Site icon PinterPolitik.com

Banser dan Paradoks Politik Identitas

Foto : Istimewa

Pembakaran bendera yang disinyalir milik HTI oleh Banser menimbulkan kontroversi


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ada Senin 22 Oktober lalu, oknum Barisan Ansor Serbaguna atau yang lebih dikenal dengan Banser diduga melakukan pembakaran bendera yang berlafal kalimat tauhid di Garut.

Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas memberikan penjelasan bahwa motif pembakaran tersebut karena bendera dengan karakteristik demikian lekat dengan bendera Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI. Peristiwa pembakaran tersebut juga diklaim sebagai respon akibat munculnya bendera HTI dalam acara hari santri di berbagai daerah.

Guna menanggapi peristiwa tersebut, pemerintah merespon dengan langsung menggelar rapat kooordinasi yang melibatkan Kapolri, Jaksa Agung, Kemendagri, Kemenkum HAM, MUI, dan perwakilan PBNU.

Beberapa organisasi yang terkait dan berkepentingan seperti PBNU dan MUI, pada akhirnya menyebut bahwa persoalan ini tidak perlu di besar-besarkan dan di permasalahakan.

Lalu benarkah tidak ada dampak berkelanjutan dari peristiwa pembakaran ini? Dan mungkinkah tindakan oknum Banser tersebut berpotensi menyulut kembali genderang politik identitas ?

Banser dan Lingkaran Kekuasaan

Barisan Ansor Serbaguna atau Banser adalah salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) dari GP Ansor. Banser merupakan tenaga inti GP Ansor sebagai penggerak, pengemban, dan pengaman program-program sosial kemasyarakatan yang keanggotaannya memiliki kualifikasi disiplin dan dedikasi tinggi.

Secara administratif, organisasi ini memiliki pola hubungan instruktif, koordinatif dan konsultatif baik secara vertikal maupun horisontal di seluruh satuan koordinasi melalui pimpinan GP Ansor.

Tugas dan kegiatan utama Banser meliputi kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan untuk pembangunan, pengamanan lingkungan, dan salah satu yang menarik adalah menjalankan fungsi bela negara.

Menurut data historis, Banser dibentuk pada tahun 1962 dengan tujuan untuk memberikan pengamanan terhadap kegiatan-kegiatan NU dan perlindungan fisik kepada para pendukungnya.

Keterlibatan Banser pada peristiwa 1965 membuat mereka dapat dikategorikan sebagai kelompok paramiliter. Pasca peristiwa tersebut, Banser menjadi salah satu kelompok paramiliter yang masih memiliki peran yang cukup signifikan dalam sistem sosial politik Indonesia bahkan hingga saat ini.

Sebagai kelompok paramiliter, Banser saat ini bisa saja dekat dengan kekuasaan karena posisinya sebagai badan semi otonom NU. Hal ini terkait dengan dukungan pengurus PBNU seperti ketua umum mereka, Said Aqil Siradj kepada pemerintahan Jokowi. Apalagi, Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas menjadi caleg PKB, salah satu partai pendukung Jokowi. Lalu mungkinkah Banser masih menjadi bagian dari kepentingan rezim yang berkuasa?

Hipotesis tersebut bisa saja relevan jika merujuk pada argumentasi Jasmin Hristov dalam bukunya yang berjudul Blood and Capital: The Paramilitarization of Colombia. Ia menjelaskan bahwa istilah “para” dari kata paramiliter adalah merujuk pada keterlibatan peran negara dalam upaya membentuk sebuah kelompok yang bergerak secara diam-diam dan memiliki kapasitas memaksa dan menindas.

Menariknya, peran negara tersebut dilakukan secara tertutup atau disebut sebagai invisible hand of the state.

Hal tersebut sejalan dengan argumentasi John W. Green dalam bukunya yang berjudul A History of Political Murder in Latin America: Killing the Messengers of Change yang menjelaskan bahwa kelahiran paramiliter tidak terlepas dari kepentingan politik kaum elite penguasa yang merasa terganggu karena basis ekonomi-politiknya terusik.

Sehingga kelompok-kelompok paramiliter menjadi salah satu tameng yang pada saat tertentu akan berguna untuk kepentingan penguasa.

Dalam konteks pembakaran bendera HTI, benarkah tindakan Banser menunjukkan kembalinya supremasi paramiliter di tengah-tengah masyarakat kita? Lalu bagaimanakah nasib agenda penegakan toleransi yang selama ini lekat dengan cita-cita NU mewujudkan Islam Nusantara yang moderat, toleran, dan damai?

Paradoks Politik Identitas

Pasca pilkada DKI Jakarta 2017, narasi politik identitas menjadi begitu populer. Terlebih, politik identitas yang menggunakan narasi agama.

Buntut dari turbulensi politik yang terjadi akibat politik identitas di tahun 2017 adalah pembubaran kelompok-kelompok agama yang dianggap bertentangan dengan asas Pancasila. Dalam kadar tertentu, kelompok-kelompok tersebut kerap berseberangan dengan pemerintah sehingga pembubaran tersebut kerap dianggap mengandung unsur kepentingan rezim.

Salah satunya adalah upaya pemerintah untuk membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI pada 2017 dengan alasan sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif dalam proses pembangunan nasional serta menganggap kegiatan yang dilaksanakan organisasi ini bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri Pancasila dan Undang-Undang Dasar.

