“There ain’t no such thing as a free lunch“
Pinterpolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]encana alam, di mana pun terjadi, pasti menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Alam memiliki mekanisme sendiri untuk melakukan keseimbangan.
Hal itu juga berlaku di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Gempa berkekuatan magnitudo 7,7 skala richter diikuti dengan tsunami telah meluluhlantakkan kota teluk tersebut.
Kerugian baik materil maupun non materil masih terus dihitung. Korban tewas kini sudah mencapai 1.234 orang, dan masih akan bertambah mengingat banyak korban yang belum ditemukan. Pemerintah pusat segera turun tangan untuk membantu pemerintah daerah di Palu dan Donggala guna menangani korban terdampak bencana. Hal itu diperlukan mengingat, bencana tersebut menyebabkan kehancuran infrastruktur secara signifikan. Namun, kerusakan infrastruktur menghambat proses distribusi bantuan.
Bantuan dari negara asing kerap kali memiliki buntut panjang yang tidak sedikit nilainya. Share on XLindu dan tsunami yang terjadi saat ini pun mendapatkan sorotan dunia. Beberapa negara turut mengucapkan belasungkawa serta menawarkan bantuan. Dalam sebuah pergaulan internasional, sudah sewajarnya jika interaksi antarnegara terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk menawarkan bantuan ketika salah satu negara mengalami bencana alam.
Jokowi sebagai kepala negara memberikan lampu hijau untuk menerima bantuan luar negeri tersebut. Sikap ini berbeda ketika terjadi gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Padahal dampak yang ditimbulkan juga sama besar dan memakan biaya yang tidak sedikit. Lantas kenapa pemerintah saat ini membuka diri kepada bantuan internasional? Apa motif sebuah negara memberikan bantuan luar negeri kepada suatu negara?
Bantuan Asing di Palu
Dampak dari gempa dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala mendorong pihak negara-negara lain untuk menawarkan bantuan. Aliran bantuan asing dibuka setelah Jokowi menugaskan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong untuk mengorganisirnya. Meski begitu, pemerintah Indonesia masih bertahan untuk tidak mengubah status gempa dan tsunami Palu menjadi bencana nasional.
Salah satu hal yang menarik untuk dicermati adalah kenapa pemerintah kini bersedia membuka keran bantuan asing, sementara hal tesebut tidak berlaku pada gempa di Lombok? Jika mengacu pada pernyataan pemerintah, hal ini terjadi karena gempa Palu lebih besar, serta diikuti dengan tsunami. Kondisi itu juga mengakibatkan kerugian dan kerusakan serta jumlah korban yang lebih besar.
Kemudian dilihat dari kemampuan menangani bencana, pemerintah nampak kewalahan apalagi sebelumnya konsentrasi penanggulangan bencana di Lombok juga menyita sumber daya yang ada.
Yang menarik adalah meskipun menerima bantuan asing untuk bencana Palu, namun pemerintah enggan menetapkannya sebagai bencana nasional. Pasalnya, jika pemerintah menetapkannya sebagai bencana nasional, maka akan ada konsekuensi yang harus dihadapi.
Salah satunya adalah kemungkinan adanya travel warning dari negara luar terhadap warga negaranya. Hal itu juga yang disebut-sebut menjadi alasan prioritas pemerintah ketika terjadi bencana di Lombok.
Pemerintah khawatir jika adanya status bencana nasional maka akan ada larangan dari negara lain untuk kunjungan wisata, sehingga akan mempengaruhi sektor pariwisata Indonesia. Meskipun begitu, banyak pihak yang menyatakan bahwa argumen pemerintah ini lemah karena bagaimanapun tidak bisa mengukur bencana alam yang hebat dengan kunjungan turis pada sektor pariwisata.
Sementara itu, dalam konteks bencana di Palu, sebenarnya wilayah ini juga sedang didorong dalam sektor pariwisata, meskipun tidak setenar Lombok. Pada titik ini, asumsi adanya penurunan kunjungan wisatawan mancanegara nampaknya cukup lemah.
