Wacana kebijakan Anies-Sandi soal becak masih terus bergulir. Lebih dari sekedar kontroversi, kebijakan ini mungkin akan di-gol-kan dan menjadi mesin politik bagi penguasa DKI Jakarta.
PinterPolitik.com
“Iya dong. Kalau saya berjanji saya harus melunasi. Kalau Anda janji dengan pacar Anda untuk menikah, Anda terbelenggu enggak? Janji itu ketika dibuat sudah dengan pertimbangan”
-Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-
Publik mungkin akan menduga-duga, bahwa kebijakan becak adalah sekali lagi gimik politik. Mirip-mirip kasus ‘pribumi’ Anies, ‘sepatu kets’ Sandi, atau berenang tiga kali sepekan di Danau Sunter ala Sandi. Intinya, publik mungkin memilih percaya kalau pasangan ini tidak bisa apa-apa dan semua sikap politiknya hanya lucu-lucuan.
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, semua kebijakan publik pasti punya dimensi tertentu, baik itu keuntungan secara ekonomi, perawatan basis massa pendukung, atau lain sebagainya, yang kesemuanya bermuara pada keuntungan politis—berupa popularitas atau dukungan dari kelompok masyarakat tertentu—bagi si pembuat kebijakan.
Banyak kebijakan Anies-Sandi yang setidaknya bernilai politis bagi mereka, yang seolah-olah merupakan kontra-narasi kebijakan di era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kebijakan-kebijakan seperti rupis (rumah lapis) DP 0 rupiah, izin motor di Jalan Thamrin, sampai membangun kembali kampung kumuh adalah contohnya.
Lalu, bagaimana dengan kebijakan becak ini? Kebijakan ini sebenarnya memang aneh kalau dipikir-pikir. Dilihat dari dimensi ekonomi, tidak ada untung yang bisa diambil oleh Pemprov maupun oleh sejoli pemimpin kita ini. Secara popularitas pun, terbukti mereka berdua dihujat, karena mayoritas masyarakat dan pengguna jalan belum mampu mencerna maksud baik dari kebijakan ini.
Becak dan Tudingan Adanya Mobilisasi untuk Bikin Jakarta Tak Stabil – https://t.co/KOfLSbpbAs https://t.co/SZcuOcHHGM
— Kabar Jakarta (@Kabar_Jakarta) January 29, 2018
Tapi, bila melihat dari begitu ngototnya Anies-Sandi ingin meloloskan kebijakan ini, bisa jadi ada nilai tertentu yang dikandung, dan menguntungkan mereka secara politik. Keuntungan yang kita belum tahu apa itu bentuknya.
Setidaknya, dua hari terakhir, Anies-Sandi kompak menahan ‘gempuran becak’ dari luar kota. Sambil melarang becak-becak itu masuk Jakarta, mereka menuding adanya ‘mobilisasi becak’ dari pihak x. Pihak di luar kuasa Pemprov ini dituding sengaja membuat Jakarta tidak stabil dengan ‘menumpahkan’ banyak becak ke Jakarta.
Begitu pula ketika menghadapi gempuran wartawan soal kontrak politik. Anies sempat meyakinkan publik bahwa persoalan becak ini memang adalah kontrak politik mereka sejak kampanye, yang diteken di depan warga Jakarta. Tapi, setelah pinterpolitik.com mengecek ke laman jakartamajubersama.com, tempat mereka menyajikan janji-janji kampanye, tidak ditemukan adanya kontrak politik yang dimaksud. Apakah Anies bohong?
Sebelum dituding bohong, Anies pun buru-buru merevisi ucapannya. Ia mengatakan kalau kontrak politik yang dimaksud adalah yang diteken oleh Jokowi-Ahok pada saat kampanye tahun 2012 lalu. Dan sekali lagi, setelah pinterpolitik.com menelusuri jejak janji-janji enam tahun lalu ini, tidak pernah ditemukan kontrak politik yang dimaksud. Jokowi-Ahok pun tidak terpikir untuk mengurusi becak.
Lalu mengapa ya, mereka berdua memaksakan kebijakan becak ini? Tidak ada janji, supir becak pun tak pernah protes, lalu mengapa mereka mengada-adakan yang tidak ada?
Entah mengapa, yang jelas Anies kembali ngotot. Selama ada ‘keberpihakan’—yang menurutnya tidak ada pada pemerintahan sebelumnya—pasti selalu ada jalan.
Kantung-kantung Pendukung Ahok
Bila tidak menguntungkan secara ekonomi maupun membantu secara popularitas, lalu apa untung yang bisa diambil oleh Anies-Sandi? Penguatan basis massa bisa jadi merupakan target dari kebijakan ini.
Bagaimana becak mampu memperkuat atau menambah basis massa Anies-Sandi? Coba simak gambar berikut.
