Perppu Ormas memberikan kewenangan kepada Mendagri dan Menkumham untuk menindak ormas bermasalah. Bukan kebetulan, dua pos kementerian tersebut diduduki politisi PDIP.
PinterPolitik.com
“Politics is like football; if you see daylight, go through the hole” – John F. Kennedy (1917-1963)
[dropcap size=big]G[/dropcap]onjang-ganjing di seputaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sepertinya masih akan terus berlangsung. Pemerintah memang telah mensahkan Perppu Ormas tersebut dan mulai menertibkan ormas yang dianggap bertentangan dengan dasar negara Indonesia dan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kritik yang umumnya muncul adalah terkait perlu atau tidaknya pemerintah menerbitkan Perppu tersebut mengingat sudah ada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang memuat ketentuan terkait penertiban ormas. Namun, sepertinya pemerintah punya pandangan lain terkait hal tersebut. Pemberlakuan Perppu tersebut menandai secara resmi aktivitas pemerintah menertibkan dan menindak ormas-ormas yang anti Pancasila, salah satunya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga secara resmi telah mencabut status badan hukum HTI.
(14) Perppu Ormas tsbt mengubah tatanan hukum, terutama terkait hak berserikat dan berkumpul yg sebenarnya dijamin oleh konstitusi
— Fadli Zon (@fadlizon) July 22, 2017
Pasca pembekuan status hukum HTI yang dilakukan oleh Kemenkumham, pertanyaan lain muncul terkait sikap pemerintah yang tidak terlalu mempedulikan pandangan DPR – khususnya dari partai-partai oposisi – yang masih mempertanyakan kebijakan tersebut. Hal yang berbeda justru terlihat ketika pemerintah ingin memberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan. Walaupun lebih dahulu disahkan oleh pemerintah pada 8 Mei 2017, pelaksanaan aturan yang memungkinkan petugas pajak mengintip rekening nasabah bank ini hingga saat ini masih menjadi tarik ulur antara DPR dan pemerintah. Tentu pertanyaannya adalah mengapa Perppu Ormas begitu dikebut, sementara Perppu Akses Informasi Keuangan hingga kini masih dalam pembahasan?
Skenario di Balik Perppu Ormas?
Jika politik dianalogikan sebagai sebuah pementasan drama – konsep yang sering digunakan oleh sosiolog Kanada, Erving Goffman – maka demikian halnya dalam persoalan Perppu Ormas. Pada dasarnya, pembuatan Perppu merupakan bagian dari kewenangan eksekutif, dalam hal ini Presiden. Kewenangan tersebut diatur dalam 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Penetapan Perppu juga terkait dengan pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Aturan Perundang-Undangan. Namun, kedua aturan hukum tersebut mensyaratkan adanya keadaan ‘genting’ yang mendesak pemerintah agar mau tidak mau harus mengeluarkan aturan tertentu. Kata ‘genting’ ini seringkali menyebabkan Perppu sarat subjektivitas Presiden. Lalu, apakah saat ini sedang genting? Agak sulit menjawab hal tersebut.
Ada beberapa kemungkinan mengapa Perppu tentang Akses Informasi Keuangan masih belum disepakati dan terus dibahas, sementara Perppu tentang Ormas begitu saja dilaksanakan. Pertimbangannya boleh jadi karena persoalan tentang akses informasi keuangan butuh pembahasan lebih jauh dengan DPR karena harus disahkan menjadi sebuah Undang-Undang. Hal ini juga berkaitan dengan perjanjian internasional terkait pertukaran informasi keuangan (automatic exchange of financial account information) yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia.
Namun, ada skenario lain, khususnya terkait proyeksi Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019. Kubu partai pemerintah (PDIP) dan partai-partai pendukungnya tidak ingin kejadian pada Pilkada DKI Jakarta beberapa bulan lalu kembali terulang. Bukan rahasia lagi pada Pilkada DKI Jakarta beberapa bulan lalu, gerakan ormas Islam, khususnya dari kubu fundamentalis, berhasil menekan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan menyebabkannya kalah dalam kontestasi politik tersebut. Dalam dimensi yang lain, pertarungan pada Pilkada DKI Jakarta merupakan pertarungan antara kubu nasionalis-moderat Islam melawan kelompok Islam fundamentalis. Ormas seperti HTI merupakan salah satu yang ikut serta dalam gaung perlawanan terhadap Ahok. Peran ormas-ormas Islam memang sangat terasa dalam gelaran politik tersebut.
