Site icon PinterPolitik.com

BBM dan Sesat Pikir Fadli Zon

Kritik Fadli Zon soal kenaikan harga BBM, cuma basi-basi. Tentu, kritik tersebut bertujuan menciptakan mosi tidak percaya. 


PinterPolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]pakah kritik Fadli Zon terkait kenaikan harga BBM jenis Pertamax masuk akal? Bukankah, selama ini kenaikan harga minyak global menyebabkan banyak negara tak bisa berbuat apa-apa, termasuk Indonesia? Kali ini, kenaikan harga minyak kembali dipicu oleh hubungan Amerika Serikat-Iran yang tidak harmonis.

Hubungan yang tidak harmonis itu memicu kenaikan harga minyak global yang belum jelas kapan akan berakhir. Iran sebagai salah satu produsen minyak terbesar tentu memiliki pengaruh kuat terhadap fluktuasi harga di pasaran. Laporan Reuters mencatat harga minyak mentah berjangka Brent pengiriman September naik US$ 0,4 menjadi US$ 78,24 per barel.

Kenaikan juga berlaku pada minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$ 0,19 menjadi US$ 74,33 per barel. Kenaikan ini mau tak mau telah mempengaruhi harga minyak di pasaran internasional termasuk di Indonesia. Tercatat Indonesia Crude Price (ICP) periode Mei 2018 mengalami kenaikan 72,46 per barel.

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax di Indonesia pun tak tercuali merupakan efek domino dari kenaikan harga minyak dunia. Selain minyak, lemahnya kurs rupiah terhadap dolar sekaligus menjadi beban ekonomi tersendiri bagi pemerintah.

Seperti perempuan cantik dan seksi menjadi rebutan para lelaki, minyak pun demikian, menjadi rebutan banyak negara. Dalam konteks di Iran, perselisihan soal minyak sebenarnya telah terjadi sejak lama. Catatan Nasir Tamara, wartawan Sinar Harapan yang ketika itu bertugas meliput Revolusi Islam Iran, 1978-1979, pernah melukiskan fenomena tersebut ke dalam buku berjudul  “Revolusi Iran”.

Dalam buku tersebut, Nasir menjelaskan: Jacques de Morgan, seorang arkeolog Prancis yang bekerja di Iran menulis dalam berkala Annales de Mines, Februari 1982, bahwa ada kemungkinan terdapat minyak di Iran Selatan.

Artikel itu kemudian dibaca oleh Antoine Ketabchi, Direktur Jenderal Duane Iran yang kebetulan sedang di Paris, melalui sekretaris Baron Reuter yang mempunya banyak konsensi di Iran.

Ketabchi langsung menghubungi pemilik modal asal Prancis untuk mendapat bantuan keuangan pengolahan minyak, tak ada yang tertarik. Akhirnya, ia menemui Wiliam Knox d’Arcy, seorang jutawan asal Australia yang bersedia membiayai riset pencarian minyak. Ternyata, artikel arkeolog Prancis itu benar: Iran punya cadangan minyak berlimpah!

Sejak berhembus kabar itu, geopolitik di kawasan mulai tak menentu. Knox akhirnya menggandeng Inggris untuk melancarkan misinya akibat ketakutan atas campur tangan Rusia.

Geopolitik di kawasan yang kian kompleks antara Inggris, Rusia dan Iran, kemudian memaksa Iran untuk melibatkan Amerika Serikat (AS) sebagai poros ketiga untuk melawan dominasi Inggris-Rusia.

Hubungan Amerika-Iran mencapai puncaknya ketika rezim monarki, Syah Reza Pahlevi berkuasa. Kedekatan itu bukan saja soal ketakutan akan pengaruh politik komunis Soviet tetapi sekaligus memiliki dimensi ekonomi.

Hubungan itu makin terlihat ketika pemerintah Amerika mengirimkan dua ahli ekonomi, Morgan Shuster dan Arthur Chester untuk membantu memulihkan ekonomi Iran yang carut marut kala itu.

Tapi, hubungan dua negara tak berlangsung lama ketika gelombang revolusi Iran yang dipimpin Ayatollah Khomeni berhasil menyapu bersih rezim Syah Pahlevi. Revolusi itu sekaligus mengubah lanskap geopolitik kawasan termasuk hubungan Amerika-Iran.

Iran muncul sebagai politik baru, apalagi negara tersebut punya peran signifikan dalam produksi energi dunia dengan mengisi 27 persen cadangan minyak dan gas dunia.

Di tahun 2018, hubungan kedua negara kembali panas akibat tudingan Perdana Menteri Isreal, Benjamin Netayahu yang menyatakan bahwa Iran diam-diam sedang membangun persenjataan nuklir. Amerika sebagai sekutu dekat Israel pun tak ambil diam. Trump akhirnya, mengeluarkan pertanyaan “bahwa kesepakatan nuklir AS-Iran akan kembali direvisi”.

