Kerugian timbul akibat banjir yang kerap dirasakan oleh banyak orang. Namun, di sisi lain, banyak pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah justru memperburuk situasi banjir di Jakarta dan sekitarnya.
PinterPolitik.com
Banjir pada tahun 2020 kali ini sepertinya membuat masyarakat mengalami semacam gangguan psikologis. Hal ini disebabkan dari curah hujan yang cukup tinggi sehingga menyebabkan banjir yang cukup signifikan.
Pada awal Januari 2020 lalu, curah hujan merupakan curah hujan tertinggi semenjak 154 tahun yang lalu yakni mencapai 377 milimeter (mm) per hari. Sementara, hujan yang sebabkan banjir pada tanggal 25 Februari 2020 kemarin mencapai 278 mm/hari.
Gangguan psikologis disebabkan kegagalan pemerintah dalam menanggulangi banjir. Proyek normalisasi atau naturalisasi sungai yang digadang-gadang akan mengatasi banjir nyatanya berhenti sejak tahun 2017.
Padahal, rencana naturalisasi atau normalisasi sungai sudah ada semenjak Joko Widodo (Jokowi) menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bagai nasi menjadi bubur, masyarakat agaknya sudah merasa was-was jika hujan kembali mengguyur.
Dengan kata lain, bisa jadi masyarakat sudah mengalami ‘depresi’. Pemerintah yang seharusnya menajdi obat pereda pusing untuk masyarakat yang kerap merasakan pusing menghadapi banjir rupanya justru menambahkan pusing tersebut kepada masyarakat.
Dari sisi nominal angka kerugian, tahun 2020 ini dinyatakan menyebabkan kerugian lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yakni sekitar Rp 960 miliar Namun, pengurangan angka kerugian bukan berarti pemerintah berhasil menanggulangi banjir.
Ribut nih di JGC Aeon Mall Cakung.. infonya sih begini 👉Danau JGC meluap harusnya perumahan JGC banjir tapi dibuka pintu airnya ke arah komplek warga dibelakangnya pic.twitter.com/IIssHrvxkb
Mungkin, benar angka kerugian akibat banjir menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, yang menjadi menarik pada banjir tahun 2020 ini adalah curah air hujan yang cukup tinggi membuat masyarakat menjadi lebih was-was menghadapi banjir itu sendiri.
Faktor lainnya yang membuat masyarakat menjadi was-was terhadap banjir adalah bagaimana jatuhnya korban jiwa akibat banjir yang diperlihatkan pada akhir tahun. Korban jiwa yang diakibatkan banjir mencapai dan 2 orang hilang. Pada kasus banjir 25 Februari Januari lalu, sebanyak 5 orang tewas dan 3 orang belum ditemukan.
Banjir ini juga disambut dengan konflik antara masyarakat Cakung dengan JGC (Jakarta Garden City) Aeon pada banjir yang keempat dalam tahun ini. Bahkan, warga wilayah tersebut kerap merasa cemas bila hujan deras mengguyur.
Bercermin dari kekhawatiran warga ini, bencana banjir yang kerap melanda ini akhirnya turut mendapat perhatian dari sisi psikolog. Muhammad Iqbal psikolog dari Universitas Mercu Buana mengatakan bahwa korban banjir di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang rentan terkena gangguan psikologis.
Gangguan psikologis ini menurutnya bisa berupa gangguan emosional, gangguan kecemasan serta gangguan pikiran. Gangguan-gangguan tersebut jika tidak ditangani dengan benar, akan membuat korban mengalami post traumatic syndrome (PTSD).
Dari adanya dampak psikologis banjir ini, bagaimana hubungan bencana dapat memengaruhi sisi psikisi dan emosi warga? Lantas, apakah pemerintah serius tangani persoalan itu?
Mengenal Solastalgia
Telah disebutkan sebelumnya bahwa bencana alam mampu menyebabkan gangguan psikologis pada korban bencana. Hal ini bisa dilihat dari kasus demo antara warga Cakung dengan pihak JGC.
Masyarakat Cakung berdemo kepada Aeon JGC mengingat banjir menggenangi empat rumah susun (rusun) warga lantaran adanya dugaan penundaan pembangunan waduk oleh JGC. Kemarahan warga bisa jadi merupakan salah satu bagian dari sikap solastalgia.
Solastalgia merupakan kasus gangguan psikologis yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Biasanya, solastalgia dirasakan dengan gejala-gejala yang mirip seperti gejala gangguan psikologis lainnya, seperti depresi, trauma, kemarahan yang tidak tepat sasaran, bahkan bunuh diri.
Solastalgia pertama kali dipaparkan oleh Glenn Albrecht dalam tulisannya yang berjudul Solastalgia. Solastalgia secara etimologi berasal dari kata solace dan desolation – mempunyai artian rasa sakit yang disebabkan dari kehilangan akan sesuatu atau berkurangnya hiburan serta merasa asing dengan keadaan rumah atau wilayah yang ditempati manusia pada saat ini.
