K.H. Ma’ruf Amin baru saja dilantik menjadi wakil presiden dalam beberapa waktu lalu. Sebagai seorang wapres, kiprah Ma’ruf akan mewarnai pemerintahan dalam lima tahun mendatang. Kira-kira, seperti apakah kiprah Ma’ruf nanti? Apa yang membedakannya dengan Jusuf Kalla (JK)?
PinterPolitik.com
“Managed to manifest it. The family never going anorexic” – Big Sean, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih baru saja dilaksanakan beberapa waktu lalu. Dengan perhelatan yang sederhana, Joko Widodo (Jokowi) secara resmi kembali menjadi presiden dalam lima tahun mendatang.
Setidaknya, ada yang berbeda di antara pelantikan Jokowi pada tahun 2014 dan 2019, yakni wapres yang mendampinginya. Jika lima tahun lalu Jokowi ditemani oleh Jusuf Kalla (JK), kemarin giliran K.H. Ma’ruf Amin yang mendampingi mantan Wali Kota Solo tersebut.
Ketua umum non-aktif Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu pada akhirnya berhasil mencapai salah satu karier politik tertingginya. Wajah Ma’ruf sendiri tampak cerah dan semringah ketika berbagai prosesi pelantikan dilaksanakan.
Hari ini adalah titik awal di mana saya dan Pak @jokowi telah dilantik mengemban amanat rakyat untuk memimpin menuju Indonesia maju, adil dan makmur.
Doa dan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia kami harapkan agar dapat mengemban tugas lima tahun ke depan. pic.twitter.com/djA9GKiKr2
— KH. Ma'ruf Amin (@Kiyai_MarufAmin) October 20, 2019
Tentunya, sang kiai harus menempuh perjalanan panjang sehingga bisa menyandang status jabatan itu. Selama sekitar setahun, Ma’ruf telah melalui berbagai tantangan Pilpres 2019, dari langkah awal ketika dipilih sebagai cawapres oleh Jokowi, mengikuti berbagai kegiatan kampanye politik, hingga berdebat dengan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam siaran langsung.
Mungkin, Ma’ruf juga sempat merasa gugup setelah akhirnya dirinya terpilih. Pasalnya, dalam suatu kesempatan bersama, sang kiai menyebutkan bahwa posisi wapres sebenarnya tetap dipegang oleh JK.
Terlepas dari pernyataan itu, pastinya Ma’ruf lah yang secara resmi menjadi wapres periode 2019-2024. Babak baru bagi sang kiai ini tentu meninggalkan beberapa pertanyaan.
Kira-kira, bagaimana kiprah Ma’ruf ketika menjabat sebagai wapres dalam lima tahun mendatang? Lalu, bagaimana kiprah tersebut bila dibandingkan dengan perjalanan JK sebagai wapres pada 2014-2019?
Pebisnis Jadi Politisi
Jusuf Kalla (JK) memiliki pengalaman panjang sebagai wapres. Selain menjadi wapres era kepresidenan Jokowi, JK juga pernah memegang jabatan serupa pada periode pertama kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebelum menjadi wapres, JK merupakan seorang pengusaha yang menjalankan bisnis keluarganya yang bergerak dalam berbagai sektor, yakni Kalla Group. Mantan Ketum Golkar ini pernah menjadi pemimpin perusahaan NZ (Namlozee Venonchap) Hadji Kalla Trading Company pada era kepresidenan Soeharto.
Pengalamannya sebagai pengusaha ini bisa juga membantu JK dalam mengarungi perjalanan politiknya hingga menjadi wapres. Pasalnya, terdapat beberapa anggapan bahwa pengusaha memiliki modal yang mumpuni guna menjadi politisi.
Setidaknya, hal itulah yang diungkapkan oleh Lumkile Mondi dari University of the Witwatersrand, Johannesburg di Afrika Selatan dengan menjelaskan konteks politik negara itu. Dalam tulisannya yang diunggah di The Conversation, Mondi menjelaskan bahwa pebisnis biasanya memiliki keunggulan tertentu apabila menjadi politisi.
Salah satu keunggulan yang disebutkan Mondi adalah kemampuan politisi pebisnis dalam memperkecil kesenjangan antara pemerintah dan sektor swasta. Bisa jadi, kemampuan itu datang dari modal sosial yang dimiliki para politisi pebisnis.
Kimberly L. Casey dari University of Missouri, St. Louis, dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital menjelaskan bahwa setidaknya terdapat beberapa modal yang dapat membantu seorang politisi. Dengan mendasarkan gagasannya pada Pierre Bourdieu, Casey menyebutkan beberapa macam modal politik, yakni modal institusional, sumber daya manusia (human capital), modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolis, dan modal moral.
Lantas, modal politik apa yang dimiliki oleh JK?
Mantan Wapres JK bisa jadi memiliki modal sosial yang diwujudkan melalui koneksi bisnis yang dimilikinya. Seperti yang dijelaskan oleh Mondi, kelebihan politisi pebisnis adalah jaringan sektor swasta yang dimilikinya. Selain itu, JK sendiri bisa jadi telah memiliki modal ekonomi dengan profesinya sebagai pengusaha sebelum menjabat wapres.
Pebisnis bisa jadi memiliki keunggulan tertentu apabila menjadi politisi Share on XDi sisi lain, JK dikenal juga dengan kemampuannya dalam bernegosiasi, khususnya dalam upaya resolusi konflik. Kemampuannya ini bisa jadi merupakan modalnya dalam bentuk human capital dan modal kultural, yakni dalam membentuk kepercayaan di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Namun, modal yang dimilikinya bisa saja turut mewarnai jalannya pemerintahan. Pasalnya, proyek-proyek Badan Usaha Milik Negara (BUMN) turut melibatkan beberapa perusahaan milik Kalla Group, seperti proyek regasifikasi milik PLN, Pertamina, dan PT Bumi Sarana Migas (BSM) – anak perusahaan Kalla Group.
