Meski sempat dipertanyakan, instruksi tentang program Bela Negara nyatanya tetap terbit.
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]onon, negara ini tengah dalam ancaman. Berbagai jenis gangguan baik yang bersifat militer maupun non-militer dikabarkan siap merongrong ketahanan negeri ini. Ancaman ini disebut-sebut bukan main-main dan bangsa ini harus mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Untuk menghadapi gangguan tersebut, program Bela Negara dicetuskan. Wacana sudah mengemuka sejak tahun 2015 melalui Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sebagai promotor utama. Nyatanya, meski sudah digaungkan sejak tiga tahun yang lalu, instruksi terkait program tersebut baru resmi dirilis beberapa waktu yang lalu.
Pada 18 September 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2018 tentang Program Bela Negara. Inpres ini memang menyasar pejabat negara untuk menjalankan program tersebut. Akan tetapi, berbagai program di tingkat masyarakat sudah mulai bermunculan.
Sejak awal kemunculan wacananya, ide program bela negara ini telah menimbulkan kontroversi. Meski demikian, beragam pertanyaan dari masyarakat ternyata tidak menghentikan pemerintah untuk menjalankan kebijakan tersebut. Lalu, mengapa program yang penuh misteri ini tetap dijalankan?
Instruksi Bela Negara
Secara umum, Inpres tersebut memberikan instruksi kepada pejabat negara untuk menjalankan Rencana Aksi Program Bela Negara 2018-2019. Pejabat-pejabat mulai dari menteri, Panglima TNI, Kapolri, hingga kepala-kepala daerah menjadi bagian dari instruksi tentang bela negara tersebut.
Ada tiga tahap dari pelaksanaan program tersebut. Ketiga tahap itu adalah sosialisasi, internalisasi nilai dasar bela negara, dan tahap aksi gerakan. Dalam pelaksanaannya, program ini akan berpedoman pada modul yang dibuat oleh Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas).
Pelaksanaan program ini terkait dengan adanya ancaman militer dan non-militer yang disebutkan oleh pemerintah. Ancaman militer boleh jadi dapat dianggap jelas seperti konflik horizontal, pelanggaran kedaulatan teritorial, dan ancaman invasi asing.
Sementara itu, ancaman non-militer meliputi bidang-bidang seperti demografi, geografi, lingkungan, ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi. Ancaman-ancaman yang mungkin muncul dari bidang-bidang tersebut di antaranya pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, kesehatan masyarakat, bencana alam, konflik agraria, eksploitasi sumber daya, kelangkaan energi, dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Secara khusus, ada beberapa contoh dari ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Ideologi itu misalnya terorisme, radikalisme, separatisme, dan komunisme.
Penerbitan Inpres ini terjadi tanpa banyak dialog dengan berbagai elemen masyarakat. Padahal, wacana program Bela Negara ini sejak awal menimbulkan banyak kontroversi. Pertanyaan utama dari program ini adalah partisipasi masyarakat seperti apa yang diperlukan untuk membela negara. Pertanyaan lainnya adalah tentang TNI yang disiapkan untuk mengisi program tersebut.
Luke Lischin, asistan peneliti dari National War College, Washington, D.C., dalam tulisannya di The Interpreter mengungkapkan bahwa program ini merupakan konsesi besar bagi TNI untuk bisa masuk kembali ke ranah politik Indonesia.
Terlepas dari kondisi tersebut, nyatanya beberapa jenis program yang terkait dengan program tersebut sudah terlaksana. Lischin mencatat misalnya program yang dilakukan oleh sejumlah pelajar di Magelang, Jawa Tengah. Para pelajar ini diketahui melakukan program bela negara di bawah asuhan TNI. Pelatihan serupa juga ditemui di daerah lain seperti Purbalingga, Cikajang, Gowa, Denpasar, Palangkaraya, dan lain-lain.
Menjaga Kekuasaan
Sekilas, program bela negara ini mengingatkan beberapa orang kepada pemikiran Louis Althusser tentang bagaimana negara menjalankan kontrolnya. Dalam tulisannya yang berjudul Ideology and Ideological State Apparatuses, ia menyebutkan bahwa ada dua sistem kontrol, yaitu repressive state apparatus (aparatus represif negara) dan ideology state apparatus (aparatus ideologi negara).
