HomeNalar PolitikBasket Sandi-AHY, Balapan Demokrat

Basket Sandi-AHY, Balapan Demokrat

Aksi main basket bersama antara Sandi dan AHY menjadi momen menarik terkait showcase dukungan politik Partai Demokrat terhadap mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu dan pasangannya, Prabowo Subianto. Hal ini juga menegaskan posisi politik Demokrat di dalam koalisi pemenangan pasangan nomor urut 02 tersebut, sekalipun partai tersebut tengah mengalami extension dilemma – hal yang kemudian dibahasakan dalam strategi double track yang sempat disebutkan oleh AHY.


PinterPolitik.com

“The ballot is stronger than the bullet”.

:: Abraham Lincoln ::

[dropcap]M[/dropcap]uda, tampan, gagah, dan menyenangkan mata yang melihat. Mungkin itu adalah gambaran para kaum hawa ketika menyaksikan kebersamaan Sandiaga Uno dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat bermain basket beberapa hari lalu.

Keduanya mungkin bukan Damon dan Pythias – dua tokoh legenda dari zaman Yunani Kuno yang jadi simbol persahabatan – namun kebersamaan yang terbangun di hari Minggu pagi itu sudah lebih dari cukup untuk menilai konteks dukungan politik dan semangat muda yang terbangun.

Aksi Sandi sebagai cawapres nomor urut 02 dan AHY sebagai Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat itu memang mencuri perhatian.

Bukan hanya karena baju basket yang dikenakan keduanya cukup unik – Sandi mengenakan baju bernomor 02 dengan tulisan Indonesia, sementara AHY dengan baju bernomor 14 dengan tulisan Partai Demokrat – namun karena konteks hubungan Demokrat dalam Koalisi Indonesia Makmur yang kerap dipertanyakan beberapa waktu terakhir.

Konteks Pileg punya nilai yang sedikit lebih di atas Pilpres kali ini jika Demokrat menghitung masa depan, yakni kontestasi Pilpres 2024, terutama untuk mengajukan calon sendiri di tahun tersebut. Share on X

Pasalnya, banyak pihak menilai aksi main basket bersama tersebut menjadi simbol politik yang penting dalam konteks pernyataan sikap politik Demokrat. Seperti diketahui, AHY kini mengambil alih tanggung jawab kampanye partai dari sang ayah, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang harus menepi untuk sementara waktu dari panggung politik nasional karena harus menemani sang istri yang tengah dalam perawatan di Singapura.

Sementara, dalam pidato politiknya beberapa waktu lalu, AHY tidak secara gamblang menyatakan dukungannya kepada pasangan Prabowo Subianto-Sandi. Hal itulah yang sempat melahirkan pertanyaan terkait posisi politik partai tersebut.

Terkait pemenangan Pemilu, konteks tanggung jawab AHY tentu tidak kecil, mengingat Partai Demokrat juga harus bersaing memperebutkan kursi legislatif yang tentu menentukan posisi di parlemen dan bahkan masa depan partai itu di Pemilu 2024. Jika demikian, lalu hal apa yang bisa dimaknai dari aksi bermain basket Sandi dan AHY ini?

Politik Rel Ganda Demokrat

Aksi main basket Sandi dan AHY memang bisa dibaca sebagai pernyataan sikap dan penegas dukungan politik Demokrat di tingkat nasional kepada pasangan Prabowo-Sandi. Seperti sudah disinggung sebelumnya, pidato politik AHY beberapa waktu lalu dalam tajuk “Rekomendasi Partai Demokrat Untuk Presiden Mendatang” dianggap sebagai politik dua kaki atau politik rel ganda  alias double track strategy).

Strategi tersebut memang membuat Demokrat terlihat berada di satu kubu – dalam hal ini di koalisi Prabowo-Sandi – namun juga memberikan kesempatan kepada anggota dan kadernya untuk mendukung capres yang lain, selama hal tersebut menguntungkan partai secara elektoral dalam upaya memenangkan Pemilu Legislatif.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Hal ini beralasan, mengingat survei dari Indikator Politik Indonesia beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa sekitar 53 persen pemilih Demokrat justru cenderung mendukung Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, sekalipun di tingkatan elite, partai tersebut lebih berat ke kubu Prabowo-Sandi.

Artinya, jika Demokrat terlalu memaksakan kader dan basis pemilihnya untuk mendukung Prabowo-Sandi, justru akan ada bahaya bahwa partai biru tersebut justru ditinggalkan oleh basis pemilihnya – hal yang mengancam nasib mereka di parlemen.

Popularitas Jokowi di beberapa daerah tertentu juga cenderung tinggi, sehingga jika caleg-caleg Demokrat “memaksakan” menggunakan citra Prabowo-Sandi, resistensi politik sangat mungkin terjadi di akar rumput.

Jadi, ketimbang mempertaruhkan risiko calegnya tidak dipilih, Demokrat merasa lebih aman dan realistis jika kebebasan memilih capres dipakai sebagai patokan – selama para pemilih memberikan suaranya untuk caleg-calegnya.

Dalam salah satu wawancaranya dengan Detik, AHY membenarkan hal tersebut dan menyebutkan bahwa strategi rel ganda ini adalah pilihan politik yang paling realistis yang bisa diambil oleh Demokrat, mengingat konteks politik yang ada saat ini cenderung tidak menguntungkan partai tersebut.

