HomeNalar PolitikBang Pitung “Rasuki” Anies di Pilpres?

Bang Pitung “Rasuki” Anies di Pilpres?

Politik penamaan jalan agaknya tengah diperagakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan setelah kali ini memberikannya kepada beberapa tokoh Betawi. Lantas, seberapa signifikan upaya investasi politik itu bagi peluangnya sebagai capres di pemilihan umum (Pemilu) 2024?


PinterPolitik.com

Menjelang berakhirnya masa jabatan pada Oktober 2022, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan agaknya terus memaksimalkan kinerjanya. Apalagi, eks-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) agaknya menyadari bahwa namanya menjadi kandidat kuat sebagai calon presiden (capres) di kontestasi elektoral 2024.

Salah satu kinerja anyar Anies yang dinilai positif sekaligus sukses membungkam kritik dari lawan politiknya adalah ajang balap Formula E di awal bulan ini. Tangan dingin Anies dinilai berkontribusi dalam kelancaran jalannya agenda internasional itu meskipun sempat mendapat skeptisme dari sejumlah elite politik di Kebon Sirih dan bahkan memaksa ajang itu dipindah dari kawasan Monas ke Ancol.

Selain dalam kebijakan dan agenda besar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang mengundang publisitas, Anies kiranya juga tak luput dari aspek-aspek sederhana tetapi tampak bermakna secara politik.

Terbaru, Anies menunaikan janjinya pada Oktober 2021 lalu untuk memberikan apresiasi kepada tokoh Betawi dalam konteks penamaan jalan di ibu kota.

meme anies formula e

Ya, akhir pekan kemarin nama baru lahir bagi sejumlah ruas jalan di Jakarta dengan nama tokoh hingga seniman Betawi yang dinilai berjasa bagi negara dan khazanah sosial budaya tanah air.

Perubahan nama jalan itu sendiri di antaranya Jalan Raya Bambu Apus yang kini berganti menjadi Jalan Mpok Nori, Jalan Raya Pondok Gede yang juga diubah menjadi Jalan Haji Bokir, dan Jalan Kebayoran Lama yang berubah menjadi legenda jawara Betawi Bang Pitung.

Selain itu, terdapat penghormatan kepada beberapa nama tokoh Betawi lainnya seperti penamaan Jalan H. Darip yang menggantikan nama Jalan Raya Bekasi hingga simpang Jalan Jenderal Ahmad Yani, Jalan Entong Gendut yang menjadi nama bagi titik awal persimpangan Jalan Batu Ampar I hingga persimpangan Jalan Raya Condet, serta Jalan Rama Ratu Jaya yang menjadi nama Jalan BKT sisi Barat dari titik awal persimpangan Jalan Penggilingan hingga Jalan Raya Damai.

Apresiasi secara khusus seketika tertuju kepada Anies, mulai dari para keluarga sang tokoh hingga organisasi kemasyarakatan (ormas) dikarenakan dirinya telah memberikan penghormatan lebih bagi tokoh-tokoh lokal Jakarta.

Menariknya, Anies juga tercatat beberapa kali memberikan nama baru bagi sejumlah jalan di Jakarta dan tak hanya terbatas pada tokoh Betawi. Ihwal inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan, yakni mengapa Anies melakukan langkah itu? Dan apakah itu dapat berkontribusi signifikan bagi modal politiknya jelang Pilpres 2024?

naik mrt anies mirip jokowi ed.

Resep Rahasia dari Singapura?

Nyatanya, penamaan jalan memiliki signifikansinya dalam dunia politik dan pemerintahan. Salah satunya dapat berangkat dari telaah Freek Colombijn dalam Planning and social tension in Indonesian Cities yang menjelaskan bahwa nama jalan dikelompokkan ke dalam salah satu simbol politik kota.

Colombijn mengatakan bahwa dinamika simbol-simbol kota merefleksikan perubahan dalam struktur kekuasaan.