Kemungkinan yang lain adalah jika diberlakukannya status bencana nasional, maka hal itu juga berkaitan dengan alokasi anggaran untuk perbaikan yang tentu saja akan lebih besar. Pemerintah disinyalir sedang tidak siap untuk mengalokasikan dana yang sangat besar, apalagi mengingat saat ini kondisi ekonomi Indonesia juga sedang terpuruk. Alasan alokasi anggaran ini nampaknya menjadi yang paling relevan terkait dengan penetapan status bencana nasional di kedua wilayah tersebut.
Kemudian, dengan penetapan bencanan nasional, Indoensia akan menanggung konsekuensi yakni masuknya bantuan internasional dari negara lain untuk membantu penanganan kemanusiaan sebagai ekses dari Konvensi Geneva.
Sehingga dari bantuan internasional itu akan menimbulkan permasalah baru dalam bidang keamanan dan pertahanan serta kedaulatan negara. Hal ini mengingatkan kembali pada tragedi bencana di Aceh tahun 2004 silam. Ketika itu bantuan asing mengalir ke Indonesia, namun justru menimbulkan banyak permasalahan.
Lalu, apakah bantuan-bantuan tersebut adalah “free lunch” alias cuma-cuma? John Degnbol-Martinussen dan Poul Engberg-Pedersen dalam bukunya yang berjudul Aid: Understanding International Development Cooperation menyebutkan bahwa selalu ada motif dan kepentingan negara dalam memberi bantuan.
Menurut keduanya, ketika sebuah negara memberi bantuan internasional, maka tidak akan lepas dari kepentingan-kepentingan yang mendasari, katakanlah dalam konteks national interest atau kepentingan nasionalnya. Negara meskipun bersimpati terhadap bencana alam di negara lain, namun kemungkinan besar akan melihat hal tersebut sebagai opportunity atau peluang untuk mendapatkan keuntungan dari kondisi negara tersebut.
Meskipun demikian, konteks yang terjadi di Palu ini bisa dilihat dari dua sisi. Yang pertama adalah terkait kemampuan negara untuk menangani bencana itu sendiri. Seperti yang diketahui bahwa pemerintah menghabiskan cukup banyak dana dalam penanggulangan bencana Lombok. Untuk bencana Palu, pemerintah mengaku menyediakan dana siap pakai Rp 560 miliar, jumlah yang relatif lebih sedikit ketimbang penanggulangan bencana di Lombok (sekitar Rp 700 miliar).
Kemudian yang kedua, dibukanya bantuan asing kemungkinan karenanya adanya permainan politik dari negara-negara tersebut seperti yang disebut oleh Martinussen dan Pedersen sebelumnya, bahwa ada perkelindanan antara dua aktor yang saling diuntungkan. Dalam hal ini Indonesia diuntungkan dengan pemberian bantuan, dan di sisi lain negara-negara pendonor akan mendapatkan keuntungan tertentu.
Keuntungan: Preeminent Power dan Cegah Terorisme?
Dunia internasional bisa dikatakan sebagai pertarungan perebutan kekuasaan dan juga pengaruh. Hal itu tak menyebabkan negara-negara berlomba untuk meningkatkan kapabilitas power-nya dengan cara membangun kerjasama secara bilateral maupun multilateral. Selain itu, mereka juga memiliki peran untuk memastikan stabilitas dunia untuk mencapai kepentingan ekonomi politiknya.
Hal ini juga berlaku untuk Indonesia. Negara-negara asing yang didominasi oleh negara maju ini melihat pentingnya upaya penciptaan perdamaian dan stabilitas keamanan serta politik Indonesia, mengingat stabilitas dan perdamaian Indonesia memegang peranan kunci dalam memastikan stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara.
Oleh karenanya, negara pendonor memberikan bantuan untuk mewujudkan upaya penciptaan perdamaian dan stabilitas sebagai salah satu sektor penting yang mendapatkan perhatian khusus dari negara pendonor. Motifnya bisa untuk keamanan hubungan ekonomi atau yang lainnya.
Jika dikaitkan dengan konteks pemberian bantuan kemanusiaan untuk gempa dan tsunami yang melanda Palu dan Donggala, pemberian bantuan tersebut bisa menjadi prestige di mana adanya apresiasi positif dari masyarakat politik juga diperhitungkan sebagai pencapaian politik dan diplomatik di level internasional.
