“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Tiongkok.” ~Pepatah Arab
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]ebuah pepatah lama Arab pernah menyarankan untuk menuntut ilmu sampai jauh, bahkan hingga ke Negeri Tiongkok sekalipun. Ungkapan ini tergolong kuno, tetapi masih terbilang relevan di zaman ini. Terlebih mengingat kebangkitan Negeri Tirai Bambu yang disebut-sebut sebagai salah satu kekuatan dunia yang diperhitungkan.
Meski demikian, ada kelompok yang tidak terlalu sepakat dengan pepatah tersebut. Belakangan, beredar pemberitaan media lokal tanah air yang menyebut bahwa pelajar di Indonesia diajarkan paham komunisme di Tiongkok. Pemberitaan ini seolah ingin kembali melanggengkan stereotip Tiongkok di pikiran masyarakat Indonesia.
Pemerintah Tiongkok sendiri sebenarnya memiliki upaya untuk mengurangi stereotip ala media lokal tersebut. Salah satu langkah negara berpenduduk terbanyak di dunia itu adalah dengan memberi kesempatan pada warga Indonesia untuk belajar di tanah mereka.
Kini, Tiongkok secara perlahan tapi pasti, mulai menjadi salah satu destinasi pelajar Indonesia untuk melanjutkan studinya. Bagaimanakah beasiswa pendidikan Tiongkok tersebut dapat mengikis stereotip dan Sinofobia yang turun temurun ada di Indonesia?
Mengalihkan Studi ke Tiongkok
Dulu, Tiongkok bukanlah tujuan utama bagi para pemuda Indonesia untuk mengenyam pendidikan. Ada banyak hal yang memungkinkan kondisi ini terjadi. Salah satunya adalah sentimen anti-Tiongkok yang berkembang di era Soeharto.
Pada tahun 1998, jumlah pelajar Indonesia di Tiongkok berada di kisaran 1.000 pelajar. Sebagian besar pelajar tersebut banyak mengambil fokus studi Bahasa Mandarin. Berakhirnya rezim Orde Baru membuat mata pemuda Indonesia mulai mengarah ke Negeri Tirai Bambu.
Secara perlahan, jumlah pelajar Indonesia di negara tersebut meningkat secara stabil. Hal ini didukung dengan kemajuan Tiongkok di berbagai bidang, termasuk pendidikan pada tahun 2004. Dalam data yang dihimpun Chinese Service Center Exchange (CSCSE), disebutkan bahwa pertumbuhan jumlah pelajar Indonesia di Tiongkok berada dikisaran 10 persen.
Jumlah pelajar Indonesia di Tiongkok pada tahun 2011 berada di angka 10.957. Secara perlahan, angka ini terus bertambah hingga pada tahun 2015 yang mencapai 12.694. Di tahun berikutnya, angka ini kembali meningkat yaitu mencapai 14.714 pelajar.
Pemerintah Beijing sendiri memang membuka kesempatan bagi warga Indonesia yang ingin belajar di tanah mereka. Peningkatan beasiswa penuh dari Tiongkok untuk warga Indonesia terbilang signifikan, dari hanya 15 di tahun 2015, menjadi 187 di tahun berikutnya.
Beijing terus membuka pintu bagi pelajar Indonesia untuk mengambil studi di negara mereka. Pada tahun 2017, mereka menambah lagi jatah beasiswa menjadi 197. Ini menjadi penanda kalau Beijing memiliki komitmen untuk menarik perhatian pelajar Indonesia.
Selain beasiswa yang berasal dari Pemerintah Tiongkok, ada pula beasiswa yang berasal dari lembaga lain. Salah satunya adalah dari Bank of China (BOC). Pada tahun 2017, beasiswa dari BOC berhasil memberangkatkan 215 pelajar Indonesia untuk menempuh studi di Negeri Tirai Bambu. Disebutkan bahwa angka tersebut merupakan peningkatan 11 kali lipat dari tahun sebelumnya.
Menarik Perhatian Pesantren
Perhatian yang menarik dari hubungan pendidikan Indonesia-Tiongkok ini karena salah satu golongan yang ditarik untuk belajar di Tiongkok, adalah kalangan pesantren. Golongan dengan pendidikan bertradisi Islam ini, perlahan mulai menikmati pendidikan ala Negeri asal Panda tersebut.
Berbagai lembaga pemberi beasiswa asal Tiongkok, beberapa kali tertangkap melakukan publikasi soal pendidikan Tiongkok di pesantren-pesantren. Terlihat bahwa lembaga beasiswa tersebut menjadikan kalangan pesantren sebagai salah satu pasar utama.
Usaha Tiongkok menarik kalangan pesantren tergolong cukup serius. Tidak jarang, Duta Besar negeri tersebut turun langsung ke “kandang” pendidikan umat Islam. Dalam lawatan ke berbagai pesantren, terlihat Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menemani sang Dubes.
Upaya menarik kalangan santri untuk mengambil studi di Negeri Tirai Bambu, juga tidak dilakukan oleh pemerintah saja. Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) juga tergolong rajin menawarkan kalangan pesantren untuk dapat mengenyam pendidikan di negara dengan penduduk terbesar di dunia.
Kalangan pesantren juga tampak antusias dengan kesempatan pendidikan tersebut. Salah satu pondok pesantren di Probolinggo, Nurul Jadid, misalnya, menyebut sejak tahun 2010 hingga saat ini, ada 111 santri yang berkuliah di Negeri Tirai Bambu.