Repressive state apparatus merujuk pada alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menekan rakyat, terutama kepada kelas pekerja. Aparatus seperti ini dapat memiliki bentuk seperti pemimpin negara, polisi, militer, hakim, dan lain sebagainya. Fungsi dari sistem ini adalah untuk bertindak sesuai kepentingan penguasa dengan cara memaksa.
Sementara itu, ideology state apparatus merujuk pada cara lain di luar kekerasan yang digunakan penguasa untuk mengontrol subyeknya. Berbeda dengan repressive state apparatus yang mengandalkan pemaksaan, aparatus ideologis ini justru mengandalkan penerimaan (konsen) untuk mengontrol subyeknya.
Dari kedua jenis sistem kontrol tersebut, Althusser menyebutkan bahwa ideology state apparatus merupakan tipe penindas yang paling berbahaya. Sistem ini dapat masuk ke berbagai jenis kekuasaan seperti hukum, agama, maupun pendidikan.
Dalam kadar tertentu, program bela negara ini dapat dikategorikan sebagai ideology state apparatus. Hal ini dikarenakan ada upaya penanaman doktrin dan pola pikir yang berpotensi memperkuat kekuasaan kelas penguasa. Melalui program ini, tidak ada pemaksaan untuk mengikuti berbagai pemikiran yang diberikan pemerintah seperti yang terjadi melalui repressive state apparatus.
Melalui program seperti bela negara, legitimasi terhadap pemerintah dapat terbentuk secara konsensual. Tidak ada unsur pemaksaan atau kekerasan agar masyarakat dapat mengakui kekuasaan kelas penguasa. Pendidikan seperti bela negara mampu memasukkan berbagai jenis doktrin atau pola pikir yang membantu melanggengkan posisi penguasa.
Secara khusus, ada keterlibatan militer dalam upaya melanggengkan kekuasaan kelas penguasa tersebut. Hal ini seperti membuka kembali jalan bagi militer untuk masuk ke dalam politik seperti yang disebutkan oleh Lischin di atas.
Mendapat Untung?
Jika merujuk pada pandangan Althusser tersebut, maka ada keuntungan khusus yang bisa diperoleh Jokowi melalui program bela negara. Ada potensi bahwa program ini akan membantu memperkuat kekuasaannya sebagai kelas berkuasa.
Jokowi tidak perlu memaksa dengan kekuatan-kekuatan represif seperti polisi atau militer untuk melanggengkan posisinya sebagai kelas penguasa. Program bela negara dapat membantu melakukan indoktrinasi dan pola pikir sesuai dengan kebutuhannya.
Secara khusus, kelompok yang bertentangan dengan Jokowi kerap kali diberi cap negatif sebagai anti-Pancasila. Berbagai cap seperti pro-khilafah atau radikalisme kerap diberikan kepada kelompok-kelompok ini. Konteks seperti itu termasuk ke dalam ancaman non-militer dalam bentuk ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Program bela negara dapat membantu Jokowi untuk menekan kelompok-kelompok tersebut tanpa harus melakukan represi. Masyarakat dengan sendirinya mampu melawan kelompok tersebut secara konsensual.
Di luar itu, program ini juga dapat membantu menekankan bahwa Jokowi tidak memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti yang selama ini dihembuskan. Melalui program bela negara, anggapan bahwa Jokowi komunis bisa saja dengan mudah ditangkal.
Merujuk pada kondisi tersebut, maka terbitnya Inpres tentang bela negara dapat memiliki kaitan dengan kontestasi elektoral. Terlebih, terbitnya peraturan itu memiliki waktu yang berdekatan dengan pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan di negeri ini.
Menurut Lischin, langkah seperti ini diambil karena Jokowi memiliki perubahan dalam retorika politiknya menjadi lebih nasionalis. Hal ini berpadu dengan perubahan-perubahan lain seperti memilih sosok ulama Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya dan berbagai kebijakannya yang belakangan mirip dengan pemerintahan otoriter.
Perubahan itu harus ia lakukan demi melancarkan langkahnya menuju kursi RI-1 untuk kedua kalinya. Program bela negara boleh jadi menjadi tanda bahwa ia tidak lagi menjadi sosok liberal-reformis seperti di awal kemunculannya. Program ini boleh jadi dianggap lebih mudah untuk dijalankan ketimbang program reformis dalam rangka menjaga asa ke Istana Negara.
Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana efektivitas program ini membantu ikhtiar Jokowi tersebut? Apakah program ini akan memberi hasil atau justru menjadi jebakan karena banyaknya kontroversi? Hanya waktu yang bisa menjawab. (H33)