Meski begitu, keterkaitan antara modal sosial JK dengan berbagai proyek itu belum tentu benar-benar behubungan. Yang jelas, berbagai modal personalnya tersebut membantunya untuk menjadi politisi.
Jika JK memiliki modal-modal tersebut, bagaimana dengan Ma’ruf?
Modal Baru Ma’ruf Amin?
JK memang memiliki modal-modal tertentu guna menjadi wapres. Di sisi lain, modal yang dimiliki oleh Ma’ruf guna mengisi peran yang sama pastinya berbeda.
Berbeda dengan JK, Ma’ruf merupakan ketua umum MUI sebelum mencalonkan diri sebagai wapres. Perannya sebagai ulama dan ketua umum MUI ini tentunya bisa menjadi modal politik.
Masih berkaitan dengan pemahaman Bourdieuan, modal dalam hal agama ini dapat disebut sebagai modal spiritual. Dalam tulisannya yang berjudul Spiritual Capital, Bradford Verter menjelaskan bahwa modal ini dapat memengaruhi praktik-praktik sosial.
MUI misalnya, dapat menjadi modal spiritual berbentuk institusi. Selain itu, fatwa dan tausiyah yang biasanya diterbitkan oleh lembaga ini merupakan modal politik yang disalurkan dalam bentuk objek (objectified).
Dalam politik, modal spiritual yang dimiliki MUI bisa jadi turut memengaruhi dinamika Pilpres 2019 lalu. Fatwa haram soal golongan putih (golput) misalnya, mengharuskan pengikut fatwa untuk memilih dalam Pemilu 2019.
Lantas, apa yang membedakan modal politik yang dimiliki Ma’ruf antara sebelum dan sesudah menjadi wapres?
Modal-modal politik sebenarnya dapat digolongkan kembali dalam beberapa tipe tertentu. Manuel Alcantará-Sáez dari Universidad de Salamanca, Spanyol, dalam tulisannya yang berjudul Political Career dan Political Capital menjelaskan bahwa terdapat dua jenis modal politik, yakni modal personal yang dimiliki secara pribadi dan modal delegated yang didapatkan ketika menjabat.
Boleh jadi, Ma’ruf telah memiliki modal personalnya sebagai ulama. Selain itu, sang kiai juga memiliki modal sosialnya di MUI sebagai modal personalnya sebelum menjabat sebagai wapres.
Namun, status wapres yang kini dipegang oleh Ma’ruf memunculkan modal politik lain, yakni modal delegated. Alcantará-Saez dalam tulisannya menjelaskan bahwa modal delegated ini didapatkan secara institusional melalui jabatan yang didudukinya.
Modal ini diikuti dengan kapabilitas untuk mekapitalisasi struktur institusional guna mewujudkan kepentingannya. Dari sinilah, Ma’ruf memperoleh modal barunya.
Lantas, bagaimana caranya Ma’ruf melakukan kapitalisasi atas modal barunya ini?
Upaya kapitalisasi atas modal delegated yang kini dimiliki Ma’ruf belum pasti benar-benar dilakukan. Namun, adanya modal ini membuat sang kiai semakin didekati oleh pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan.
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Cholil Nafis mengamini modal Ma’ruf ini. Sang kiai kini dikabarkan kedatangan banyak tamu yang memiliki beragam kepentingan, seperti permintaan proyek dan jabatan.
Selain itu, statusnya sebagai wapres bisa juga menciptakan modal sosial baru bagi keluarga Ma’ruf. Mengacu pada tulisan Casey, modal sosial ini dapat diwujudkan dalam bentuk relasi sosial.
Ahmad Syauqi (Gus Oqi) – putra Ma’ruf misalnya, dikabarkan mulai didekati oleh para pengusaha meski bukan merupakan pengambil kebijakan pusat. Beberapa di antaranya adalah pengusaha perikanan yang merasa kesusahan dengan adanya regulasi-regulasi pemerintah, terutama kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang melarang penggunaan cantrang.
Selain itu, terdapat juga Siti Nur Azizah – putri Ma’ruf – yang mencalonkan diri sebagai calon wali kota di Tangerang Selatan. Ma’ruf sendiri dikabarkan mendukung pencalonan putrinya itu.
Hal yang membedakan antara JK dan Ma’ruf mungkin adalah bagaimana modal delegated itu dikapitalisasi. JK mungkin mefokuskan modal delegated-nya pada modal personalnya, yakni perusahaan-perusahaannya. Sementara, Ma’ruf yang tidak memiliki keterkaitan dengan dunia bisnis boleh jadi lebih memusatkan kapitalisasi modal tersebut terhadap relasi-relasi sosialnya.
Meski begitu, kemungkinan akan pemanfaatan modal delegated itu, baik JK maupun Ma’ruf, belum tentu benar terjadi. Yang jelas, modal politik sebagai wapres ini pastinya melekat pada siapapun yang kini memegang jabatan tersebut.
Namun, bila kemungkinan itu benar, lirik rapper Big Sean di awal tulisan mungkin bisa menggambarkannya. Keluarga Ma’ruf bisa jadi tidak akan pernah kelaparan, entah manifestasi apa yang menyebabkannya. Mari kita nantikan saja kiprah Ma’ruf Amin dalam lima tahun mendatang. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.