Pasalnya, sebagai partai yang pernah dominan menguasai panggung politik Indonesia dalam kurun waktu antara tahun 2004-2014, Demokrat harus menghadapi kenyataan tidak mampu mengusung calon presiden pada 2 gelaran Pilpres terakhir, yakni di 2014 dan kini di 2019.

Hal ini membuat partai berlambang bintang tiga arah itu kesulitan mendapatkan efek elektoral kandidat capres-cawapres atau coattail effect. Apalagi, pada tahun ini, baik Pileg maupun Pilpres akan dilaksanakan secara serentak.

Tanpa adanya kandidat capres atau cawapres, kampanye Pilpres untuk Prabowo-Sandi justru bisa kontra-produktif dengan upaya pemenangan caleg. AHY mengakui hal ini sebagai kesulitan terbesar yang harus dihadapi partainya pada Pemilu kali ini.

Apa yang disebutkan tersebut memang sesuai dengan berbagai survei yang menyebutkan bahwa partai yang paling besar mendapatkan keuntungan dari Pilpres kali ini adalah PDIP karena Jokowi menjadi capres, pun Gerindra karena Prabowo juga kembali maju.

Hal ini sempat pula disinggung oleh SBY dalam salah satu kesempatan beberapa waktu lalu. Kesulitan yang terjadi pada Demokrat ini juga dialami oleh hampir semua parpol selain PDIP dan Gerindra. Konteks tersebut membuat strategi double track seperti yang disampaikan oleh AHY, menjadi pilihan yang paling realistis untuk diambil.

Tantangan terbesar Demokrat kini memang untuk setidaknya menyamakan perolehan suara di Pemilu 2014 lalu yang “hanya” mencapai 10,19 persen di tingkat nasional. Jumlah ini cukup mengkhawatirkan karena hanya setengah dari perolehan partai tersebut di Pemilu 2009 yang mencapai 20,85 persen – terlepas dari beberapa kasus korupsi yang menimpa kadernya dan menjadi salah satu alasan penurunan dukungan publik.

Selain itu, dengan bertambahnya peserta Pemilu lewat kehadiran partai-partai baru, tentu saja Demokrat perlu melakukan adjustment atau penyesuaian – demikian bahasa yang dipakai oleh AHY. Soal target Pileg misalnya, yang semula 15 persen, direvisi menjadi minimal sama dengan pencapaian pada Pemilu 2014. Menurut AHY, hal tersebut bukan berarti partainya pesimis, tetapi menjadi lebih realistis.

Extension Dilemma

Konteks kebijakan double track yang dijalankan oleh Partai Demokrat ini sebenarnya menggambarkan apa yang oleh Gianni Piazza dan Valentina Genovese disebut sebagai extension dilemma atau dilema ekstensi.

Kondisi ini terjadi ketika partai politik membutuhkan perubahan dalam hal pencapaian secara nasional – dalam hal ini terkait konteks kekuasaan atau masuk dalam pemerintahan dengan mendukung Prabowo-Sandi – namun pada saat yang sama ada kebutuhan untuk mempertahankan posisinya di parlemen yang dipengaruhi oleh efek popularitas Jokowi di akar rumput.

Istilah dilema ekstensi tersebut umumnya dipakai dalam konteks manajemen brand, namun bisa juga digunakan untuk menilai apa yang terjadi pada Partai Demokrat dalam konteks kebijakan rel ganda tersebut.

Apalagi, konteks Pileg punya nilai yang sedikit lebih di atas Pilpres kali ini jika Demokrat menghitung masa depan, yakni kontestasi Pilpres 2024. Memang kontestasi elektoral tersebut masih cukup jauh. Namun, jika mampu meningkatkan perolehan kursi di DPR pada Pileg kali ini, peluang untuk mengajukan calon sendiri di tahun tersebut akan jauh lebih terbuka.

Demokrat tentu akan menghitung persoalan tentang kekuasaan di masa mendatang tersebut sebagai hal yang penting. Untuk partai sebesar Demokrat, kursi capres atau cawapres sudah selayaknya menjadi tujuan utama. Oleh karena itu, Pileg adalah kunci untuk menuju ke arah tersebut. Apalagi, sudah dua gelaran Pilpres partai tersebut tidak punya kandidat yang bersaing.

Dengan demikian, aksi main basket Sandi dan AHY bisa dilihat sebagai political symbolism atau simbolisme politik – mengutip kata-kata Rozann Rothman. Aksi tersebut menunjukkan dukungan politik sebagai manifestasi kepentingan politik saat ini dalam koalisi bersama pemenangan Prabowo-Sandi.

Hal ini juga penting untuk menjadi penggambaran sikap politik dalam konteks Pilpres. Keduanya misalnya bermain dalam satu tim – hal yang jelas menunjukkan bahasa politik tingkat tinggi, bahwa ada dukungan politik yang diberikan kepada Sandi. We are in the same team, Bro! Begitu setidaknya bahasa yang ingin disampaikan.

Konteks ini juga secara tidak langsung menggambarkan posisi politik Demokrat yang menjadi penentu. Demokrat – terutama sosok SBY – selalu dianggap sebagai kunci hasil akhir kontestasi elektoral, termasuk pada Pilpres 2019 ini.

Pada akhirnya, publik tentu menanti aksi apa lagi yang akan dilakukan oleh Sandi dan AHY. Yang jelas, seperti kata Abraham Lincoln di awal tulisan, pemungutan suara dalam Pemilu kali ini punya kekuatan yang sangat besar, bahkan bisa mengalahkan peluru. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.