Sidang MK terkait Pilpres 2019 menjadi panggung pertarungan para alumni UGM Yogyakarta. Bukan tanpa alasan, 4 dari 9 hakim lembaga tinggi negara tersebut berasal dari kampus ini. Kemudian saksi ahli dari kubu Jokowi-Ma’ruf Amin semuanya berasal dari kampus tersebut, pun dengan 3 kuasa hukum kubu Prabowo-Sandi. Konteksnya menjadi semakin menarik karena bahasan sidang menyangkut nasib kandidat yang juga berasal dari UGM, Presiden Jokowi. Ini mirip dengan fenomena Oxbridge yang terjadi di Inggris.
PinterPolitik.com
“Kings may be judges of the earth, but wise men are the judges of kings”.
:: Solomon Ibn Gabirol (1021-1070), penyair dan filsuf ::
Nama Socrates mungkin akan dikenang sepanjang masa sebagai salah satu founder filsafat Barat. Pria yang mengakhiri hidupnya dengan cara meminum racun itu menghasilkan banyak murid yang menjadi filsuf, pemikir, maupun penulis besar di kemudian hari. Xenophon, Antisthenes, Aristippus, Aeschines dari Sphettos, dan tentu saja yang paling besar, Plato, adalah beberapa nama di antaranya.
Socrates menjadi jalan masuk bagi banyak pemikiran besar. Plato kemudian menjadi murid Aristoteles – filsuf yang pemikirannya membawa sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan secara keseluruhan, bahkan bagi agama-agama di dunia.
Layaknya Socrates yang menjadi “induk” dari banyak pemikir besar, mungkin itulah yang bisa dianalogikan dengan ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa hari lalu.
Pasalnya, selain karena konten perdebatan yang cukup berbobot dan sangat baik untuk pendidikan politik dan hukum bagi masyarakat, hal lain yang menonjol adalah fakta bahwa banyak yang hadir dalam persidangan itu adalah alumni Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
UGM seolah menjadi “induk” bagi mereka yang berdebat di ruangan sidang itu. Tengok saja, mulai dari hakim MK, saksi ahli, hingga beberapa kuasa hukum – terutama dari kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno – yang berdebat dalam forum sidang tersebut adalah alumni dari kampus yang pada tahun 2018 lalu ada di peringkat kedua terbaik di tingkat nasional versi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
Adapun saat itu, status alumni universitas ini mencuat karena menjadi narasi yang dilemparkan untuk menghilangkan ketegangan sidang. Maksudnya tentu agar sekalipun saling sikut argumentasi hukum, baik hakim maupun saksi dan kuasa hukum masih mengingat jati diri mereka, terutama “induk” yang mendidik mereka.
Persoalan yang kemudian timbul adalah apakah kesamaan almamater ini bisa punya dampak yang besar, katakanlah jika ikut mempengaruhi hasil putusan MK? Apalagi yang diputuskan nasibnya kali ini adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang juga merupakan alumni dari kampus ini. Seberapa besar sebetulnya konteks dominasi lulusan suatu kampus berdampak terhadap kondisi politik di suatu negara?
Dari Oxbridge ke UGM
Deretan alumni UGM memang menjadi pengisi utama ruang sidang MK. Ketua MK Anwar Usman misalnya, adalah alumni S-3 UGM pada tahun 2010. Wakil Ketua MK Aswanto juga menempuh S-2 di UGM pada tahun 1992.
Lalu ada Saldi Isra yang merupakan alumni S-3 UGM pada tahun 2009 dan Enny Nurbaningsih yang menempuh pendidikan sarjana hukumnya S-1 UGM tahun 1981 dan S-3 di kampus yang sama pada 2005.
Kemudian, saksi ahli Jokowi-Ma’ruf Amin, terutama di persidangan hari Jumat, 21 Juni 2019, semuanya alumni UGM. Edward Omar Sharif Hiariej adalah Guru Besar Fakultas Hukum UGM, dengan spesialisasi hukum pidana. Pendidikannya sejak S-1 hingga S-3 ditempuh di kampus tersebut. Saksi yang lain, Heru Widodo juga menempuh pendidikan S1 dan S2 di UGM.
Sementara, pihak lawan di kubu kuasa hukum Prabowo-Sandi juga berisi tokoh-tokoh alumni UGM juga. Ada Iwan Satriawan yang merupakan lulusan S-1 UGM tahun 1996. Kemudian ada Luthfi Yazid yang juga lulus S-1 dari kampus ini.
Terkait Luthfi, menariknya dalam persidangan ia mengaku bahwa dirinya adalah teman satu indekos bersama Heru Widodo, saksi ahli kubu Jokowi-Ma’ruf Amin – yang dalam sidang tersebut tentu saja adalah lawannya.
Yang terakhir adalah Denny Indrayana yang menempuh studi S-1 di UGM dan kini menjadi pengajar di kampus tersebut. Denny tentu saja adalah kolega Edward yang sama-sama menjabat sebagai dosen di UGM. Denny ada dalam barisan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, mendampingi Bambang Widjojanto selaku Ketua Tim Kuasa Hukum.
Terkait narasi alumni UGM ini memang menjadi bahasan yang menarik dalam persidangan tersebut. Bahkan, dalam salah satu kesempatan Ketua MK Anwar Usman sempat protes karena namanya dan Wakil Ketua MK Aswanto tidak disebut sebagai alumni UGM.
