Site icon PinterPolitik.com

Bara Sosial di Rasisme Papua

Bara Sosial di Rasisme Papua

Demonstrasi mahasiswa asal Papua di Surabaya (Foto: AFP)

Bumi Cendrawasih kembali bergejolak dengan terjadinya aksi demonstrasi dan kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Aksi ini disebabkan oleh adanya tindakan rasisme dan kekerasan terhadap mahasiswa asal Papua yang terjadi di Malang dan Surabaya. Namun, kerusuhan tidak terjadi secara spontan, melainkan akumulasi dari permasalahan sosial yang sudah lama dialami masyarakat Papua.


PinterPolitik.com

Kerusuhan yang tersebut diperparah dengan beredarnya beberapa pemberitaan di media sosial yang diduga merupakan hoaks terkait dengan pengusiran dan terbunuhnya mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.

Sejauh ini, baik pemerintah maupun tokoh Papua meminta semua pihak untuk menahan diri. Pemerintah juga berjanji akan mengusut tuntas ujaran berbau rasisme yang diterima mahasiswa Papua.

Lalu, bagaimana sebetulnya konflik harus dilihat? 

Akumulasi Konflik Sosial

Menurut Johan Galtung, pakar studi perdamaian dari Norwegia, ada 3 jenis kekerasan yang menjadi penyebab terjadinya konflik, yaitu kerkerasan langsung (direct violence), kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan kultural (cultural violence).

Kekerasan langsung berkaitan dengan kekerasan fisik yang pelaku dan korbannya bisa secara jelas terlihat. Contohnya adalah pembunuhan dan penyerangan.

Sementara kekerasan struktural berkaitan dengan adanya struktur atau hukum tertentu yang menghalangi suatu kelompok mendapatkan hak atau kesempatan yang sama.

Terakhir, kekerasan kultural, yaitu adanya karakter, norma, atau budaya yang membenarkan terjadinya kekerasan langsung atau strukural terhadap suatu kelompok.

Lalu dari ketiga bentuk kekerasan tersebut, mana yang dialami oleh masyarakat Papua? Jawabannya bisa kita temukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Menurut penelitian LIPI, yang dipublikasikan dalam buku berjudul Papua Road Map, setidaknya ada empat hal yang menjadi sumber konflik Papua.

Pertama, marjinalisasi dan tindakan diskriminatif terhadap orang asli Papua yang disebabkan oleh perkembangan ekonomi, kebijakan kultural, dan imigrasi ke Papua sejak tahun 1970.

Pada tahun 2010-2011, jumlah penduduk di Papua didominasi oleh warga pendatang. Tidak hanya masalah komposisi penduduk, warga pendatang juga mendominasi perekonomian di Papua, khusunya dalam bidang agrikultur dan jasa.

Selain itu sebagian masyarakat Papua memiliki pandangan bahwa ketika mereka mengekspresikan budayanya, hal tersebut akan dilihat sebagai bentuk separatisme ataupun perlawanan terhadap negara.

Kesan kecurigaan negara terhadap budaya Papua ini diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 yang melarang penggunaan simbol-simbil kulutral tertentu.

Tidak hanya di tanah Papua, diskriminasi ini juga dialami oleh masyarakat Papua yang pergi ke pulau lain. Permasalahan pun semakin kompleks karena masyarakat di pulau-pulai lain juga menjadi sumber diskriminasi.

Mahasiswa asal Papua misalnya, dalam beberapa kesempatan kerap ditolak ketika mencari tempat indekos di Yogyakarta hanya karena berasal dari Papua.

Bentuk rasisme ini terjadi lantaran adanya stigma negatif dan generalisasi atau stereotype masyarakat terhadap perilaku orang Papua.

Rasisme juga diduga dilakukan oleh aparat keamanan yang sering kali mendatangi asrama mahasiswa Papua dengan kekuatan lengkap tanpa alasan yang jelas selain hanya karena dasar kecurigaan terhadap aktivitas mahasiswa Papua.

Tidak berhenti di situ, tindakan pembubaran ataupun penangkapan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat Papua juga beberapa kali dinilai berlebihan, termasuk apa yang terjadi di Surabaya beberapa hari lalu.

Tindakan diskriminasi dan rasisme di atas pada akhirnya membuat sebagian masyarakat Papua merasa dimarjinalkan dan mempertajam stigma yang ada.

Sumber kedua adalah gagalnya pembangunan dalam hal pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi. Sebagian masyarakat Papua tidak merasakan manfaat atau dilibatkan dalam pembangunan di Papua, utamanya terkait eksploitasi sumber daya alam.

Hal ini masih terlihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang – meskipun meningkat tiap tahunnya – masih menjadi yang terendah di Indonesia. Rendahnya IPM ini juga menjadi penyebab kenapa masyarakat asli Papua sulit bersaing dengan warga pendatang.

