Dengarkan artikel ini:
Dibuat dengan menggunakan AI.
Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?
Di Pilgub Jakarta 2024, dukungan Anies Baswedan terhadap pasangan Pramono Anung-Rano Karno, yang diusung PDIP, menjadi sorotan utama karena membuka interpretasi kebuntungan bagi partai bergambar banteng dan dirinya sendiri.
Di satu sisi, dukungan ini dinilai memperkuat posisi Pramono-Rano menghadapi rival kuat seperti Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dengan acuan massa loyalis Anies di Pilpres 2024 lalu.
Namun di sisi lain, dukungan ini juga dianggap sebagai pedang bermata dua (double-edged sword) yang dapat melemahkan Pramono-Rano karena berpotensi mengalienasi basis pendukung masing-masing.
Ketidakhadiran Anies dalam kampanye akbar Pramono-Rano menambah dimensi kompleksitas, memunculkan spekulasi tentang komitmen dan dampak dukungannya. Bagaimana itu bisa terjadi?
Bersatunya “Pengkhianat Ideologis”?
Membicarakan loyalitas kiranya tepat sebagai pondasi interpretasi endorse politik Anies. Loyalitas politik sendiri sering kali ditentukan oleh keselarasan simbolik dan ideologis antara pemimpin dan pendukungnya.
Maurice Duverger dalam Political Parties menyebutkan bahwa pendukung setia atau hardliner cenderung resisten terhadap pergeseran posisi politik pemimpinnya, terutama jika dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang telah diperjuangkan.
Selam aini, Anies dikenal sebagai figur antitesis terhadap hegemoni politik dinasti dan oligarki, sebuah narasi yang menjadi sentimen kuat bagi loyalisnya yang tenar disebut “anak abah.”
Dukungannya terhadap kandidat PDIP, Pramono-Rano, yang kerap diasosiasikan dengan politik dinasti, kiranya dapat menjadi pukulan bagi pendukung ini dalam bernarasi politik.
Selain dinasti trah Megawati Soekarnoputri di PDIP, Pramono pun menjadi symbol lain saat puteranya terjun ke politik praktis dan terpilih menjadi Bupati Kediri.
Terlebih, PDIP sebagai rumah politik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang merupakan seteru abadi Anies sejak Pilgub 2017. Sesuatu yang menambah lapisan resistensi emosional.
Dalam hal ini, dukungan Anies menciptakan kontradiksi dalam basis pendukungnya. Di satu sisi, loyalis mungkin menghargai keterlibatan politiknya sebagai strategi tetap relevan, tetapi di sisi lain, mereka merasa dikhianati karena dukungannya dinilai melenceng dari narasi perlawanan terhadap oligarki.
Dilema tersebut mengingatkan pada drama tragedi Agamemnon dalam mitologi Yunani, di mana seorang pemimpin yang mencoba merangkul kompromi akhirnya kehilangan kepercayaan dari pihak yang seharusnya mendukungnya. Agamemnon, yang nyaris mengorbankan putrinya untuk kepentingan perang Troya, kehilangan legitimasi di mata keluarganya sendiri.
Begitu pula kiranya yang menerpa Anies, yang mencoba menciptakan aliansi baru, justru berisiko kehilangan simpati dari pendukung lamanya.
Dalam konteks konstituen PDIP, dukungan Anies bisa saja membawa potensi disintegrasi. Residual trauma politik identitas yang dimainkan Anies dalam Pilgub 2017 masih menjadi bayang-bayang bagi sebagian pendukung PDIP, terutama di kalangan moderat yang merasa Anies adalah simbol polarisasi.
Menurut Giovanni Sartori dalam Parties and Party Systems, polarisasi ideologis dalam kontestasi politik dapat menyebabkan resistensi lintas basis pemilih. Anies, meskipun mendukung kandidat PDIP, tetap diasosiasikan dengan retorika politik identitas yang membelah Jakarta pada 2017.
Pendukung PDIP yang moderat dan pluralis mungkin menilai dukungan ini sebagai ancaman terhadap inklusivitas yang selama ini menjadi narasi utama partai.
Dukungan ini dapat dianalogikan dengan strategi politik Julius Caesar yang membangun aliansi dengan Pompey dan Crassus dalam First Triumvirate.
Meskipun secara strategis menguatkan posisinya, aliansi tersebut menciptakan resistensi di Senat Romawi yang akhirnya melemahkan dukungan Caesar di kalangan elit tradisional.
Hal serupa berpotensi terjadi pada Pramono-Rano, yakni dukungan Anies yang awalnya dimaksudkan memperkuat justru memunculkan ketidakpuasan di basis tradisional PDIP.
Paradoks dan Risiko Dukungan Anies
Sebagai figur yang mencoba tetap relevan di panggung politik nasional, Anies menghadapi dilema personal. Mendukung kandidat PDIP agaknya merupakan langkah pragmatis yang bertolak belakang dengan idealismenya sebagai representasi oposisi terhadap status quo.
Ini sejalan dengan konsep dilema moral yang dikemukakan Albert Hirschman dalam Exit, Voice, and Loyalty. Hirschman menyebut bahwa pemimpin dalam dilema sering kali terjebak antara bertahan (loyal) pada nilai-nilai lama atau mengambil risiko kehilangan legitimasi demi relevansi baru.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, PDIP, di sisi lain, yang awalnya melihat dapat memanfaatkan, justru kehilangan poin krusial dilema Anies dalam kepentingan strategis mereka.
Fenomena ini mencerminkan “double exploitation” dalam teori manipulasi politik, di mana satu pihak menggunakan pihak lain untuk agenda tertentu meskipun menyadari risiko kerugian yang sama besar.
Strategi ini dapat diibaratkan dengan kisah kuda Troya. Anies, dalam konteks ini, menjadi “kuda Troya” bagi PDIP, membawa dukungan yang diharapkan memenangkan pertempuran Pilgub, tetapi pada saat yang sama, dapat menyebabkan kerusakan internal pada basis tradisional PDIP.
Oleh karena itu, dapat dikatakan dukungan Anies terhadap Pramono Anung-Rano Karno di Pilgub Jakarta 2024 menciptakan paradoks politik yang rumit.
Bagi Anies, langkah ini memperlihatkan dilema antara relevansi politik dan idealisme. Di sisi lain, bagi Pramono-Rano, dukungan Anies adalah pedang bermata dua yang berpotensi melemahkan semua pihak. (J61)