UGM memang cukup lama menjadi salah satu entitas kampus paling dominan di tingkat nasional di Indonesia. Namanya selalu ada dalam jajaran atas bersama kampus-kampus seperti Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Bicara tentang peran alumni dari entitas akademis khusus dalam politik suatu negara memang menjadi topik yang unik. Pasalnya, pendidikan memang menciptakan ikatan tertentu yang sering kali membentuk jati diri dan kepribadian seseorang serta pandangan-pandangan politiknya.
Berbagai studi memang menyebutkan bahwa pendidikan, terutama di universitas, bisa membantu dan bahkan mempengaruhi pembentukan identitas seseorang. Edward Miguel dan kawan-kawan bahkan secara spesifik menyebutkan bahwa dampaknya juga terasa terhadap pandangan politik secara keseluruhan.
Presiden Jokowi saat ini boleh jadi merupakan alumni UGM pertama yang merengkuh kursi kekuasaan tertinggi di negeri ini – setidaknya dibandingkan ITB yang sudah menyertakan dua orang untuk pucuk tertinggi, yaitu Soekarno dan BJ Habibie. Lalu, apakah ada dampak yang terlihat dari arah kebijakan yang dipengaruhi oleh identitas almamater ini?
Memang tidak banyak studi yang menjelaskan pengaruh langsung terkait mazhab studi yang melekat dengan identitas kampus tertentu dan dampaknya terhadap karakter kebijakan seorang pemimpin.
Namun, jika berkaca di beberapa negara, hal yang demikian ini bisa juga ditemui. Di Inggris, ada istilah yang disebut sebagai Oxbridge yang merupakan gabungan kata atau portmanteau dari dua kampus paling tua di negeri Ratu Elisabeth tersebut, Oxford dan Cambridge.
Dalam konteks politik, dua kampus ini berkontribusi untuk hampir semua posisi dan jabatan politik maupun publik di negara tersebut. Bahkan, mulai dari editor – pemimpin redaksi dan board of editors – di surat kabar dan media, peneliti dan surveyor di lembaga-lembaga think tank, anggota kabinet pemerintahan, anggota parlemen dan lain sebagainya, diisi oleh orang-orang dari Oxbridge.
Pada tahun 2015 misalnya, 12 anggota kabinet eksekutif Perdana Menteri David Cameroon berasal dari Oxbridge. Hal serupa juga terjadi pada kabinet bayangan milik oposisi yang juga berisi 12 alumni Oxbridge.
Carole Cadwalladr dalam kolomnya di The Guardian menyebutkan bahwa kebanyakan dari tokoh-tokoh tersebut tak menampakkan diri berasal dari kampus mana. Ia menyebutkan bahwa tokoh-tokoh elite di partai pun hampir semuanya berasal dari Oxbridge jika dicek satu per satu laman biodata mereka di Wikipedia.
Hal serupa memang sangat mungkin terjadi di Indonesia, katakanlah jika jajaran pejabat publik dicek satu per satu latar belakang pendidikannya. Maka, dominasi kampus tertentu akan sangat mungkin terlihat.
Ikatan Alma Mater
Perdebatan tentang alumni kampus dan keterkaitannya dengan jabatan publik sebenarnya sempat pula mencuat ketika Jokowi menunjuk Perry Warjiyo sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI). Perry, sama seperti Jokowi, merupakan lulusan UGM.
Ia mengalahkan beberapa kandidat yang rata-rata berasal dari UI. Kampus terakhir memang cukup terkenal dalam mazhab ekonomi nasional, jika dilihat dari lulusan-lulusannya yang pernah menjabat di posisi tinggi negara.
Tak bisa dipungkiri memang kampus-kampus seperti UGM, UI maupun ITB mampu menghasilkan kualitas lulusan yang menjanjikan, sehingga bisa dengan mudah merengkuh jabatan publik di pemerintahan atau sejenisnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Axel Dreher dan Shu Yu dalam salah satu studi mereka terkait dampak almamater tempat kuliah seorang pemimpin terhadap kebijakannya, sempat melihat konteks hubungan tersebut. Mereka menyebutnya sebagai the alma mater effect atau efek alma mater.
Namun, studi tersebut dibuat dalam konteks kebijakan luar negeri negara para pemimpin dalam kaitan dengan pendidikan yang pernah mereka tempuh di negara lain.
Walaupun demikian, alma mater effect ini sangat mungkin terjadi dalam konteks domestik, apalagi jika berkaca pada jaringan alumni kampus yang terjadi di mana-mana. Entitas sekolah secara spesifik memang punya dampak yang besar.
PinterPolitik sempat mengulas ini ketika membicarakan SMA Pangudi Luhur (PL) yang punya ikatan brotherhood yang kuat dan menempatkan banyak sosok penting di negara ini. Brotherhood ini menjadi alasan sekalipun sering berada di kubu yang berseberangan secara politik, ikatan berbasis sekolah bisa menjadi jalan pada akhirnya pertentangan berubah menjadi ngobrol bersama di warung kopi.
Apa pun itu, yang jelas panggung sidang MK memang menjadi arena bagi alumni UGM untuk menunjukkan kapasitasnya di bidang hukum. Mereka setidaknya berhasil menunjukkan citra mentereng kampusnya tersebut.
Yang jelas, publik tentu berharap jangan sampai karena kesamaan identitas kampus, putusan yang pada akhirnya diambil menjadi tidak objektif. Sebab, seperti kata Solomon Ibn Gabirol di awal tulisan, para raja boleh saja mengadili dunia. Tapi orang-orang bijaklah yang pada akan mengadili para raja itu. (S13)