Faktanya, peluang terulangnya strategi politik yang sama dengan menggunakan ormas Islam fundamentalis kemungkinan besar akan terjadi lagi, apalagi menjelang Pemilihan Presiden di 2019. Saat ini, Jokowi adalah tokoh politik terkuat – hal yang sama pernah dialami Ahok dengan menjadi tokoh terkuat sebelum Pilkada Jakarta. Namun, jika tekanan dari ormas Islam terus terjadi, elektabilitas Jokowi akan terus tergerus, sama seperti Ahok yang tergerus oleh isu agama. Saat ini isu komunis dipakai untuk menyerang Jokowi.
Oleh karena itu, Jokowi dan partai-partai nasionalis pendukungnya mencoba untuk memotong sedini mungkin peluang hal yang sama terulang kembali. Salah satu caranya adalah dengan mengesahkan Perppu Ormas yang menyebabkan ‘pemerintah’ memiliki kewenangan untuk menertibkan ormas-ormas tersebut. ‘Pemerintah’ – dengan tanda petik – pada titik ini bisa diasosiasikan dengan PDIP yang merupakan partai yang mengusung Jokowi pada Pilpres 2014 lalu. Hal ini juga kuat terlihat jika menelusuri isi Perppu ormas yang memberikan kewenangan pada dua kementerian untuk menindak ormas radikal, yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kemenkumham. Bukan kebetulan saat ini dua pos menteri tersebut dijabat oleh orang-orang dari PDIP.
PDIP yang mengusung Ahok pada Pilkada DKI Jakarta jelas-jelas kalah telak melawan kelompok agamis yang menggunakan payung Islam fundamentalis. Oleh karena itu, PDIP memanfaatkan posisi sebagai partai utama pemerintah saat ini untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali. Perppu Ormas yang memberikan kewenangan pada Mendagri dan Menkumham jelas sama artinya dengan memberikan kuasa pada PDIP untuk menyingkirkan lawan-lawan politik yang berupaya menjegal Jokowi jika ia maju lagi pada Pilpres 2019.
Nasionalis vs Agamis di 2019?
Persaingan politik antara kelompok nasionalis dan agamis merupakan warna politik yang sudah cukup lama terjadi di negara ini. Perseteruan politik itu kembali menguat sejak Pilkada DKI Jakarta beberapa bulan lalu. Pertarungan politik pada Pilkada Jakarta dimenangkan oleh kaum agamis. Jika menilik posisi Jakarta yang sangat strategis dalam peta politik nasional, maka kaum nasionalis harus mengambil strategi yang tepat untuk membendung terulangnya hal yang sama dalam skala yang lebih besar. Perppu Ormas adalah salah satu strategi yang bisa dimainkan oleh kubu nasionalis untuk membendung gerakan kaum agamis.
Masih terlalu dini untuk memberikan gambaran peta politik di 2019. Namun, jika melihat kondisi di parlemen dan kubu-kubuan dalam beberapa isu terakhir termasuk Perppu Ormas, Undang-Undang Pemilu dan Perppu Akses Informasi Keuangan, maka kemungkinan terbesar akan ada pertarungan kaum nasionalis melawan kaum agamis pada Pilpres 2019 nanti. Perppu ormas memberikan gambaran paling nyata terkait hal tersebut. Saat ini, kubu nasionalis punya hubungan yang dekat dengan partai-partai Islam moderat (PKB dan PPP, sementara PAN masih bermain ‘dua kaki’) dan koalisi ini pun dipercaya akan kembali terjadi pada tahun 2019 nanti. Dalam konteks ekonomi-politik domestik, baik Perppu Ormas maupun Perppu Akses Informasi Keuangan merupakan bagian dari bingkai besar politik bukan hanya hari ini, tetapi dalam dua atau tiga tahun mendatang. Apalagi, DPR baru saja menyepakati UU Pemilu yang memuat aturan ambang batas (presidential threshold) 20 persen.
Urgensi pemerintah menerbitkan Perppu Ormas seolah sarat perhitungan waktu pemberlakuan Perppu yang hanya bisa berlaku selama satu tahun jika tidak disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang. Pemerintah – kubu PDIP, nasionalis – punya waktu satu tahun untuk memaksimalkan pelaksanaan Perppu tersebut sebelum tahapan pemilu dimulai pada Oktober 2018. Artinya selama satu tahun ini ormas-ormas radikal akan disingkirkan atau dibubarkan.
Peran PDIP di balik Perppu ormas ini memang menjadi serangan balik atas kekalahan pada Pilkada DKI Jakarta. Hitung-hitungan politik saat ini memang membuat PDIP jauh lebih unggul mengingat partai ‘banteng moncong putih’ ini menguasai pemerintahan. Tanpa ada serangan berarti – misalnya dengan membuka luka lama, sebut saja semisal kasus BLBI – tidak akan ada tantangan berarti untuk PDIP. Tentu pertanyaannya adalah apakah strategi ini akan berjalan mulus? Menarik untuk ditunggu. (S13)