Tapi, di Indonesia polemik kenaikan harga minyak malah keluar dari konteks. Kritik oposisi terhadap pemerintah terbilang tak berdasar. Pasalnya, apakah Indonesia mampu membendung tensi politik Iran-Amerika sehingga kenaikan harga Pertamax tak terjadi?

Sesat Pikir Fadli Zon

Sekali lagi, tensi Iran-Amerika bukanlah sengketa baru. Yang menjadi problem adalah tensi kedua negara telah merambat ke negara-negara dengan ekonomi berkembang, salah satunya Indonesia.

Tapi, fenomena di Indonesia, justru menjadi bahan kritik oleh oposisi terkait kinerja pemerintah. Fadli Zon misalnya, sebagai simbol oposan menilai kenaikan harga BBM tentu memberatkan masyarakat apalagi di tengah kesulitan ekonomi. Tapi, jika dipikir kritik Fadli Zon sangat tidak berdasar.

Pasalnya, kenaikan harga minyak non-subsidi tentu merupakan bagian dari fluktuasi harga minyak internasional. Tak hanya di Indonesia, hampir semua negara di dunia mengalami efek dari kenaikan harga minyak, sehingga secara terpaksa pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tidak populis. Tentu, tujuan pemerintah untuk menaikan harga BBM agar pasar dalam negeri mampu beradaptasi mengikuti harga minyak global.

Kalau kebijakan itu tak diambil, negara terpaksa menanggung beban dari kenaikan harga minyak yang tentu akan menguras anggaran negara apalagi ditambah dengan lemahnya mata uang rupiah, tentu ongkos yang digelontorkan akan semakin berlipat.

Jika Fadli Zon mengkritik dampak perang dagang AS-Tiongkok yang mengakibatkan produk Tiongkok membanjiri Indonesia sekaligus merugikan pebisnis lokal, mungkin itu agak rasional. Sebab, dalam konteks kenaikan harga minyak global, Jokowi memang tak bisa berbuat banyak selain manut pada mekanisme pasar. Hal tersebut, bukan saja terjadi pada Jokowi, Prabowo pun demikian, tak dapat berbuat banyak untuk menghentikan perang saraf antara Rouhani dan Donald Trump.

Oportunisme Fadli Zon

Apa pasal peryataan Fadli Zon tak berdasar? Tentu, pernyataan tersebut sarat akan nuansa politik. Pendapat tersebut bisa jadi merupakan dorongan dari watak oportunisme seorang politisi. Pandangan oportunis dalam politik diungkapkan misalnya oleh Niccolo Machiavelli. Langkah politik yang diungkapkan oleh Machiavelli dalam bukunya  The Prince kerap dianggap sebagai oportunisme oleh banyak pihak.

Oportunisme digambarkan sebagai suatu pemikiran untuk menghendaki suatu kesempatan yang menguntungkan diri sendiri, atau kelompok. Tentu, pernyataan Fadli Zon, tak lain adalah bertujuan untuk memicu mosi tidak percaya rakyat Indonesia terhadap pemerintah Jokowi. Dan memang, ini bukan kali pertama dia mengkritik pemerintah. Sebagai seorang oposan, tentu kritik Fadli Zon memang tak perlu dihiraukan. Tapi, dari setiap kritiknya terhadap pemerintah, mungkin ini kritik paling oportunis.

Tentu, rakyat Indonesia membutuhkan kritik dan saran dari politisi yang dapat dijadikan pertimbangan. Apalagi, kondisi ekonomi di Indonesia sedang terpukul akibat melemahnya rupiah, kenaikan harga minyak dan perang dagang Tiongkok-AS.

Melihat kritik Fadli Zon dan Prabowo tentang masalah ekonomi Indonesia, apakah kedua kerabat politisi itu mampu memberikan solusi? Jika dilihat dari situasi global saat ini, tentu Jokowi maupun Prabowo tak dapat berbuat banyak untuk memuaskan rakyat Indonesia.

Apabila dihadapkan dengan kondisi seperti ketegangan antara AS-Iran saat ini, baik Fadli atau Prabowo kemungkinan juga tidak akan berdaya. Jika pun mau menjaga harga tetap murah, maka taruhannya adalah anggaran nasional yang semakin bocor.

Selama Indonesia belum mandiri secara ekonomi, tentu tensi antara AS-Iran akan selalu menimbulkan efek domino yang turut serta mempengaruhi ekonomi Indonesia. Semoga, instabilitas ekonomi global akan mereda. Dan ekonomi Indonesia dalam selalu dalam keadaan baik. (A34)

Exit mobile version