Begitu pula yang dianalisis akademisi budaya dan perkotaan dari Universitas Airlangga Sarkawi B. Husain. Sosok yang juga mempublikasikan buku berjudul Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan itu mengatakan bahwa sesungguhnya politik penamaan jalan menjadi hal yang sangat sensitif. Akan tetapi, hal itu kadang kurang menjadi kepekaan dari pemerintah dan entitas politik yang menjalankannya.

Baca juga :  Pak Prabowo, Waspada SecStag!

Tak hanya di Indonesia, Brenda Saw Ai Yeoh dalam publikasinya yang berjudul Street-Naming and Nation-Building: Toponymic Inscriptions of Nationhood in Singapore menjabarkan bahwasanya di Singapura, penamaan jalan tidak hanya berkaitan dengan arti nama-nama tempat, melainkan juga wujud dari perebutan sosial untuk kontrol atas produksi makna simbolik dalam pembangunan lingkungan kota.

Yeoh menyodorkan konsep multiracialing dalam konteks politik penamaan jalan di Singapura sebagai representasi adanya aspek sosial-budaya dan juga dampak kolonialisme di negeri Lee Kuan Yew.

Perpaduan aspek modern seperti ekonomi-politik dan aspek perjuangan politik lokal dari kalangan Melayu, Tionghoa, Tamil, hingga Arab tercermin pada pemberian nama jalan di Singapura yang mewakili identitas lintas ras, agama, bahasa, dan budaya.

Ada nilai intrinsik kuat yang mewakili lingkungan sosial-fisik dari unsur-unsur yang menjadi simbol atau identitas, khususnya dalam menghubungkan unsur-unsur tersebut dengan struktur perkotaan yang lebih luas dalam kerangka pemersatu nationhood atau kebangsaan.

Hal itu tergambar dari diferensiasi nama jalan yang beragam di Lion City mulai dari Orchard Road, Fish Street, Canton Street, Chin Chew Street. Haji Lane, Bussorah Street, hingga Kling Street. Bahkan, pengaturannya secara khusus diinternalisasikan ke dalam regulasi komprehensif.

Hal itu juga agaknya berlaku ketika melakukan sintesa dalam konteks Indonesia, paling tidak pasca Kemerdekaan. Meskipun tampak tak terakomodasi dalam peraturan komprehensif, secara sosial-politik sebenarnya penamaan jalan menjadi konteks istimewa di tanah air.

Husain misalnya, yang memberikan sampel bahwa politik penamaan jalan memiliki korelasi terhadap kenangan atau memori kolektif. Hal itu dapat dilihat di era pasca kemerdekaan ketika nama jalan berbahasa Belanda dianggap bukan kenangan kolektif rakyat Indonesia, tetapi kenangan bagi orang-orang Belanda.

Sayangnya, kenangan itu sedikit dipaksakan kala terus dipertahankan karena relevansinya sangat kecil bagi orang Indonesia yang memiliki anggapan bahwa masa kolonial merupakan era penghinaan oleh negeri Oranye.

Selain tarik ulur peninggalan Belanda, di era kontemporer penamaan jalan juga memiliki esensinya. Pada tahun 2018 silam, diskursus penamaan jalan di di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya mengemuka sebagai rekonsiliasi “dendam sejarah” antara Jawa dan Sunda.

Signifikansi itulah yang kiranya menggugah kepekaan Anies dalam konteks politik penamaan jalan. Faktanya, selain tokoh Betawi, Anies tercatat juga memberikan nama baru bagi sejumlah jalan dengan diferensiasi dan nilai intrinsik dalam aspek sosial, budaya, hingga keagamaan seperti Jalan Kalimalang sisi utara yang kini mewakili pahlawan asal Aceh, yakni Laksamana Malahayati, Jalan Cakung Cilincing menjadi Jalan Syekh Nawawi Al Bantani, hingga penamaan dengan mekanisme kekinian berupa sayembara untuk menamai jalan dan jembatan di Pulau Reklamasi.

