Setelah ramai diisukan mengisi posisi baru seiring dengan peleburan Kemendikbud dan Kemenristek, Bambang Brodjonegoro (Bang Bro) justru terdepak. Dengan peran Bang Bro yang besar di proyek Ibu Kota Negara (IKN), serta melihat bahasa tubuh yang ada, seperti keinginan kembali mengajar di Universitas Indonesia sebagai guru besar, apakah itu menjadi sinyal proyek IKN ditunda?
Cukup mengejutkan. Begitulah kira-kira. Nadiem Makarim, mantan CEO Gojek, menteri termuda, diberi mandat memimpin Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek). Sebelumnya, ramai dibahas posisi itu lebih tepat diisi oleh Bambang Brodjonegoro (Bang Bro).
Tidak hanya soal pengalaman, pos strategis tersebut juga membutuhkan politisi dengan jam terbang tinggi agar komunikasi kurang baik dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak lagi terjadi. Seperti yang diketahui, Nadiem terlihat belum memiliki kemampuan komunikasi politik yang baik, sehingga beberapa persoalan terjadi.
Ya, memang ada dugaan terdapat usaha membenturkan Nadiem dengan kedua ormas tersebut, namun yang jelas, komunikasi politik yang baik memang belum terlihat. Ada pula yang menyebut komunikasi Nadiem masih terlihat elitis.
Di luar persoalan Nadiem, persoalan yang lebih menarik adalah, dengan status Bang Bro sebagai menteri senior dan berperan besar dalam proyek Ibu Kota Baru (IKN), mengapa ia justru terdepak? Terlebih lagi, ada bahasa tubuh yang menunjukkan kekecewaan.
Baca Juga: Siapa Pengganti Nadiem Makarim?
Mulai dari pengunduran diri sebagai Menteri Riset dan Teknologi, hingga ada kabar Bang Bro yang disebut ingin kembali mengajar di Universitas Indonesia (UI) sebagai guru besar. Memang ada yang menyebut Bang Bro akan digeser sebagai Kepala Badan Otorita IKN, namun pertanyaannya, mengapa tidak dilakukan pada reshuffle kemarin?
Ini memang masih prematur, namun, jika Bang Bro benar-benar terdepak dari lingkar Istana, apakah itu menunjukkan proyek IKN ditunda, atau bahkan gugur?
Hermeneutika Politik
Di titik ini, kita perlu memahami satu posisi penting. Dengan fakta sulitnya mengakses informasi langsung dari Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) atau Ring-1 Istana, sekiranya begitu sulit memastikan alasan Nadiem lebih dipilih dari Bang Bro. Oleh karenanya, apa yang dapat kita andalkan adalah interpretasi.
Sekali lagi, karena kita tidak dapat menentukan makna tunggal dari terdepaknya Bang Bro, sekiranya kurang relevan apabila menggunakan teori interpretasi yang bertujuan untuk mencari makna tunggal. Di sini, kita akan menggunakan teori hermeneutika dari Hans-Georg Gadamer.
Gadamer digunakan karena hermeneutikanya mengonstruksi makna atau penafsiran dengan melibatkan prasangka interpretator. Sebelumnya, mungkin ada yang keberatan, bukankah hermeneutika adalah metode untuk menafsirkan teks?
Iya itu benar. Namun, tulisan ini bertolak atas pandangan dosen filsafat bahasa Universitas Indonesia (UI) Tommy F. Awuy yang menilai realitas atau fenomena juga dapat disebut sebagai teks yang dapat diinterpretasi.
F. Budi Hardiman dalam bukunya Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida menjelaskan makna yang tercipta dari hermeneutika Gadamer adalah fusi dari dua horizon, yakni horizon teks dan horizon pembaca. Disebut dengan Horizontverschmelzung atau peleburan horizon-horizon.
Demi kepentingan tulisan ini, kita dapat menyebut kedua horizon tersebut dengan horizon fenomena dan horizon interpretator. Horizon fenomena adalah Bang Bro yang tidak terpilih sebagai Mendikbud-Ristek. Ini melahirkan makna bahwa Bang Bro tidak dipercaya di posisi strategis itu.
Lalu, bahasa tubuh seperti Bang Bro ingin kembali mengajar dapat membentuk makna bahwa dirinya tidak mendapat peluang sebesar sebelumnya di lingkar Istana.
Setelah memahami horizon fenomena, kita lanjut ke horizon interpretator. Di sini, interpretator memiliki pengetahuan bahwa Bang Bro berperan besar dalam perencaan proyek IKN. Interpretator juga memiliki prasangka bahwa trust dalam politik ditunjukkan melalui pemberian jabatan atau tugas.
