HomeNalar PolitikBeli Pesawat, Jokowi-AS Rujuk?

Beli Pesawat, Jokowi-AS Rujuk?

Pemerintah Indonesia dikabarkan sedang bernegosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait rencana pembelian pesawat tempur. Rencana itu disebut-sebut masih berkaitan dengan kebijakan perdagangan Indonesia-AS.


PinterPolitik.com

“Is it cool if we negotiate my destiny?” – Omen, penyanyi rap asal AS

Kabar rencana pembelian 32 jet tempur F-16 Viper dan 6 pesawat kargo C-130J yang sedang dinegosiasikan antara Indonesia dan AS ini mencuat melalui tulisan John McBeth di Asia Times. Dalam tulisan tersebut, McBeth menjelaskan bahwa upaya tersebut dilakukan oleh pemerintahan Jokowi guna menghindari kemungkinan sanksi dari AS.

Sejak beberapa tahun lalu, pemerintahan Jokowi memang berkeinginan untuk meningkatkan sistem pertahanan negara melalui pembaruan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Rencana modernisasi tersebut juga meliputi berbagai alutsista milik TNI Angkatan Udara (AU).

Namun, keinginan Jokowi untuk melakukan modernisasi alutsista TNI terhimpit oleh kepentingan berbagai negara. AS misalnya, dikabarkan tidak puas dengan keputusan pemerintahan Jokowi untuk membeli sebelas unit Sukhoi SU-35 dari Rusia.

Ketidakpuasan AS atas keputusan Indonesia tersebut pernah diungkapkan dalam pertemuan antara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan James Mattis yang ketika itu masih menjabat sebagai Menhan AS. Mattis menyebutkan bahwa Kongres AS memiliki pertimbangan untuk memberikan sanksi kepada negara-negara yang membeli alutsista dari Rusia, termasuk Indonesia.

Di sisi lain, AS sendiri berupaya untuk menawarkan produk jet tempur F-16 pada Indonesia. Namun, Ryamizard tampaknya kurang antusias dalam menanggapi kemungkinan pembelian tersebut.

Di tengah-tengah sanksi AS terhadap Rusia akibat invasinya ke Krimea, Ukraina, serta hubungan Indonesia-AS yang kini tampaknya memburuk, apakah benar rencana pembelian pesawat-pesawat tempur tersebut hanya berkaitan dengan penghindaran sanksi? Ataukah ada kepentingan lain di baliknya?

Penghindaran Sanksi?

Sebagai negara yang memiliki kekuatan besar, penggunaan sanksi ekonomi untuk memenuhi kepentingannya dalam politik internasional bukanlah hal yang asing bagi AS. Gary Clyde Hufbauer dan Jeffrey J. Schott dalam tulisannya yang berjudul “Economic Sanctions and U.S. Foreign Policy” menjelaskan bahwa taktik sanksi ekonomi merupakan hal yang sering digunakan pada era Perang Dingin.

Terkait kegunaan sanksi ekonomi, Hufbauer dan Schott menjelaskan bahwa kontrol finansial dan perdagangan memang merupakan salah satu cara untuk menunjukkan ketegasan, mengekspresikan kemarahan, dan mencegah penyalahgunaan lanjutan oleh negara lain tanpa menggunakan konfrontasi yang berisiko.

Cara ini pun digunakan oleh AS untuk mengatasi tindakan Rusia yang melakukan invasi ke wilayah Ukraina – Krimea – pada tahun 2014 lalu. Presiden AS Donald Trump pun tampaknya mendorong negara-negara lain untuk mengikutinya melalui peraturan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut
Kontrol finansial dan perdagangan merupakan suatu cara untuk menunjukkan ketegasan, mengekspresikan kemarahan, dan mencegah penyalahgunaan lanjutan oleh negara lain tanpa menggunakan konfrontasi yang berisiko. Share on X

Sanksi AS terhadap negara pembeli peralatan militer Rusia memang merupakan ancaman nyata. Tiongkok misalnya, memperoleh sanksi dari AS setelah membeli Sukhoi SU-35 dan sistem rudal S-400.

Pembelian persenjataan dan alutsista dari Rusia juga dilakukan oleh India. Negara yang dipimpin oleh Narendra Modi tersebut sempat memutuskan untuk melakukan impor persenjataan dari Rusia, yaitu sistem rudal S-400.

Keputusan pemerintahan Modi tersebut tentunya membuat India terancam untuk memperoleh sanksi. Jika berdasarkan CAATSA, sanksi sekunder dari pemerintah AS dapat diberlakukan pada India.

Namun, Kongres AS sepakat untuk memberikan keringanan pada negara-negara yang dianggap oleh Trump sebagai sekutu dan menunjukkan komitmen dalam pengurangan jumlah alutsista dan persenjataan dari Rusia. Dengan adanya skema tersebut, India dikabarkan melakukan negosiasi terkait kemungkinan sanksi AS.

Jika upaya penghindaran sanksi melalui negosiasi menjadi harapan bagi India, bagaimana dengan upaya penghindaran sanksi oleh pemerintahan Jokowi?

Negosiasi antara pemerintahan Jokowi dengan AS terkait pembelian pesawat jet tempur dan kargo bisa jadi merupakan upaya penghindaran sanksi seperti yang dilakukan India. Negosiasi tersebut diharapkan dapat memenuhi kepentingan AS dan Indonesia.

