PKS memiliki koordinator wilayah Dakwah untuk menyampaikan pesan politik ke kampus –Hasan Nasbi
PinterPolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]ibuan mahasiswa dengan almamater berwarna biru berhasil menduduki Gedung DPRD Riau pada tanggal 10 September 2018. Dengan mengarak sebuah pocong, mahasiswa dari kampus Universitas Islam Riau (UIR) itu memenuhi Gedung DPRD dan menuntut Jokowi untuk mundur dari jabatan presiden.
Dalam aksinya, mahasiswa UIR meneriakkan empat tuntutan utama, yakni menuntut Jokowi untuk mundur, mendorong pemerintah untuk mengatasi krisis perekonomian, mengkritik pemerintahan Jokowi yang dianggap anti-demokrasi, hingga menuntut pengusutan kasus korupsi PLTU Riau.
Kabar pendudukan Gedung DPRD oleh mahasiswa UIR langsung tersebar melalui kanal-kanal media arus utama. Menanggapi hal itu, beberapa pihak ikut angkat suara. Sekjen Pro Demokrasi (Prodem) Satyo Purwanto menilai aksi mahasiswa di Riau berpeluang mendorong kelahiran aksi-aksi serupa di daerah lain.
Politisi PDIP Aria Bima punya pendapat berbeda. Ia merespons aksi tersebut dengan nada sinis. Aria berpendapat kalau sikap politik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) jangan sampai seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), yang dia anggap konfrontatif dan mewakili kepentingan PKS.
Ketua Umum PP KAMMI Irfan Ahmad Fauzi menyesalkan pendapat Aria Bima tersebut. Ia membantah tuduhan bahwa KAMMI berafiliasi dengan PKS. Pimpinan Pusat KAMMI itu pun menantang Aria Bima untuk berdebat mengenai kondisi bangsa Indonesia saat ini.
Mas @ariabima99
Ditantangin adek2 @KAMMIPusat
Pasti berani lah ?https://t.co/kpJxv27Gfz— Kharis Masduki (@KharisMasduki) September 12, 2018
Menarik untuk dijadikan catatan, bahwa tuduhan mahasiswa telah ditunggangi oleh PKS bukan terjadi kali ini saja. Sebelumnya, Ketua BEM UI Zadit Taqwa pernah dituding sebagai kader PKS ketika dirinya populer karena aksi Kartu Kuning Jokowi di kampus UI.
Tuduhan bahwa mahasiswa rentan ditunggangi oleh politisi pernah disampaikan oleh Daoed Josoef ketika ia memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus pada tahun 1978. Ia mengatakan bahwa mahasiswa yang kadar intelektualnya masih rapuh kerap kali terpancing untuk mendobrak kekuasaan agar kemudian diselesaikan oleh sang politisi yang akan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri.
Lantas, apakah benar bahwa mahasiswa telah digerakkan oleh politisi tertentu demi kepentingan politik praktis, lebih khususnya para politisi yang tergabung dalam PKS?
BEM Jadi Rebutan
BEM secara fungsional merupakan organisasi perwakilan mahasiswa. Dari organisasi inilah kegiatan-kegiatan mahasiswa bermula. Menurut SK Mendikbud No.155/U/1998 BEM memiliki fungsi sebagai perwakilan mahasiswa yang menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis program dan kegiatan kemahasiswaan.
Posisi sentral BEM di sebuah universitas membuat BEM jadi rebutan para pemangku kepentingan politik. Hal itu sudah terjadi sejak masa Orde Lama. Dody Rudianto dalam buku Gerakan Mahasiswa dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional menyatakan bahwa pengaruh politik masuk ke dalam kehidupan mahasiswa melalui organisasi-organisasi ekstra kampus yang berebut menguasai BEM yang saat itu masih dikenal dengan nama Dewan Mahasiswa (Dema).
Organisasi ekstra kampus yang besar pada saat itu adalah HMI yang dekat dengan kaum Islam moderat dan Golkar, GMNI dengan PNI, CGMI dengan PKI, PMKRI dengan gerakan Katolik, IMM dengan Muhammadiyah, PMII dengan NU, hingga Gemsos yang memiliki kedekatan dengan PSI.
Seperti Dema, saat ini BEM-BEM kampus telah menjadi rebutan organisasi ekstra universitas. Pertanyaannya adalah mengapa BEM ini menjadi rebutan berbagai pihak? Adakah keuntungan khusus bagi kelompok yang berhail merebut kursi kepemimpinan BEM?
