Industri dirgantara terbesar saat ini masih dipegang oleh Airbus dan Boeing. Bukan berarti PTDI tidak bisa membuat pesawat sekelas Airbus dan Boeing. Kenyataannya hampir semua komponen pesawat keduanya tersebut dibuat oleh PTDI. Maka tidak ada alasan lagi untuk meragukan kualitas PTDI dalam membuat pesawat.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]W[/dropcap]alau telah lama menjadi mimpi dan guyonan, masa depan Dirgantara Indonesia merupakan industri perlahan tapi terus menunjukan eksistensinya. PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) menjadi satu-satunya perusahaan yang bertanggung jawab untuk membuat pesawat nasional Indonesia. PTDI ini membuat Indonesia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang memiliki industri pesawat terbang.
Industri yang dulu diperjuangkan oleh mantan Presiden BJ Habibie ini pada tahun 2016 lalu akhirnya mengeluarkan karya terbarunya yang diberi nama N-219.
Pesawat N-219 ini adalah pesawat yang penelitian hingga perakitannya 100 persen dilakukan oleh orang Indonesia, hasil dari kerja sama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Walaupun semua yang membangun pesawat ini adalah orang Indonesia, tetapi bahan materialnya didatangkan dari luar negeri.
“Sayapnya 100 persen dalam negeri dan diproduksi kalau jadi terbang di bulan April akhir atau awal Mei. Ini pertama kali. Diharapkan kebangkitan kedirgantaraan Indonesia,” jelas Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir.
Rencananya Pesawat N-219 akan segera melakukan uji terbang perdananya pada bulan Mei ini atau paling lambat pada awal April. PTDI akan melakukan uji terbang pesawat buatan Bandung ini hingga jam terbangnya mencapai 300 jam.
Setelah berhasil melalui uji terbang selama 300 jam, nantinya pesawat N-219 bisa mendapatkan sertifikat dari Kementerian Perhubungan agar bisa diproduksi massal. Untuk informasi dimana lokasi penerbangan perdananya, PTDI mengabarkan N-219 akan diuji di wilayah timur Indonesia, khususnya Papua. Jika berhasil terbang di sana, maka dipastikan pesawat perintis itu bisa menempuh semua jalur udara.
Pada saat ini Pesawat N-219 sedang memasuki tahap ground test. Ground test yang dilakukan meliputi tes bionik, elektronik, hidrolik, hingga mesin pesawat. Ground test sangat penting dilakukan untuk meminimalisir kekurangan dan memastikan pesawat N-219 benar-benar siap untuk diterbangkan perdana Mei ini. Penerbangan perdana itu rencananya dipimpin test pilot kawakan PTDI Ester Gayatri Saleh.
“Uji coba ground testing sudah dimulai untuk persiapan uji terbang Insya Allah bulan ini,” ujar Direktur Produksi PTDI, Arie Wibowo, Jakarta, Senin (8/5).
Untuk mengejar target penerbangan 300 jam, PTDI rencananya akan menyiapkan dua pesawat. Dengan adanya dua pesawat ini nantinya tugas penerbangan akan dibagi sama rata, yaitu masing-masing pesawat akan terbang selama 175 jam. Pada saat uji coba penerbangan perdana ini juga pesawat hanya akan ditumpangi pilot dan ko-pilot saja.
Menurut Kepala Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) Lapan, Gunawan Setyo Prabowo, ia mengatakan kolaborasi antara PTDI dan Lapan ini sudah berjalan dengan cukup baik. Nanti juga akan dilakukan pencatatan-pencatatan terkait kondisi pesawat selama proses uji coba penerbangan N-219.
Gunawan berharap terbang perdana untuk mendapatkan sertifikasi kelayakan terbang pesawat ini berjalan dengan lancar. Karena kalau sudah mendapatkan sertifikat dari Kementerian Perhubungan, maka pesawat N-219 ini sudah bisa diproduksi massal.
PTDI memang sudah tidak sabar untuk memproduksi massal N-219, karena pesawat ini dikabarkan sudah memiliki banyak peminat, baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri.
Bagaimana spesifikasi pesawat ini? Mari kita bahas lebih dalam.
Menguak Pesawat N-219
Dirgantara Indonesia sebelumnya sempat berbangga hati karena pesawat N219 kebanjiran peminat. Direktur Utama Dirgantara Indonesia, Budi Santoso mengklaim telah menerima 200 letters of intent.Namun Budi mengatakan belum ada satu pun penawaran yang dibuatkan kontrak jual beli.
“Yang pesan banyak sebetulnya, tapi saya belum tanda tangan kontak. Tapi kalau yang bikin daftar Letter of Intent (LOI) banyak, sudah hampir 200 pesawat. Dalam dan luar negeri, tapi saya mau buat kontrak penjualan kalau pesawat bisa terbang,” ujar Budi di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (2/3).
Menurut kabar, ada salah satu perusahaan asal Nigeria yang menawarkan proses assembling dilakukan di negaranya. Ini sebagai tanda bahwa perusahaan itu siap membeli N-219 dalam jumlah yang cukup banyak.
Ditambahkan Budi, N-219 ini nantinya akan menjadi idola baru di langit Benua Afrika. Hal tersebut diketahui dari pengakuan beberapa perusahaan asal Benua Afrika tersebut, banyak pesawat dengan tipe yang sama yang banyak digunakan di negaranya namun kini berusia uzur. Ini karena produsen pesawat tersebut sudah tidak memproduksinya lagi.
