Site icon PinterPolitik.com

BBM Naik, Jokowi Pemimpin Overrated?

BBM Naik, Jokowi Pemimpin Overrated?

Presiden Joko Widodo (Foto: Setkab)

Secara gamblang, Presiden Jokowi menyebut kenaikan harga BBM tidak bisa dihindari. Apakah ini menunjukkan kegagalan pemerintahan Jokowi dalam mengelola anggaran negara? Mungkinkah selama ini Jokowi dinilai berlebihan alias overrated


PinterPolitik.com

Dalam berbagai narasi yang berkembang, Joko Widodo (Jokowi) disebut sebagai pemimpin hebat dan berbeda. Tidak hanya dari dalam negeri, berbagai pengamat luar juga mengutarakan hal serupa. Tulisan Profesor Kishore Mahbubani dari National University of Singapore (NUS) yang berjudul The Genius of Jokowi pada 6 Oktober 2021, misalnya, secara gamblang menyebut Jokowi adalah pemimpin jenius.

Dalam ranah ekonomi, Mahbubani membeberkan berbagai capaian statistik. Dua antaranya soal koefisien gini ketimpangan kekayaan dan indeks bisnis. Sebelum Jokowi menjabat pada 2014, koefisien gini ketimpangan kekayaan Indonesia terus meningkat, dari 28,6 pada 2000 menjadi 40 pada 2013. 

Sejak Jokowi menjabat, koefisien gini ketimpangan kekayaan terus mengalami tren penurunan – pada 2021 angkanya menjadi 37,3

Kemudian, terjadi peningkatan peringkat Indonesia dalam indeks Doing Business Bank Dunia – dari peringkat 120 pada 2014 menjadi peringkat 73 pada 2020. Menurut Mahbubani, Indonesia seharusnya menikmati ledakan ekonomi jika pandemi Covid-19 tidak menghantam dengan keras.

Berbagai pujian terhadap Jokowi kemudian terkonversi menjadi dukungan untuk melanjutkan masa jabatan. Ada berbagai narasi atas ini. Mulai dari perpanjangan masa jabatan, maju tiga periode, hingga didorong menjadi cawapres pada Pilpres 2024.

Atas berbagai pujian dan capaian yang ada, ini membuat kita bertanya satu hal. Jika sehebat itu Jokowi dan pemerintahannya, kenapa sampai keluar pernyataan bahwa kenaikan harga BBM tidak mungkin dihindari? 

Pernyataan itu bahkan diungkapkan sendiri oleh RI-1 pada 5 April 2022. “Gak mungkin kita tidak menaikkan yang namanya BBM, gak mungkin,” begitu ungkap Presiden Jokowi. 

Ada berbagai dalih yang dikeluarkan pemerintah. Dua yang paling paling banyak disebutkan adalah kenaikan harga minyak mentah dunia akibat perang Rusia-Ukraina, dan subsidi energi yang begitu menguras kantong negara.

Lantas, jika kembali pada premis bahwa Jokowi adalah pemimpin hebat, apakah kenaikan harga BBM memang tidak bisa dihindari?

Bukan Keniscayaan

Terkait kenaikan harga minyak dunia, berbagai pihak dan pemerintah melihatnya sebagai kausalitas alias sebab-akibat yang menjadi keniscayaan. Ada pernyataan yang disamarkan, yakni kenaikan harga minyak mentah dunia mestilah berbuah kenaikan harga BBM.

Jika memegang premis itu secara ketat, maka simpulan sebaliknya juga harus terjadi, yakni penurunan harga minyak mentah dunia mestilah berbuah penurunan harga BBM. Pada konteks ini, pembahasannya menjadi begitu menarik.

Melihat track record-nya, setidaknya ada dua kali pemerintahan Jokowi tidak menurunkan harga BBM ketika harga minyak mentah dunia tengah turun. Pertama, ini terjadi pada awal kepemimpinannya pada 2014 lalu. 

Menteri Keuangan (Menkeu) waktu itu, Bambang Brodjonegoro menyebut keputusan tersebut diambil untuk mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif, seperti infrastruktur dan kedaulatan pangan. Menurutnya, pengalihan subsidi akan membuat lebih dari Rp 100 triliun dana yang dialihkan untuk sektor produktif. Kebijakan serupa juga terlihat pada awal pandemi Covid-19. 

Mengutip Kenneth Rogoff dalam tulisannya What’s Behind the Drop in Oil Prices?, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi meniru Tiongkok dan India yang pernah melakukan hal serupa. Menurut Rogoff, dua negara itu justru mengambil keuntungan dari penurunan harga minyak mentah dunia untuk mengurangi subsidi BBM dan memperkuat posisi fiskal negaranya.

Mengacu pada Rogoff, rasionalisasi yang menyebutkan penurunan harga minyak mentah dunia harus dibarengi dengan penurunan harga BBM domestik sepertinya telah terbantahkan. Dalam studi logika, ini disebut dengan false dichotomy atau dikotomi palsu.

Dikotomi palsu terjadi ketika terdapat dua pilihan yang bertentangan seolah harus diambil salah satu, padahal pilihan alternatif masih tersedia di luar sana. 