Bagi para pemangku kepentingan, merebut BEM merupakan prasyarat untuk menguasai suara kampus. Keunggulan BEM terletak pada suara mereka karena suara BEM dianggap mewakili aspirasi mahasiswa se-universitas. Maka ketika seorang Ketua BEM mengeluarkan sebuah pernyataan, itu lebih bernilai politis dan langsung mendapat perhatian masyarakat secara luas dibandingkan pernyataan dari mahasiswa biasa.
Selain pernyataan, sikap politik BEM juga dianggap mewakili aspirasi seluruh mahasiswa terhadap isu tertentu. Lihat saja demonstrasi mahasiswa di Riau kemarin, sekalipun tidak diikuti oleh seluruh mahasiswa di kampus tersebut, demonstrasi itu tetap dianggap sebagai aksi dari mahasiswa Universitas Islam Riau.
Fungsi-fungsi representatif organisasi mahasiswa ini diungkapkan misalnya oleh Rachel Brooks, Kate Byrford, dan Katherine Sela. Mereka mengungkapkan bahwa organisasi mahasiswa –yang dalam konteks Indonesia diwakili BEM- memang semakin lama semakin menguat unsur representatifnya tersebut.
Kekuatan politis BEM itu membuat para elite politik tergiur sehingga mereka berusaha menguasai BEM-BEM kampus untuk bertarung dengan lawan-lawan politik mereka melalui tameng kampus dan organisasi mahasiswa.
Kekuatan politis BEM membuat para elite politik berusaha menguasai BEM-BEM kampus Share on XSelain mampu menggiring opini publik melalui pernyataan, BEM juga memiliki wewenang untuk menetapkan garis-garis program dan kegiatan mahasiswa. Keunggulan ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan indoktrinasi, terutama terhadap mahasiswa baru.
Di sebuah universitas, sepopuler apapun seorang mahasiswa, ia tetap tidak memiliki kuasa terhadap program-program kemahasiswaan seperti wewenang khusus yang dimiliki oleh BEM. Maka siapa pihak yang dapat menguasai BEM, ia pun dapat menguasai panggung di sebuah universitas.
Sangatlah wajar ketika para pemangku kepentingan berusaha menancapkan kuku mereka di kampus, karena BEM bisa dimanfaatkan untuk membuka jalan para politisi untuk tampil di depan panggung mahasiswa.
PKS menguasai BEM?
Berbeda dengan dinamika politik kampus pada era Soekarno, di masa Reformasi, gerakan Tarbiyah telah tampil dan menggeser dominasi organisasi ekstra seperti HMI, PMKRI hingga GMNI dalam kontestasi penguasaan BEM.
Dosen Sejarah UI, Abdurakhman dalam disertasinya yang berjudul Gerakan Tarbiyah 1980-2010 menyatakan bahwa Tarbiyah dari sudut bahasa mengandung arti pendidikan. Sedangkan secara konseptual, Tarbiyah merupakan suatu metode dalam melakukan proses perubahan untuk mencapai struktur masyarakat yang lebih baik. Metode tersebut dipengaruhi oleh ide-ide yang dipergunakan oleh Ikhwanul Muslimin.
Di banyak kampus, gerakan Tarbiyah dapat dilihat pada lembaga-lembaga dakwah keagamaan yang secara rutin mengadakan lingkaran pengajian halaqah/liqa untuk para mahasiswa.
Abdurakhman menambahkan, sejak awal kemunculannya, lembaga dakwah mahasiswa coba memanfaatkan ruang kosong kampus yaitu masjid-masjid kampus ketika rezim Orde Baru sangat keras membatasi gerakan mahasiswa. Gerakan ini coba memanfaatkan celah karena masjid kampus pada saat itu merupakan tempat yang tidak terjangkau oleh kontrol pemerintah. Sehingga masjid kemudian dimanfaatkan untuk menyebarkan dakwah, sampai akhirnya gerakan ini semakin lama semakin membesar.
Setelah Orde Baru jatuh, gerakan Tarbiyah coba mengambil momentum reformasi dan keterbukaan politik pada saat itu. Para pengurus KAMMI dan kelompok tarbiyah mendirikan Partai Keadilan (sekarang Partai Keadilan Sejahtera). Dalam buku Dilema PKS: Suara dan Syariah karya Burhanuddin Muhtadi dijelaskan bahwa mayoritas aktivis KAMMI sepakat untuk bertransformasi menjadi gerakan politik dengan cara mendirikan Partai Keadilan pada 20 Juli 1998.
