HomeNalar PolitikBasis Agama Bikin PAN Pecah?

Basis Agama Bikin PAN Pecah?

Konflik yang medera Partai Amanat Nasional (PAN) menambah daftar panjang deretan partai Islam yang terpecah akibat konflik internal. Rapuhnya soliditas di kalangan partai religius menimbulkan sejumlah pertanyaan, benarkah ideologi agama menjadi penyebab utamanya?


PinterPolitik.com

Tensi di internal Partai Amanat Nasional (PAN) agaknya masih jauh dari kata selesai. Kentalnya aroma konflik keluarga bisa dibilang menjadi salah satu faktor yang membuat perseteruan ini tak henti-hentinya menghiasi kolom headline media massa.

Setelah sebelumnya perselisihan Amien Rais dengan besannya Zulkifli Hasan menyeruak ke publik, kini giliran putranya sendiri, Mumtaz Rais yang bergabung meramaikan lakon ini.

Mumtaz baru-baru ini membuat riuh dengan sumpah serapahnya yang menyebut akan berenang dari Pantai Indah Kapuk, Jakarta ke Labuan Bajo, NTT jika wacana ayahnya akan mendirikan partai baru bernama PAN Reformasi benar-benar terwujud.

Banyak yang mencibir Mumtaz karena terlalu sesumbar meremehkan pamor dan karisma sang ayah. Namun di sisi lain, pernyataan Mumtaz itu juga bisa dianggap sebagai upaya mendamaikan Amien dengan elite PAN.

Terlepas dari berbagai asumsi yang ada, tak bisa dipungkiri, konflik teranyar ini membuat PAN mengikuti jejak partai-partai berideologi Islam yang sebelumnya sudah pernah mengalami konflik internal hingga berujung pada perpecahan kongsi.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai bahwa rentannya terjadi perpecahan di tubuh partai berideologi agamis disebabkan karena kurangnya soliditas akibat adanya irisan suara masing-masing pendukung.

Jika pernyataan Adi itu benar, lantas pertanyaannya apa sebenarnya yang menyebabkan lemahnya soliditas di tubuh partai-partai berideologi Islam?

Skisme Keagamaan Jadi Persoalan?

Sejak zaman dulu, agama hakikatnya memang tidak bisa dilepaskan dari politik. George M Marsden dalam bukunya Religion and American Culture menyebut agama merupakan salah satu indikator terbaik terhadap perilaku politik. Agama mempunyai banyak hubungan dengan politik karena ia membentuk dan memperkuat visi-visi moral.

Sebagai negara dengan mayoritas muslim, Islam memang punya kekuatan yang luar biasa untuk menggalang dukungan di Indonesia. Dale F Eickleman dan James Piscatori dalam bukunya yang berjudul Muslim Politics menyebut Islam telah menjadi kekuatan dalam konstruksi relasi kuasa.

Hal tersebut membuat Islam sering kali dimanfaatkan dalam membangun legitimasi politik. Selain itu, simbolisasi agamis juga dinilai efektif sebagai instrumen mobilisasi dukungan. Pemikiran-pemikiran inilah kiranya bisa dijadikan pemakluman atas kemunculan partai-partai Islam dalam bentang sejarah politik di Indonesia.

Meski begitu, menyatukan kekuatan Islam faktanya bukanlah perkara mudah. Hal ini lantaran dinamika masyarakat Islam di Indonesia sudah terpecah ke dalam fragmentasi. Dhurorudin Mashad dalam bukunya yang berjudul Akar konflik politik Islam di Indonesia menyebutkan ada tiga faktor penyebab fragmentasi, yaitu perbedaan nilai, persaingan kepentingan, dan perbedaan pemaknaan umum.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Robert Jay kemudian mencoba mencari jawaban mengapa fragmentasi itu dapat terjadi. Dalam bukunya yang berjudul berjudul Santri dan Abangan: Religious Schism in Rural Central Java. Ia menduga fragmentasi dalam kelompok muslim di Indonesia, khususnya Jawa disebabkan karena adanya skisme keagamaan yang berpusat pada dikotomi subkultur santri (muslim yang taat) dan subkultur abangan (muslim yang Jawais). Skisme keagamaan ini kemudian berkembang menjadi skisme politis.

Jay kemudian mengaitkan pemikirannya itu dengan perjalanan politik Islam dalam konteks Indonesia tahun 1950-an. Menurutnya, pola konfrontasional yang berkembang pada pemilu 1955 memperlihatkan dengan jelas adanya pertarungan dua kelompok besar, yaitu Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kelompok santri, melawan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kelompok abangan.

Melengkapi pemikiran-pemikiran tersebut, Howard M Federspiel dalam Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State menyebut bahwa hubungan antara faksi-faksi muslim selalu sulit. Meskipun ada upaya untuk menjaga perbedaan doktrinal dan praktis dalam perspektif umum, akan tetap ada gesekan kuat yang sulit diatasi saat-saat krisis dan menentukan.

Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa lemahnya soliditas partai-partai Islam sebagaimana dikemukakan Adi Prayitno saat mengomentari friksi di internal PAN, boleh jadi disebabkan karena adanya fragmentasi yang timbul akibat berkembangnya nilai skisme keagamaan.  

Fragmentasi ini bisa saja disebabkan oleh perbedaan nilai di mana Amien Rais cenderung memiliki pemahaman Islam konservatif. Hal ini belum tentu bisa diterima oleh semua kader PAN, khususnya kader muda yang terlihat lebih moderat.

Lalu pertanyaannya, apakah fragmentasi dan skisme keagamaan menjadi faktor tunggal yang menyebabkan terbelahnya partai-partai Islam?

Persoalan Kelembagaan?

Selain PAN, partai Islam yang sempat berkonflik dan menyita perhatian publik adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski awalnya terlihat sebagai konflik individualistis antara Presiden PKS Sohibul Iman dengan Fahri Hamzah, namun jika ditilik lebih jeli lagi, konflik internal ini sebenarnya merupakan gesekan ideologis antarkeduanya.

Ada dua faksi yang berselisih di internal PKS, yaitu Faksi Keadilan dan Faksi Sejahtera. Faksi Keadilan diisi oleh kader-kader yang masih menjunjung tinggi semangat PKS seperti pada era Partai Keadilan dahulu. Kelompok ini diwakili oleh pimpinan PKS Sohibul Iman dan Ustadz Salim Segaf Al-Jufri.

Sedangkan Faksi Sejahtera identik dengan kader-kader yang berorientasi pada era partai modern yang menginginkan PKS yang moderat. Kelompok ini diwakili oleh Fahri Hamzah yang duduk sebagai Wakil Ketua DPR saat itu.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Perbedaan nilai yang dianut Fahri ini juga dapat diinterpretasikan dari pemikirannya yang Ia tulis sendiri dalam Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat vs Daulat Parpol. Di sana Ia menyebut bahwa PKS hanya akan menjadi besar apabila menempatkan posisi sebagai partai modern yang adaptif terhadap perubahan zaman. Orientasi terhadap nilai-nilai modern itu dapat dianggap sebagai afirmasi Fahri atas posisinya sebagai golongan moderat.

Perbedaan ideologi Fahri dengan mayoritas elite dan kader PKS yang terkenal dengan pandangan konservatifnya, lantas berbuntut pada pemecatan dirinya dari semua jenjang kepengurusan partai. Setelah itu, Ia bersama mantan Presiden PKS, Anis Matta mendirikan ormas Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) yang kemudian bertransformasi menjadi Partai Gelombang Rakyat (Gelora).

Meski secara umum konflik PKS dan PAN terlihat mirip, namun Zaiyatul Akmar dalam studinya yang memang fokus mendalami konflik internal PKS pada 2016 lalu, mengungkapkan persoalan yang lebih fundamental di balik konflik tersebut, yaitu soal kelembagaan partai.

Marcus Mietzner dan Edward Aspinall dalam tulisan mereka yang berjudul Indonesia’s Democratic Paradox: Competitive Elections amidst Rising Illiberalism menyebut bahwa kemunculan konflik tidak mencangkup satu faktor saja, tetapi juga sangat terkait dengan kemampuan partai politik dalam melembagakan partainya. Ia juga mengaitkan timbulnya konflik di dalam internal partai dengan kegagalan mekanisme resolusi konflik.

Berangkat dari sini, dapat dikatakan konflik internal PKS bukan hanya berkutat di persoalan adanya perbedaan nilai antara faksi Sohibul Iman dan Fahri Hamzah. Konflik internal tersebut berbutut panjang lantaran partai juga dianggap gagal dalam melakukan mekanisme resolusi konflik yang membuat perpecahan semakin tak terhindarkan.

Hal inilah yang mungkin juga sedang terjadi di tubuh PAN. Gesekan ideologis antara Amien dan elite PAN saat ini tak bisa serta merta dianggap sebagai faktor tunggal yang menyebabkan partai berlambang matahari itu berada diambang perpecahan. Tak berfungsinya konsolidasi dan manajemen konflik tentu sedikit banyak berperan dalam kekisruhan yang terus terjadi.

Pada akhirnya, konflik dalam organisasi yang sarat akan kepentingan seperti partai politik memang tak bisa dihindarkan. Akan tetapi, partai politik seharusnya dapat menjadikan setiap konflik internal yang dihadapi sebagai proses pendewasaan dalam berdemokrasi. Bagaimana kira-kira konflik internal PAN ini akan berlanjut? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya.  (F63)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...