Lantas, jika mengacu pada seperti apa yang dijelaskan di atas, akankah politik penamaan jalan itu dapat berkontribusi bagi modal politik Anies menuju pen-capres-an di 2024?

Baca juga :  Andra and the Backbone: Victory
anies grace for 2024 ed.

Anies Tanam Politik Kerinduan?

Aspek kenangan kolektif dalam politik penamaan jalan yang dimaksud Husein sebelumnya boleh jadi berangkat dari apa yang dijelaskan Peter J. Verovšek dalam Collective Memory, Politics, and the Influence of the Past mengenai memori kolektif dalam politik.

Verovšek mengatakan bahwa politisi sering menggunakan “pemahaman mitologis” tentang masa lalu untuk memobilisasi memori sebagai sebuah instrumen politik yang menguntungkan.

Menurutnya, pengaruh memori kolektif dapat menyentuh dua konteks, yakni bottom-up sebagai interpretasi masa lalu yang dapat memengaruhi identitas dan pemahaman elite politik, serta top-down sebagai pernyataan maupun kebijakan para tokoh politik yang menempatkan peristiwa tertentu ke dalam kesadaran masyarakat luas.

Dalam hal di luar politik penamaan jalan, memori kolektif kiranya dapat tercermin dari kerinduan akan romansa kepemimpinan di masa lalu yang berangkat dari naluri “membandingkan” dari kelompok masyarakat atas gestur-gestur spesifik politik dan pemerintahan.

Sebut saja “isih penak jamanku toh?” yang lekat dengan kepemimpinan di masa Soeharto atas akselerasi pembangunan multi-aspek di Indonesia. Pun dengan komparasi pemerintahan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pencapaian, kelebihan, serta kekurangan masing-masing.

Dengan kata lain, politik penamaan jalan yang mana dikaitkan Husein dengan kenangan atau memori kolektif dapat memiliki relevansi sebagai sebuah social capital atau modal sosial, untuk kemudian dikonversi menjadi sebuah modal politik.

Dalam The Forms of Capital, Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa seseorang tidak dapat serta merta mengakuisisi modal sosial. Itu karena modal tersebut hanya dapat diakses oleh mereka yang berusaha memperolehnya.

Sementara itu, Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital mengatakan bahwa modal sosial dapat ditransformasi menjadi modal politik ketika dikelola dengan tepat oleh aktor politik.

Itulah mengapa pemberian nama baru bagi jalan di Jakarta yang sekilas hanya melingkupi aspek sosial-budaya kemudian diberi tajuk sebagai sebuah “politik penamaan jalan”, yang mana ihwal itu berpeluang menjadi salah satu modal politik bagi Anies dalam perjalanannya sebagai capres di 2024.

Dalam konteks lain, jika menganalogikannya sebagai instrumen investasi yang beragam seperti emas, reksadana, saham, hingga properti, Anies pun kiranya telah mengakuisisi satu instrumen investasi politiknya selain rekam jejak di politik dan pemerintahan, pencapaian selama di DKI Jakarta, hingga kelihaian dalam menangkis oposisinya.

Artinya, politik penamaan jalan meski secara kasat mata tampak tak besar, tidak demikian kiranya bagi mereka yang tersentuh kepekaan Anies seperti masyarakat Betawi, tokoh Aceh, dan kelompok masyarakat lainnya tentu memiliki punya nilai tersendiri ketika mengingat nama putra Rasyid Baswedan itu saat menjadi sebuah pilihan politik.

Hal itu tampaknya juga menambah kemampuan “damage” Anies jika dibandingkan dengan memori kolektif masyarakat terhadap capres potensial lain seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo yang dapat publik telusuri dan nilai pada akhirnya.

Oleh karena itu, akan sangat menarik kiranya untuk melihat seperti apa buah dari berbagai instrumen investasi politik yang telah ditanam Anies ke depannya. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?