Golongan santri ini juga tergolong aktif membantu menarik minat adik-adik mereka untuk melanjutkan studi di Tiongkok. Gerakan Pemuda Ansor misalnya, kerap terlibat dalam publikasi beasiswa Tiongkok ke pesantren-pesantren. Mereka seringkali menghadirkan alumni kampus Tiongkok untuk menarik perhatian para santri.
Gelombang santri yang belajar di Tiongkok tergolong cukup besar. Jumlah yang naik tiap tahun ini, dapat terlihat dari bagaimana Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya bisa membuka pengurus cabang di negeri Xi Jinping tersebut. Pada tahun 2017, Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama resmi berdiri.
Mengikis Tabu
Pelan tapi pasti, pelajar-pelajar Indonesia di negara yang dipimpin Partai Komunis itu mulai meruntuhkan berbagai stereotip dan fobia soal negara tersebut. Berbagai tabu yang muncul di masa Orde Baru, perlahan bisa dirobohkan dengan jalur pendidikan.
Salah satu tabu utama yang diruntuhkan adalah soal penggunaan bahasa ‘ibu’ Tiongkok, Mandarin. Banyak pelajar Indonesia yang mengambil studi bahasa Mandarin di negara tetangga Mongolia tersebut. Bagi para pelajar, belajar Bahasa Mandarin tergolong penting agar dapat mengikuti persaingan kerja dunia. Kondisi ini, sepertinya tidak pernah terbayang akan terjadi karena Orde Baru begitu menutupi identitas berbau Tionghoa, termasuk Bahasa Mandarin.
Bagi para pelajar Indonesia di Negeri Tirai Bambu, tabu yang dibangun oleh Soeharto sudah tidak lagi penting. Mereka justru memahami bahwa Tiongkok kini tengah mengalami kemajuan pesat dan berpotensi menjadi raksasa dunia. Belajar Bahasa Mandarin bagi mereka, semacam investasi manakala nanti Tiongkok benar-benar mendunia.
Pelajar-pelajar Indonesia seperti mengirim pesan bahwa stereotip soal bangsa Tiongkok sudah tidak lagi penting. Membangun hubungan baik dengan negara yang tengah bangkit itulah yang lebih penting. Mengambil studi di Tiongkok adalah langkah untuk mengintegrasikan diri dengan kemajuan di wilayah Asia.
Mahasiswa kita yg tergabung dalam PCINU Tiongkok mengklarifikasi berita Harian Republika @republikaonline cc: @ulil @sahaL_AS @na_dirs @Helmy_Faishal_Z pic.twitter.com/dNKT6Gcx23
— A. Syukron Amin (@syukronamin) April 2, 2018
Mengirim kalangan pesantren ke Tiongkok, juga perlahan bisa mengikis stereotip Tiongkok di kalangan Muslim. Hal ini terlihat, misalnya, dari pernyataan PCINU Tiongkok terkait pemberitaan media lokal yang membahas pembelajaran ideologi komunisme di Tiongkok.
Pemerintah Beijing tidak perlu repot-repot melakukan pembelaan terkait berita negatif di media soal ajaran komunisme tersebut. PCINU dan juga PPI Tiongkok langsung melakukan pelurusan kabar tersebut, segera setelah berita menyebar.
Terlihat bahwa PCINU memiliki peran untuk menurunkan stereotip masyarakat Indonesia terhadap Beijing. Mereka dengan cepat melakukan klarifikasi bahwa meski Tiongkok berhaluan komunis, tidak ada pemaksaan ajaran tersebut kepada pelajar Indonesia.
Kondisi ini bisa dikatakan tergolong berarti dalam menurunkan stereotip dan fobia terhadap Tiongkok, terutama di kalangan Muslim konservatif di Indonesia. Para pelajar Muslim yang tergabung dalam PCINU secara langsung memiliki peran untuk menurunkan stereotip tersebut.
Tiongkok sendiri dapat menikmati keuntungan dari adanya pelajar-pelajar tersebut. Penerimaan orang Indonesia terhadap bangsa Tiongkok dapat lebih terbuka melalui pemberian beasiswa ini. Stereotip buruk seperti komunisme dapat dikikis perlahan-lahan. Negeri Tirai Bambu ini juga mendapat keuntungan dari keberadaan alumni-alumninya di tanah air, sebab berpotensi menunjukkan sikap yang lebih pro terhadap kebijakan Beijing di Indonesia nantinya.
Kondisi ini sejalan dengan filosofi seeing in yang dikemukakan Richard Wollheim. Untuk mendapat gambaran yang tepat soal Tiongkok, orang Indonesia harus diajak untuk melihat langsung Tiongkok dengan “wajah” yang tepat. Dengan melihat langsung, pelajar Indonesia dapat menghilangkan berbagai stigma yang tidak sesuai dengan “wajah” yang mereka lihat dan rasakan.
Hanya saja, walau berhasil mengubah perspektif tentang Tiongkok, nyatanya sentimen rasis terhadap etnis Tionghoa masih belum turun secara signifikan. Ke depan, diharapkan pelajar-pelajar ini dapat menurunkan sentimen rasis terhadap Tionghoa di Indonesia, setelah mengalami sendiri bagaimana rasanya tinggal di Tiongkok. (H33)