Pesawat N-219 sendiri adalah pesawat jenis baling-baling untuk penerbangan komersil jarak pendek. Jadi pesawat multi fungsi bermesin dua ini memang ditujukan untuk dioperasikan ke daerah-daerah terpencil. Pesawat ini terbuat dari logam dan dirancang untuk mengangkut penumpang maupun kargo.
Pesawat yang dibuat dengan memenuhi persyaratan FAR 23 ini dirancang memiliki volume kabin terbesar di kelasnya dan pintu fleksibel yang memastikan bahwa pesawat ini bisa dipakai untuk mengangkut penumpang dan juga kargo.
Daya tampung pesawat N-219 ini sebanyak 19 orang. Pesawat ini bisa mendarat di landas pacu relatif pendek, yaitu dengan jarak antara 500-600 meter. Bahkan, jika dalam keadaan mendesak pesawat ini bisa juga mendarat di jalan raya.
Kelebihan dari Pesawat N-219 ini adalah dapat lepas landas dan mendarat dalam jarak pendek di landasan sepanjang 600 meter, dapat lepas landas dan mendarat di landasan yang tidak beraspal, mudah dioperasikan di beberapa daerah terpencil, kabin terluas di kelasnya, serta biaya operasional yang kompetitif.
Menurut Chief Engineering N-219 PTDI, Palmana Bhanadhi, pesawat N-219 juga dapat difungsikan untuk kegiatan militer, patroli maritim, ataupun evakuasi di daerah bencana. Palmana menyinggung pula, mesin N-219 menggunakan PT6-42A, 850 shaft horse power (shp) buatan Kanada, dan baling-baling Hartzell buatan AS.
Selain itu, mesin pesawat ini juga sudah digunakan lebih dari 2.500 pesawat di dunia. Dengan begitu, biaya pemeliharaan dan suku cadangnya akan sangat mudah didapat. Jadi untuk harga jual pesawat ini tergolong murah, harga jual pesawat ini juga diupayakan berkisar 5 juta – 6 juta dollar AS per unit. Harga tersebut lebih murah dibandingkan dengan kompetitor, yakni pesawat Twin Otter buatan Kanada yang dijual sekitar 7 juta dollar AS per unit.
Kebangkitan Industri Dirgantara Indonesia
“Kalau Anda mengimpor gelas (sambil mengangkat gelas), mengimpor meja (sambil menggebrak meja) dan mengimpor mic (sambil menunjuk mikrofon) maka Anda membayar jam kerja orang sana. Bayarlah jam kerja rakyat agar semua bisa mandiri!” BJ Habibie
PT Dirgantara Indonesia (Persero) menjadi salah satu ikon industri kedirgantaraan Indonesia. Bahkan di ASEAN, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memiliki industri kedirgantaraan. Karena menurut Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Fajar Hary Sampurno, sebuah negara bisa disebut memiliki industri kedirgantaraan jika negara tersebut mampu mendesain, membangun dan merangkai (manufacturing) pesawat sendiri dan kemudian memasarkannya baik di dalam negara maupun ekspor.
Sampai saat ini ada beberapa produk pesawat yang murni buatan Indonesia adalah pesawat CN-235 dan CN- 245. Namun memang, dalam produksinya PTDI menggandeng Airbus untuk mendapatlan lisensi. PT DI juga memproduksi helikopter, namun sampai saat ini PTDI hanya sebagai under license. Dengan demikian desain dan di Bandung hanya delivery centre.
Saat ini PTDI sedang berkonsentrasi untuk mengembangkan pesawat jenis baling-baling. Alasan pengembangan tersebut dikarenakan untuk menjangkau wilayah geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Menurut Harry, saat ini hanya ada dua negara berkembang di dunia yang memiliki industri pesawat tebang. Kedua negara tersebut adalah Indonesia dan Brazil, dan untuk di wilayah ASEAN sendiri PTDI tidak mempunyai saingan sama sekali.
Industri dirgantara terbesar saat ini masih dipegang oleh Airbus dan Boeing. Bukan berarti PTDI tidak bisa membuat pesawat sekelas Airbus dan Boeing, menurut Vice President Corporate Communication PTDI, Sonni Ibrahim, pasar penjualan PTDI tidaklah sama dengan Airbus dan Boeing. Pasar penjualan PTDI lebih mengarah ke kelas Medium-Heavy multi roles transport, medium multi roles transport, light, Far/CASR light.
Kepercayaan Sonni Ibrahim dengan mengatakan PTDI bisa membuat pesawat sendiri seperti buatan Airbus dan Boeing bukan tanpa alasan. Karena kenyataannya, hampir semua komponen pesawat kedua perusahaan dirgantara terbesar tersebut diproduksi oleh PTDI. Dengan begitu maka tidak ada alasan lagi untuk meragukan kualitas PTDI dalam membuat pesawat.
Total produksi pesawat PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sejak tahun 1976 hingga 2012 mencapai 347 unit, bukanlah angka yang sedikit, namun di luar sana, persaingan sangatlah ketat. Setidaknya ada pesaing berat PT Dirgantara untuk memproduksi pesawat dikelas yang sama, yaitu Alenia Aeronautica (Italia) dan ATR/Avions de transport régional (Perancis).
Dengan berbagai potensi yang dimiliki PTDI ini, Kementerian BUMN sudah memiliki peta jalan untuk menjadikan PTDI menjadi pemain global industri pesawat terbang. Kalau begitu, mampukah Indonesia bersaing dalam industri dirgantara di tingkat dunia? Berikan pendapatmu. (A15)