Sekalipun telah bertransformasi menjadi gerakan politik, KAMMI dan LDK tetap eksis di kampus, bahkan semakin membesar. Eksistensi gerakan Tarbiyah tidak terlepas dari keberhasilan aktivis dakwah dalam menguasai BEM-BEM kampus. Maka tak heran ketika para Ketua BEM di banyak kampus sering dicap sebagai kader PKS.
Meskipun tak ada bukti secara struktural bahwa BEM-BEM kampus berafiliasi dengan PKS, namun ada hubungan historis antara PKS dengan LDK dan KAMMI, dimana anggota dari kedua organisasi dakwah itu merupakan penguasa BEM saat ini.
Dugaan itu diperkuat ketika sebagian besar Ketua BEM kampus seperti di UI, UNJ ataupun IPB merupakan aktivis tarbiyah dari LDK ataupun KAMMI. Para pengurus BEM juga aktif mengikuti kegiatan LDK seperti liqo. Sebagaimana diketahui bahwa liqo merupakan alat kaderisasi gerakan tarbiyah. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengakui bahwa kelompok-kelompok liqo itu memang dibentuk oleh PKS sebagai wadah pembentukan karakter islami anak-anak muda.
Selain itu, setelah lulus dari kampus beberapa aktivis dakwah itu memilih berkarir di PKS untuk mengarungi lautan politik. Meskipun tidak semua aktivis dakwah berlabuh ke PKS, namun tak bisa pungkiri terdapat nama-nama politisi PKS yang dulunya merupakan aktivis dakwah di LDK, KAMMI ataupun BEM Universitas. Sebut saja Mardani Ali Sera, Fahri Hamzah, ataupun mantan Ketua BEM UI Zulkieflimansyah dan Rama Pratama.
Ketika berdemonstrasi, isu dan tuntutan yang dibawa oleh BEM pun sering kali tidak mewakili suara mahasiswa ataupun masyarakat pada umumnya. BEM lebih sering menggarap isu-isu elitis seperti kenaikan BBM, penistaan agama oleh Ahok, dan baru-baru ini melakukan kritik terhadap pemerintah yang dianggap anti-demokrasi.
Padahal sikap pemerintah yang anti-demokrasi itu sudah terlihat sejak lama seperti pada kasus Drop Out mahasiswa Universitas Negeri Semarang ketika ia mengkritik Liberalisasi Pendidikan Tinggi, hingga perampasan ruang hidup masyarakat di Kendeng dan Kulonprogo. Pertanyaannya kenapa BEM baru mengkritik sikap rezim yang anti-demokrasi sekarang? apa hanya karena adanya pelarangan deklarasi #2019GantiPresiden di beberapa daerah?
Pakar politik Cyrus Network Hasan Nasbi mengatakan bahwa PKS memiliki koordinator wilayah dakwah untuk menyampaikan pesan politik ke kampus. Maka bukan tidak mungkin keberhasilan gerakan tarbiyah dalam menguasai BEM di berbagai kampus mempengaruhi sikap politik yang selama ini disuarakan oleh BEM. Seperti sikap Senat Mahasiswa (SM) pada tahun 1990-an yang cenderung moderat ketika lembaga kemahasiswaan itu dikuasai oleh HMI.m
Infiltrasi politik PKS terhadap BEM kampus sepertinya sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa. Meski begitu, tidak semua BEM kampus berhasil dikuasai oleh PKS. Kampus-kampus negeri di Indonesia bagian Timur ataupun kampus-kampus swasta di Jawa cenderung terbebas dari infiltrasi politik PKS. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh demografi di kampus-kampus tersebut yang tidak sesuai dengan karakteristik PKS.
Pilihan politik memang hak bagi setiap orang, termasuk mahasiswa di dalamnya. Tetapi para pengurus BEM harus sadar bahwa mereka dipilih oleh mahasiswa agar menjadi perwakilan mahasiswa sepenuhnya. BEM harus menolak segala tekanan politik dari kelompok tertentu dan mulai berada di barisan paling depan ketika mahasiswa dan rakyat kecil membutuhkan mereka. (D38)