Berbeda dengan nostalgia, solastalgia merupakan rasa sakit yang dialami oleh manusia yang mana mereka mengakui bahwa tempat tinggal mereka sedang berada dalam kehancuran. Alih-alih dalam kehancuran, manusia mengalami pengikisan identitas terhadap suatu tempat serta memiliki perasaan tertekan mengenai transformasi.
Maka dari itu, solastalgia bukan sekedar melihat ke masa lalu, melainkan juga mencari suatu ‘tempat’ yang bisa dijadikan sebagai ‘rumah’. Lantas, hal tersebut merupakan suatu pengalaman nyata tiap manusia yang didasarkan dari suatu kehilangan sehingga menjadi manifestasi dalam perasaan diskolasi.
Mudahnya, solastalgia merupakan kerinduan manusia terhadap ‘rumah’ dalam rumah sendiri tetapi ‘rumah’ yang dirindukan sudah mengalami kehancuran.
Mudahnya, solastalgia merupakan kerinduan manusia terhadap ‘rumah’ dalam rumah sendiri tetapi ‘rumah’ yang dirindukan sudah mengalami kehancuran. Share on XKasus solastalgia merupakan kasus yang lumrah di berbagai wilayah, seperti kasus di Upper Hunter, New South Wales, Australia. Albrecht melakukan penelitian yang menjelaskan bahwa warga penduduk di sana mengalami tekanan pribadi mengenai kesehatan, kerusakan rumah, dan properti pertanian.
Tekanan pada warga tersebut disebabkan oleh adanya dua industri besar batu bara yang berkembang di sekitar sungai Upper Hunter. Para warga juga mengakui bahwa ada rasa kehilangan akibat perubahan ekosistem yang disebabkan oleh batu bara.
Perasaan tertekan yang dirasakan oleh warga Upper Hunter ini juga membuat masyarakat menjadi was-was dengan lingkungan sekitar. Lantas, bagaimana kaitannya bila kasus ini dibandingkan dengan dampak banjir di Jakarta dan sekitarnya?
Bila berkaca pada kasus solastalgia yang terjadi di Australia tersebut, kasus penyerangan JGC yang dilakukan oleh masyarakat bisa saja menjadi satu kasus awal yang merepresentasikan bagaimana masyarakat merasakan kehilangan dan kerinduan akan rumahnya sendiri.
Mungkin, masyarakat mampu bertindak menuntut haknya, yakni penyelesaian pembuatan waduk oleh pihak JGC. Namun, jauh melampaui hal tersebut, secara implisit terdapat kerinduan masyarakat mengenai rumahnya sebelum perumahan JGC dibangun dan didirikan.
Kasus demo masyarakat Cakung terhadap JGC merupakan salah satu kasus yang terjadi di Jakarta dan, jika banjir terjadi lagi, akan banyak kasus demo masyarakat serupa dapat terjadi – entah merujuk kepada investor tertentu atau merujuk kepada pemerintah.
Jika banjir yang terjadi bisa menimbulkan solastalgia, apakah pemerintah memiliki kebijakan yang serius dalam menanggapi persoalan ini?
Melirik Kebijakan Pemerintah
Kemarahan masyarakat tahun ini didasarkan kesadaran masyarakat bahwa memang adanya perubahan iklim yang bisa dirasakan oleh seluruh belahan dunia. Ditambah lagi, kerugian akibat perubahan iklim seperti banjir yang kerap dirasakan kerugiannya oleh banyak orang.
Namun, pemerintah bisa jadi dianggap kurang serius dalam mengatasi persoalan banjir. Walau persoalan banjir di Jabodetabek merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah pusat dan beberapa pemerintah daerah di sekitar Jakarta, koordinasi antarpemda dan pemerintah pusat masih belum berjalan dengan baik.
Thanti Octaviani dan Katrina Charles dari Oxford University dalam tulisan mereka yang berjudul The Evolution of Jakarta’s Flood Policy Over The Past 400 Years menjelaskan bahwa persoalan banjir merupakan persoalan yang kompleks dan multi-dimensi. Banyak pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah justru memperburuk situasi banjir di Jakarta dan sekitarnya.
Land transformation seperti pembangunan, pengembangan, dan modernisasi misalnya, dinilai telah mengubah kondisi lingkungan sehingga banjir semakin buruk. Hal ini menunjukkan pembangunan yang tidak berkelanjutan menjadi preferensi kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, hal yang menarik dilihat pula, terdapat wacana penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam rancangan undang-undang (RUU) omnibus law. Meski penghapusan ini bertujuan untuk memudahkan regulasi, lingkungan bisa saja menjadi pihak yang dirugikan.
Jika wacana tersebut tetap diteguhkan, lantas, fokus pembangunan pemerintah perlu dipertanyakan – antara kecepatan pembangunan saja atau ingin mengorbankan aspek keselamatan, lingkungan, hingga kesejahteraan masyarakat sekitar. Bisa jadi, dampak solastalgia pun dapat meluas.
Singkatnya, kepedulian pemerintah terhadap lingkungan perlu kita pantau lebih keras karena sekarang, rakyat adalah taruhannya dengan ancaman-ancaman yang dapat timbul dari bencana alam dan perubahan iklim. Mari kita tunggu langkah berikutnya. (S60)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.