Seperti yang dijelaskan oleh McBeth, pemerintahan Trump mungkin dapat menempatkan Indonesia pada radar sanksi karena adanya defisit perdagangan AS dengan Indonesia. Indonesia sendiri termasuk dalam daftar 16 negara yang menyebabkan defisit perdagangan bagi AS.

Kekhawatiran Indonesia akan kemungkinan sanksi terkait Rusia bisa saja menjadi kepentingan dan dorongan bagi pemerintahan Jokowi untuk mencari dan menawarkan alternatif lain pada Washington. Selain itu, mungkin saja, rencana pembelian alutsista ini merupakan upaya untuk melindungi kepentingan perdagangan Indonesia terkait skema GSP seperti yang dijelaskan oleh McBeth.

AS sendiri bisa saja melihat alternatif tersebut sebagai keuntungan baginya. Pemerintahan Trump sendiri dalam beberapa kesempatan juga memiliki konvergensi kepentingan dengan perusahaan-perusahaan industri pertahanan, katakanlah seperti Lockheed Martin yang memproduksi dua jenis pesawat yang sedang dinegosiasikan pemerintah Indonesia tersebut.

Chief executive officer (CEO) Lockheed Martin, Marillyn Hewson, juga disebut-sebut memiliki hubungan yang cukup dekat dengan keluarga Trump. Hewson pernah bekerja bersama Ivanka Trump dalam menjalankan proyek-proyek kegiatan perempuan. Selain itu, Hewson juga sempat disebut sebagai calon duta besar AS untuk PBB yang potensial untuk menggantikan Nikki Haley.

Terkait Pemilu?

Terpenuhnya kepentingan di antara Jokowi dan Trump bisa jadi merupakan upaya penghindaran sanksi. Namun, di luar itu, rencana pembelian pesawat-pesawat tersebut bisa jadi juga memiliki keterkaitan dengan kepentingan Jokowi dalam Pemilu 2019.

Sebelumnya, isu mengenai memburuknya hubungan AS-Indonesia akibat kebijakan-kebijakan Jokowi pernah mencuat. Jokowi yang dianggap terlalu dekat dengan pemerintahan Xi Jinping bisa jadi membuat paman Sam geram. Kebijakan Jokowi untuk banyak menarik investasi dan pinjaman dari Tiongkok misalnya, membuat Indonesia memiliki hubungan yang semakin erat dan sejalan dengan visi Belt and Road Initiative (BRI) milik negara Panda tersebut.

Seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Zulfikar Rakhmat dan Dikanaya Tarahita dalam tulisan mereka di South China Morning Post (SCMP), negara-negara Barat, seperti AS dan Australia, justru berusaha mengurangi pengaruh Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik. Upaya-upaya tersebut mulai dilakukan dengan cara mengurangi investasi Tiongkok, mendorong Perang Dagang, dan kerja sama strategis dengan negara-negara Indo-Pasifik.

Selain itu, kebijakan proteksionis Jokowi juga disebut-sebut membuat AS kesal. Nasionalisasi Freeport-McMoran di Papua misalnya, disebut-sebut tidak disukai oleh Carl Icahn, salah satu pemilik modal besar Freeport-McMoran yang juga merupakan orang terdekat Trump.

Berbagai kekesalan AS dan Trump terhadap Jokowi ini bisa jadi alasan di balik upaya makar yang disebut-sebut pernah ditargetkan pada mantan Wali Kota Solo tersebut. Wartawan investigatif Allan Nairn dalam tulisannya di The Intercept sempat menjelaskan bahwa koneksi-koneksi Trump di Indonesia juga mendukung terjadinya upaya makar terhadap Jokowi sejak tahun 2017.

Dalam tulisan Allan Nairn, beberapa pihak yang mendukung upaya tersebut kini berada di belakang kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Jika benar, bukan hal yang aneh apabila Jokowi mulai cemas dan menggunakan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada perbaikan hubungan dengan AS.

Rencana pembelian tersebut akhirnya menjadi beralasan. Jokowi bisa jadi berupaya untuk menarik kembali dukungan Trump dan pemerintah AS untuk mengamankankan posisinya pasca-Pemilu 2019 yang juga disertai dengan berbagai dugaan kecurangan yang meminimalkan legitimasinya. Bukan rahasia lagi bahwa AS selalu menjadi salah satu negara yang berusaha menancapkan pengaruh politiknya di banyak negara, termasuk Indonesia.

Jika memang benar upaya Jokowi tersebut berhasil, kedatangan kapal-kapal asing beberapa waktu lalu bisa saja berkaitan dengan hal ini. Bisa jadi, kedatangan kapal AS merupakan bentuk gunboat diplomacy – diplomasi yang menggunakan kapal perang sebagai ajang penunjukkan kekuatan – yang menyampaikan pesan politik tertentu, seperti dukungan AS kepada Jokowi.

Selain itu, pemerintah AS juga mulai menekan Jokowi untuk berpartisipasi aktif dalam merespons klaim Tiongkok atas sebagian besar Laut China Selatan. Harapan tersebut diungkapkan oleh Kepala Operasi Angkatan Laut AS, Laksamana John Richardson, beberapa waktu lalu.

Pada akhirnya, lirik rapper Omen di awal tulisan pun menjadi relevan. Rencana pembelian berbagai pesawat militer tersebut bisa jadi merupakan bentuk negosiasi yang menentukan takdir Jokowi dalam Pilpres 2019, bahkan untuk kepresidenannya ke depan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?