tersebut. Baik Kapolri maupun Mendagri, sama-sama menganggap peristiwa tersebut bersifat kasuistik dan tidak saling berkaitan.

Bak benang kusut, menemukan siapa yang paling diuntungkan dari aksi intoleran ini memang memusingkan. Akan tetapi, kesamaan pola yang ada juga membuatnya semakin membingungkan. Namun, rangkaian kekerasan ini tidak bisa dipandang sebagai kasus biasa atau remeh-temeh. Kesamaan pola tentu perlu direspon pemerintah dan masyarakat secara cermat, agar dapat menemukan ujung dari benang kusut ini. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...