Pada konteks penurunan harga BBM, seolah telah terbentuk dikotomi bahwa pemerintah harus memilih opsi antara menurunkan harga BBM yang disebut pro-rakyat, atau tidak menurunkan yang dimaknai sebagai tidak pro-rakyat. 

Pada kasus sebaliknya, yakni kenaikan harga BBM, dikotomi palsu juga terlihat jelas. Presiden Jokowi bahkan secara terang-terangan menyebut ini tidak bisa dihindari. 

Jika melihat negara tetangga, Malaysia, pada Agustus ini negeri Jiran justru menurunkan harga BBM RON97 sebesar 5 sen menjadi 4,30 ringgit per liter. Terlepas dari apa pun alasan di baliknya, yang jelas, mengatakan kenaikan harga minyak mentah dunia mestilah berbuah kenaikan harga BBM adalah sebuah kesesatan bernalar yang disebut dengan dikotomi palsu.

Menjawab Defisit Anggaran

Atas apa yang terjadi di Malaysia dan alasan kedua pemerintah soal subsidi yang memberatkan, ada satu kesimpulan yang dapat ditarik. Pada dasarnya, ini bukan soal beratnya subsidi, melainkan negara mengalami defisit anggaran. Jika anggaran negara positif, mengadopsi kebijakan pemerintah Malaysia bukanlah sebuah masalah.

Dalam majalah Tempo edisi 27 Agustus 2022 yang berjudul Setengah Mati Subsidi, disebut bahwa wacana kenaikan harga BBM sebenarnya sudah ada sejak Mei 2022. Namun wacana itu urung bergulir karena mempertimbangkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi.     

Dengan demikian, terus bergulirnya wacana kenaikan harga BBM, bahkan disebut akan terjadi pada 1 September, menunjukkan satu hal, yakni pemerintahan Jokowi telah begitu terdesak sehingga tidak lagi mempertimbangkan tingkat kepuasan publik. Ini adalah sinyal kuat bahwa defisit anggaran benar-benar dialami pemerintahan Jokowi.

Pada titik ini, sekiranya akan banyak yang sinis membaca artikel ini. Akan ada banyak yang berkata, “Lalu apa solusinya?” 

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul SIN Pajak Lunasi Semua Utang Negara?, solusinya telah dijabarkan. Mengutip penelitian disertasi Dirjen Pajak 2001-2006 Dr. Hadi Poernomo, pemerintah dapat menerapkan Single Identity Number (SIN) Pajak.

Secara gamblang, Hadi menjelaskan bahwa defisit anggaran terjadi karena penerimaan negara yang berkurang akibat terus menurunnya tax ratio. Setelah mencapai titik tertinggi pada tahun 2008 sebesar 13,3 persen, secara cukup konsisten tax ratio Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 2021, angkanya mencapai 9,11 persen dengan penerimaan sebesar Rp1.277,5 triliun.

Katakanlah SIN Pajak diterapkan oleh pemerintah, bukan menjadi suatu kemustahilan jika tax ratio Indonesia akan meningkat menjadi 30-40 persen seperti di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Membuat hitungan kasar, mengacu pada data pendapatan 2021, jika tax ratio mencapai 46,3 persen seperti di Denmark, maka pendapatan negara akan menyentuh angka Rp5.388,3 triliun. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari APBN 2021 yang mencapai Rp2.750 triliun.  

Menurut Hadi, pendapatan yang besar itu dapat dibagi untuk dua alokasi, yakni memenuhi kebutuhan dasar warga negara dan membayar utang negara. Dengan kata lain, frasa dan diksi subsidi yang memberatkan tidak mungkin keluar jika pendapatan negara dapat sebesar itu.

Di sini, tentu pertanyaannya sederhana. Jika SIN Pajak dapat memberikan dampak ekonomi yang luar biasa, kenapa pemerintahan Jokowi tidak menerapkannya?

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Kenapa SIN Pajak Tidak Berani Diterapkan?, alasannya telah diuraikan panjang lebar. Terdapat vested interest, baik dari aktor lokal maupun internasional yang menjadi ganjalan kuat. Entah apa pun bantahannya, yang jelas, terdapat kekuatan politik yang tidak mampu dilawan sehingga harus berkompromi.

Pada akhirnya, kenaikan harga BBM yang disebut akan terjadi dalam waktu dekat ini adalah pengakuan tidak langsung pemerintahan Jokowi atas defisit anggaran yang dialami. 

Dengan menciptakan dikotomi palsu, di mana keputusan ini seolah tidak bisa dihindari, secara tidak langsung pemerintahan Jokowi telah mengakui ketidakmampuannya dalam memberikan solusi.

Sedikit mengutip Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah menutup kebocoran anggaran negara. Menurutnya, terdapat 25-30 persen anggaran negara diperkirakan bocor, di mana angkanya diperkirakan sebesar Rp621,2 triliun. Angka itu lebih besar dari subsidi energi yang mencapai Rp502,4 triliun.

Well, sebagai penutup, keluarnya frasa “tidak bisa dihindari” dari Presiden Jokowi menunjukkan dua hal. Pertama, pemerintahannya telah gagal mengelola anggaran negara. Kedua, tampaknya terdapat penilaian yang berlebihan alias overrated terhadap eks Wali Kota Solo itu. (R53)

Exit mobile version