Selain itu pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat dinilai lebih didasari oleh keperluan untuk menjaga integrasi wilayah nasional dan untuk memastikan bahwa Papua tetap menjadi bagian Indonesia. Hal ini menyebabkan kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua lebih didominasi oleh pendekatan militeristik dan intelijen.

Sumber ketiga berkaitan dengan adanya perbedaan pandangan politik antara pemerintah dengan masyarakat Papua, serta di antara masyarakat Papua itu sendiri. Perbedaan ini terjadi karena tidak adanya dialog yang pada akhirnya memperparah rasa ketidakpercayaan, bahkan penolakan di antara pemerintah dan berbagai faksi di masyarakat Papua sendiri.

Perbedaan pandangan dan tidak adanya dialog ini utamanya terlihat terjadi antara pemerintah dengan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Keduanya terus saling serang dan menolak segala bentuk negosiasi.

Terakhir, tidak diselesaikannya kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu yang dilakukan oleh aparat pemerintah, baik TNI maupun Polri, menyebabkan terus terpeliharanya dendam dan prasangka buruk masyarakat Papua terhadap pemerintah.

Permasalahan HAM ini juga masih terjadi di era Jokowi. Amnesty International (AI) misalnya yang dalam laporannya mengangkat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua antara tahun 2010-2018.

Pandangan mengenai buruknya kondisi HAM di Papua juga datang dari Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil. Giay melihat bahwa Jokowi hanya fokus kepada pembangunan infrastruktur dan dengan sengaja tidak menyentuh permasalahan HAM di Papua. 

Tidak diselesaikannya kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua ini menyebabkan adanya kesan impunitas (kekebalan hukum) terhadap tindakan represif aparat keamanan.

Tidak hanya masalah HAM, kebebasan pers di Papua juga dinilai masih buruk. Hal ini terlihat dengan masih adanya pembatasan akses terhadap jurnalis asing yang ingin melakukan liputan di Papua dan berbagai aksi kekerasan terhadap jurnalis di Papua.

Permasalahan pers ini membuat Papua menjadi provinsi dengan Indeks Kemerdekaan Pers terendah secara nasional.

Dengan segudang permasalahan di atas, dapat dikatakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat tidak terjadi hanya karena peristiwa di Malang dan Surabaya saja.

Kerusuhan yang terjadi justru merupakan bentuk luapan kemarahan atas ketidakadilan yang selama ini dialami oleh masyarakat Papua.

Masih Ada Harapan

Kekerasan yang terjadi di Papua sangat kompleks karena berdasarkan pandangan Galtung seperti disinggung sebelumnya, terjadi dalam tiga bentuk kekerasan.

Kompleksitas semakin bertambah karena konflik tidak hanya terjadi antara masyarakat Papua dengan pemerintah, tapi juga masyarakat Papua dengan masyarakat dari wilayah Indonesia lainnya.

Meskipun masih belum maksimal, usaha untuk membangun dan menyelesiakan konflik Papua terus dilakukan oleh pemerintah. Selama lima tahun ke belakang, pembangunan Papua menjadi salah satu prioritas utama pemerintah.

Tidak hanya dalam hal infrastruktur, pemerintah setidaknya sudah memiliki niatan baik dengan menjadikan Papua untuk pertama kalinya sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) dan Hari Pers Nasional 2020.

Di satu sisi ramainya pembicaraan dan pemberitaan mengenai kerusuhan di Papua bisa jadi memiliki dampak positif. Masyarakat Indonesia kini menjadi lebih sadar bahwa ada permasalahan yang menimpa saudara-saudaranya di Papua.

Kerusuhan tersebut juga membuka fakta bahwa ketidakadilan yang selama ini dialami oleh masyarakat Papua juga bersumber dari sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan tindakan diskriminatif berbau rasisme dan masih kuatnya stigma terhadap masyarakat Papua.

Pemerintah dan tokoh politik yang selama ini sibuk dengan hal-hal politik seperti bursa menteri dan amandemen UUD 1945 pun diingatkan kembali dengan adanya kerusuhan ini.

Yang jelas, Jokowi yang dikabarkan akan berkunjung ke Papua untuk membuka dialog dan menerima aspirasi dari masyarakat, memang sudah selayaknya menekankan pentingnya pendekatan berbasis sosial dan budaya.

Pasalnya, persoalan stigma adalah rahasia umum yang terjadi di antara banyak suku di Indonesia, entah Jawa, Tionghoa, Sunda, Batak, Dayak, maupun Papua. Tanpa adanya kesadaran menerima semua orang sebagai sesama saudara sebangsa dan setanah air, persoalan ini tak akan pernah selesai. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version