Dan kini, bola panas politik identitas justru digulirkan oleh Banser sebagai paramiliter yang dianggap representasi kekuasaan pemerintah dengan insiden pembakaran bendera tauhid tersebut.

Mungkinkah Banser kembali menunjukan vigilantisme nya terhadap kelompok minoritas yang jelas-jelas sudah tidak mempunyai kekuatan hukum melalui tindakan pembakaran lambang bendera HTI?

Jika selama ini pemerintah bersama NU mengampanyekan apa yang disebut sebagai islam nusantara yang berkarakter moderat dan toleran, maka kini hipokrit politik identitas justru muncul dari tindakan pembakaran bendera oleh oknum Banser.

Peristiwa tersebut kemudian direspons oleh mantan Juru Bicara HTI Ismail Yusanto sebagai wujud tindakan kebencian yang tidak normal. Ia beranggapan, kalaupun benar itu bendera HTI, tidak seharusnya Banser melakukan pembakaran.

Atas insiden tersebut, pemerintah pun langsung mengambil respon dengan menggelar rapat koordinasi yang menghasilkan beberapa kesimpulan. Melalui Menko Polhukam, pemerintah menganggap bahwa peristiwa pembakaran tersebut akibat adanya penggunaan kalimat tauhid oleh HTI sebagai ormas yang dilarang keberadaannya yang muncul dalam acara hari santri di berbagai daerah.

Pemerintah juga melakukan pembelaan bahwa apa yang dilakukan Banser adalah ekspresi  semata-mata ingin menyelamatkan kalimat tauhid yang dimanfaatkan oleh organisasi terlarang HTI yang keberadaannya memang telah dilarang oleh pengadilan.

Melihat sikap pemerintah, bisa jadi pemerintah terkesan melakukan pembelaan dan memberikan legitimasi terhadap apa yang dilakukan Banser. Dengan kembali menarasikan bahwa HTI adalah organisasi terlarang, sehingga melakukan tindakan pembakaran simbol organisasi tersebut dianggap sah.

Namun pembelaan pemerintah tersebut pada akhirnya bertolak belakang dengan asas demokrasi yang selama ini menjadi salah satu nilai kebangsaan Indonesia. Menurut  Sidney Jones dalam buku yang berjudul Sisi Gelap Demokrasi, salah satu keindahan dari demokrasi adalah bahwa ada ruang untuk kelompok yang kita tidak setujui, bahkan kelompok-kelompok yang kita anggap menghina.

Salah satu keindahan dari demokrasi adalah bahwa ada ruang untuk kelompok yang kita tidak setujui, bahkan kelompok-kelompok yang kita anggap menghina - Sidney Jones Share on X

Dengan melihat tindakan pemerintah yang melakukan kontrol terhadap organisasi yang memiliki pandangan kontra nasionalisme serta pembenaran atas tindakan paramiliter layaknya Banser, diskursus demokrasi patut untuk di pertanyakan kembali.

Pada titik tersebut, Banser pun pada akhirnya menemui paradoks politik identitas. Secara garis besar, menurut Jonathan Matthew Smucker, seorang ahli organisasi dan strategi politik dari University California Berkeley, identitas kelompok yang kuat adalah pedang bermata dua. Semakin kuat identitas dan kohesi sebuah kelompok, maka semakin besar kemungkinan orang untuk menjadi terasing dari kelompok tersebut dan inilah yang disebut paradoks identitas politik.

Paradoks identitas politik menunjukkan bahwa pada saat kelompok-kelompok politik membangun identitas internal yang kuat dalam menumbuhkan komitmen perjuangan politik yang efektif, kondisi tersebut pada akhirnya cenderung mengeksklusi kelompok tersebut dari masyarakat luas.

Dalam konteks Banser, ada pola eksklusivisme yang akhirnya membentuk narasi kekitaan yang terbentuk berdasarkan dikotomi kelompok NU dan non-NU yang pada akhirnya mengalienasi kelompok-kelompok yang hidup diluar lingkaran kelompok mereka.

Dengan eksklusivisme tersebut, pada akhirnya segala tindakan, meskipun itu berpotensi menyakiti kelompok minoritas, menjadi sah dan legal, terlebih jika kelompok tersebut didukung oleh legitimasi pemerintah.

Bahkan, apa yang dilakukan Banser pada akhirnya juga mengarah pada upaya vigilantisme yang memunculkan narasi musuh bersama, dalam konteks ini HTI, sebagai kelompok yang secara halal boleh untuk dihina dan dipersekusi. Secara tidak langsung, insiden ini bahkan berpotensi kembali menguatkan sentimen politik identitas di Indonesia menjelang Pilpres 2019.

Padahal, selama ini predikat vigilantisme begitu lekat dengan sosok FPI yang digambarkan oleh banyak pihak sebagai organisasi premanisme islam yang terlibat pada agenda-agenda intoleransi dalam politik Indonesia.

Lalu apa bedanya Banser dengan FPI jika ia menggunakan legitimasi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi menyakiti kelompok minoritas dan bahkan berpotensi menyulut bara api politik identitas di negeri ini? Idealnya, tentu, siapapun tidak ingin bara api itu menyala kembali. (M39)

Exit mobile version