Peta di atas adalah hasil Pilkada DKI 2017, yang menggambarkan sebaran pemilih Ahok dan Anies. Menariknya, ternyata daerah-daerah yang memiliki banyak becak adalah kantong suara terbesar Ahok. Daerah-daerah seperti Penjaringan (Jakarta Utara), Pademangan (Jakarta Utara), Tambora (Jakarta Utara), dan Grogol Petamburan (Jakarta Barat menempel Jakarta Utara) adalah kantong suara Ahok sekaligus tempat masih banyak ditemukannya becak.
Selain ditemukan di sejumlah kecamatan tempat Ahok menang mutlak, becak juga banyak ditemukan di kecamatan-kecamatan di Jakut tempat Anies hanya menang tipis, misalnya di Koja dan Tanjung Priok.
Daerah-daerah tersebut juga dihuni oleh masyarakat dengan kelas sosio-ekonomi yang rendah, dalam arti banyak yang bekerja di sektor tradisional, seperti perikanan, perdagangan tradisional, dan salah satunya juga menyupir becak. Rusunawa di era Ahok pun banyak dibangun di sana, seperti di daerah Tambora, Penjaringan, dan Koja.
Dengan kemenangan Ahok di daerah-daerah tersebut, bisa diartikan bahwa Ahok memang memiliki penerimaan yang tinggi di sebagian besar daerah Jakarta Utara. Kebijakan-kebijakan pro-rakyat kecil dari Ahok yang menyasar nelayan, pedagang kecil, sampai penyediaan Rusunawa menghasilkan output elektabilitas Ahok yang baik di sana.
Lantas, apa yang bakal dilakukan seorang gubernur baru, yang sukses mengalahkan petahana, ketika melihat kantung suara petahana? Kantung-kantung suara itu bisa saja masih berisik meneriakkan kerinduan kepada gubernur lama, memekakkan telinga sang gubernur baru. Apa yang gubernur baru bakal lakukan?
Dia pasti ingin ‘mencuri’ basis massa mantan lawannya ini, menjadikan kekuasaannya legitimate sepenuhnya tanpa ada kerinduan kepada gubernur lama.
Bila menjadi kontroversial adalah cara Anies merebut legitimasi Ahok di awal-awal kekuasaannya, mungkin lain halnya dengan becak kali ini. Seperti statement pinterpolitik.com di awal, kebijakan becak mungkin akan di-gol-kan dan para supir becak bakal menjadi mesin politik partai.
Wow!
Engineering Becak Anies-Sandi
“Mungkin salah satunya adalah (pelatihan) standar pelayanan, olahraga, bagaimana cara genjot yang bagus,”
-Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno-
Untuk melancarkan misi itu, para supir becak yang ada dalam program Pemprov tentunya harus dididik dengan cara-cara Pemprov. Bisa saja, gimik Sandi soal ‘genjot becak yang bagus’ bermakna lain. Genjot elektabilitas, mungkin?
Selain diajarkan menggenjot, menurut Sandi, para supir becak juga akan diberikan pelatihan pelayanan kepada customer. Apakah pelayanan cuap-cuap manis ala kampanye terselubung yang dimaksud? Bisa jadi.
Yang pasti, bila strategi seperti ini benar adanya dan sudah didesain oleh Anies-Sandi, maka tukang becak akan menjadi ujung tombaknya. Sembari menarik becak, mereka akan mengajak para penumpang untuk berpindah preferensi politik. Dari yang tadinya setia mendukung Ahok dengan segala kebijakannya, menjadi pendukung Anies dengan segala kebijakannya.
Coba pakai asumsi seribu becak di Jakarta Utara dan sekitarnya. Lalu, katakanlah dalam satu hari seorang supir becak dapat mengantarkan sepuluh penumpang yang sama setiap hari. Maka, setidaknya akan ada 10.000 orang yang setiap hari ditanami kampanye terselubung tentang Anies-Sandi, Gerindra, sampai Prabowo. Dan 10.000 orang ini akan menjadi agen kampanye lanjutan ke semakin banyak orang lainnya. Mirip-mirip MLM.
Setidaknya, bila andai-andai ini benar, berarti Anies-Sandi sangat lihai menjalankan strategi politik. Mereka mengetahui kantung suara yang harus mereka gaet, dengan segala pemahaman soal kondisi sosial dan ekonomi mereka.
Mereka tahu bahwa ada setidaknya 42 persen pemilih Ahok yang mayoritas berada di Jakarta Utara, yang bisa mereka geser preferensinya lewat kebijakan ini. Tak hanya bernilai populis dengan menyenangkan masyarakat kecil di Jakarta Utara, kebijakan ini juga mungkin bernilai sangat strategis, dengan adanya kampanye terselubung.
Tidak jelas? Yang jelas, Anies-Sandi sejauh ini menolak adanya becak motor, dan tetap setia dengan becak genjot. Mungkin karena becak motor mesinnya berisik, jadi bisa menutupi suara supir saat ‘berkampanye’. Atau mungkin karena becak motor jalannya terlalu cepat, jadi supir harus ‘berkampanye’ dengan cepat-cepat.
Supir becak ini tidak mau susah-susah dong.
Aneh? Atau kita saja yang tidak mengerti strategi politik mereka? (R17)