Selain itu, pemberian bantuan luar negeri bisa dilihat sebagai political capital yang berharga dan bermanfaat untuk tujuan diplomatik di masa mendatang. Hal ini sama seperti yang terjadi pada kondisi bencana di Aceh tahun 2004. Ketika itu banyak negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang memberikan bantuan dengan maksud tertentu.
AS jelas ingin mengamankan posisi politiknya di Indonesia – terbukti dengan aliansi yang lebih dekat dengan pemerintahan yang berkuasa 10 tahun setelah tsunami tersebut – sementara Jepang tentu saja punya hubungan ekonomi yang harus dijaga.
Jika mengacu pada konsep national security yang diajukan oleh Degnbol-Martinussen dan Engberg-Pedersen menunjukkan bahwa pertimbangan politik dan strategis negara pendonor turut memotivasi pemberian bantuan kemanusiaan dalam konteks bencana gempa dan tsunami yang melanda Palu dan Donggala. Pertimbangan politik strategis yang terwujud menjadi preeminent power atau kekuatan unjuk gigi di dunia internasional.
Selain itu, dilihat dari motif politiknya, pemberian bantuan luar negeri ini sangat mungkin berguna untuk memantau aktivitas keamanan dari kelompok teroris di kawasan Palu dan sekitarnya.
Central Sulawesi on the way back to #terrorism? Poso Police Station Target of Suicide Bomb Attack – The Jakarta Globe http://t.co/eMlSt9gobv
— peter van tuijl (@PvanTuijl) June 3, 2013
Seperti yang diketahui, Sulawesi Tengah adalah wilayah yang cukup rawan dari kegiatan ekstremisme. Secara geografis Sulawesi Tengah menguntungkan kegiatan mereka, selain fakta wilayah tersebut dekat dengan Mindanao, Filipina Selatan yang dikenal sebagai basis kelompok teroris Abu Sayyaf. Kelompok ini menguasai perariran Sulawesi, yang menjadi jalur cukup strategis bagi distribusi minyak dan lainnya.
Ini juga menunjukkan adanya pergeseran paradigma keamanan di wilayah lautan Asia Tenggara. Jika sebelumnya selat malaka menjadi konsentrasi penuh dari negara-negara besar sebagai jalur distribusi minyak dan karena wilayah tersebut rawan aksi perompakan, sekarang ada sebuah pandangan baru untuk melihat wilayah lautan Sulawesi dan lautan Sulu sebagai center of security.
Hal ini terjadi karena meningkatnya gejolak keamanan di wilayah tersebut sebagai akibat aktivitas terorisme kelompok Abu Sayyaf. Lautan ini adalah wilayah strategis yang menghubungkan tiga negara – Indonesia, Filipina dan Malaysia – di mana beberapa tahun belakangan ini menjadi konsentrasi bersama.
Banyak pihak yang menyebut bahwa pergeseran terorisme dari Timur Tengah yang dikuasai oleh ISIS juga kemungkinan akan bergerak melalui wilayah Filipina Selatan dan Sulawesi. Apalagi kelompok Abu Sayyaf menyatakan berbaiat kepada ISIS.
Selain itu, jika berbicara mengenai gerakan terorisme maka tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kelompok Santoso yang bergerak di wilayah Poso, Sulawesi Tengah. Maka besar kemungkinan adanya keterlibatan asing dalam konteks bencana di Palu, Sulawesi Tengah sebagai pintu masuk negara-negara asing memonitoring wilayah ini. Konteks ini juga diperkuat karena fakta Aceh pada tahun 2004 juga masih kuat dengan keberadaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sementara gerakan semacam ini tidak ada di Lombok.
Pada akhirnya, there’s no free lunch dalam hubungan internasional. Dalam konteks bantuan asing pun demikian. Apalagi, saat ini Indonesia tengah ada dalam situasi panas jelang Pemilu 2019 yang – suka atau tidak suka harus diakui – sering kali melibatkan kekuatan asing.
Lantas, seperti apa dampak riil dari bantuan-bantuan asing ini nantinya? Menarik untuk ditunggu. (A37)