Konteks tersebut dapat kita lihat pada kasus Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Di tengah masifnya dorongan untuk menggantinya, mantan Panglima TNI tersebut justru diberi tugas baru sebagai pengarah tim transisi pengambilalihan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Terbaru, ia juga terpilih sebagai Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo). Suka atau tidak, itu menjadi indikasi kuat Presiden Jokowi masih mempercayai Moeldoko.
Baca Juga: Manuver Moeldoko di Periklindo
Nah, kedua horizon tersebut kemudian melebur dan membentuk fusi bahwa proyek IKN besar kemungkinan ditunda. Pasalnya, Bang Bro yang terlibat dalam perencaannya sejak awal justru terdepak dan menunjukkan keinginan kembali menjadi akademisi.
Kepentingan yang Terikat
Jika tepat, fusi tersebut dapat dipahami melalui konsep reciprocal altruism. Francis Fukuyama dalam bukunya The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution menggunakan konsep reciprocal altruism untuk menjelaskan mengapa manusia selaku makhluk egois yang mementingkan dirinya sendiri (self-interest) justru dapat melakukan kerja sama.
Kendati sekilas terlihat kontradiktif, antara diksi self-interest dengan altruisme, reciprocal altruism memiliki penjelasan yang koheren. Dalam hipotesisnya, manusia melakukan kerja sama bukan karena mereka altruis, melainkan karena dengan bekerja sama kepentingan pribadi mereka lebih mudah terwujud.
Sebagai contoh, alih-alih saling menjatuhkan bisnis masing-masing, melakukan merger justru lebih membantu memperbesar perusahaan. Caranya? Tentu dengan melakukan monopoli.
Dalam politik juga demikian. Kita mengenal prinsip take and give. Untuk menjaga hubungan dalam politik, kedua belah pihak harus mendapatkan keuntungan masing-masing. Prinsip ini dapat kita gunakan dalam membaca safari berbagai partai politik akhir-akhir ini.
PKS, misalnya. Menjadi tanda tanya tersendiri mengapa partai Islam itu mengunjungi kantor DPP PDIP baru-baru ini. Bertolak pada reciprocal altruism, kunjungan itu dapat dimaknai sebagai bentuk penjajakan untuk menentukan posisi. Jika transaksinya “bagus”, bukan tidak mungkin PKS berkoalisi dengan PDIP. Itu pun bergantung pada daya tawar PKS.
Kembali pada Bang Bro. Di titik ini, mungkin dapat disimpulkan bahwa daya tawar Bang Bro adalah perannya dalam perencanaan IKN. Artinya, posisinya akan tetap aman di lingkar Istana apabila proyek tersebut sedang digarap.
Jika benar itu adalah daya tawar Bang Bro, maka mudah menarik kesimpulan bahwa daya tawarnya sudah memudar seiring dengan lebih dipilihnya Nadiem. Secara tautologis, ini menunjukkan IKN tidak akan digarap dalam waktu dekat.
Simpulan tersebut dapat diperkuat dengan kondisi ekonomi saat ini. Dengan biaya proyek yang mencapai Rp 466 triliun, meskipun tidak semuanya ditanggung pemerintah, melanjutkan proyek bukanlah pilihan yang bijak. Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengumumkan kerugian ekonomi Indonesia mencapai Rp 1.356 triliun akibat pandemi Covid-19.
Apalagi, sampai saat ini pandemi belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Ada pula persoalan mutasi virus. Dana besar juga diperlukan untuk menuntaskan program vaksinasi nasional.Situasinya serba sulit.
Pendiri Narasi Institute, Fadhil Hasan juga menilai Indonesia saat ini tidak memiliki kapasitas ekonomi untuk membiayai proyek IKN. Menurutnya, pembangunan IKN bahkan dapat menambah utang Indonesia mencapai Rp 10.000 triliun di akhir 2024.
Per akhir Februari 2021, utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp 6.164 triliun. Secara hitungan sederhana, berarti akan ada penambahan utang hampir Rp 4.000 triliun.
Baca Juga: Noble Lie, Jokowi Pasti Berbohong?
Akan tetapi, seperti yang ditegaskan di awal, simpulan ini bisa dikatakan prematur. Saat ini kita perlu menunggu apakah benar Bang Bro akan digeser sebagai Kepala Badan Otorita IKN atau tidak.
Apabila tidak ditunjuk dan benar IKN baru ditunda sampai 2024, mungkin proyek ini akan tenggelam. Pasalnya, tidak ada jaminan presiden selanjutnya memiliki visi yang sama dengan Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota. Kita lihat saja. (R53)