Site icon PinterPolitik.com

Baliho Demokrat, Paradoks Vandalisme Politik

Baliho Demokrat, Paradoks Vandalisme Politik

Foto: Kapan Lagi

Kasus perusakan alat peraga kampanye milik Partai Demokrat menjadi babak baru perdebatan politik jelang Pilpres 2019. Faktanya, vandalisme dalam politik adalah hal yang sangat sering terjadi di hampir semua negara demokrasi. Persoalannya adalah dengan konteks polarisasi masyarakat yang kini menyisakan dua kubu saja, peristiwa ini tentu saja ikut menentukan persepsi publik, bahkan berpotensi besar mempengaruhi pilihan.


PinterPolitik.com

“You cannot win an election without a fight.”

:: Tony Abbott, mantan Perdana Menteri Australia ::

[dropcap]O[/dropcap]rang-orang Vandals yang merupakan suku besar Germanic Timur mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum. Namun, suku inilah yang menjadi alasan kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 455 M setelah bertempur melawan Kaisar Petronius Maximus.

Aksi-aksi mereka yang kerap menghancurkan patung-patung dan karya-karya seni melahirkan istilah vandalisme, warisan yang hingga kini selalu diasosiasikan dengan aktivitas perusakan fasilitas publik, privat, dan lain sebagainya.

Setidaknya kiprah orang-orang Vandals itulah yang kini menjadi sajian politik Indonesia pasca  munculnya pemberitaan tentang perusakan alat peraga kampanye milik Partai Demokrat di Pekanbaru, Riau.

Vandalisme by design ini memang bertujuan untuk memanaskan situasi, membentuk persepsi publik sebagai lanjutan dari polarisasi politik, atau mempertajam gesekan di masyarakat. Share on X

Isu ini menyita perhatian publik karena bertepatan dengan kunjungan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke provinsi tersebut beberapa hari lalu. Tercatat baliho ucapan selamat datang, spanduk dan bendera menjadi korban dari aksi perusakan tersebut.

SBY sendiri sampai harus turun dan menyaksikan langsung spanduk dan bendera yang berceceran di pinggir jalan, hal yang kemudian membuat masalah ini menarik pemberitaan media. Presiden ke-6 RI itu menyayangkan aksi tersebut, mengingat dirinya secara personal tidak sedang berkontestasi sebagai capres dalam Pilpres 2019 mendatang.

Persoalan ini kemudian memanas pasca pengakuan dari pihak-pihak yang diduga terlibat dalam aksi perusakan tersebut. Menariknya, beberapa pelaku menyebutkan bahwa mereka dibayar oleh kompetitor Partai Demokrat, PDIP – setidaknya demikian penuturan wasekjen partai berlambang bintang mercy itu, Andi Arief.

Konteks tersebut kemudian semakin kompleks karena framing politik yang dibangun pasca kasus ini membenturkan SBY dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini dapat terjadi mengingat posisi Partai Demokrat yang ada dalam koalisi Prabowo Subianto dan dengan konteks polarisasi masyarakat yang ada, masalah tersebut pada akhirnya mengarah pada kubu Jokowi yang “dianggap” sebagai penyebabnya.

Namun, SBY buru-buru mengatakan bahwa dirinya yakin – dan bahkan tahu – bahwa Presiden Jokowi tidak mungkin terlibat dalam kasus ini. Walaupun demikian, konteks polarisasi masyarakat akan berdampak pada terbentuknya persepsi terhadap Jokowi, sehingga investigasi kasus ini justru akan “menyelamatkan” sang presiden.

Adapun Jokowi sendiri telah meminta masyarakat untuk menjaga suasana tetap tenang selama masa kampanye dan meminta semua pihak untuk tidak memanas-manasi situasi politik secara tidak beradab. Sementara, Prabowo ikut menyayangkan aksi ini dan menyebutkan bahwa bukan hanya Demokrat yang dilukai, tetapi juga dirinya dan koalisi.

Konteks perusakan alat peraga kampanye ini kemudian menjadi babak baru benturan politik jelang Pilpres 2019. Pasalnya, dengan kondisi psikologis masyarakat seperti saat ini, jika sesuatu hal yang negatif terjadi pada satu kubu, persepsi publik yang terbentuk secara otomatis melihat kubu yang lain sebagai penyebabnya.

Tentu pertanyaanya adalah seberapa besar aksi vandalisme ini berdampak pada kontestasi politik yang sudah di depan mata? Lalu, apakah benar bahwa aksi ini adalah bagian dari “strategi politik besar” yang dimainkan untuk membentuk opini publik?

Paradoks Vandalisme Politik

Vandalisme atau perusakan properti publik dan privat merupakan aksi-aksi yang umum dilakukan dan punya sejarah panjang dalam peradaban umat manusia. Aktivitas mencoret-coret fasilitas umum, atau merusak properti tertentu memang dianggap sebagai hal yang memprihatinkan, tidak jarang juga dianggap sebagai penyakit sosial.

Khusus dalam konteks politik, vandalisme memang seringkali menjadi saluran aspirasi politik sebagai bentuk kekecewaan, dukungan atau pernyataan sikap tertentu, terutama di saat-saat menjelang Pemilu.

Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 lalu adalah salah satu gambaran bagaimana vandalisme mengambil bentuknya. Kala itu, kampanye rasis “Trump Nation, Whites Only” yang menjadi tagline besar yang digaungkan kubu Donald Trump, dituliskan di berbagai tempat fasilitas publik dan properti pribadi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Pernyataan politik terkait supremasi politik tersebut diiringi dengan tulisan-tulisan yang dibubuhkan di tembok-tembok banyak gedung Gereja Episkopal yang mayoritas memang menjadi tempat berkumpul kaum imigran atau fasilitas-fasilitas lain yang mayoritas digunakan oleh kelompok-kelompok imigran.

Hal yang sama juga terjadi pada kubu pendukung Trump, di mana beberapa fasilitas privat atau fasilitas publik yang menjadi simbol kulit putih ikut dirusak. Lambang-lambang swastika yang menjadi simbol gerakan kanan Nazi Jerman menjadi bagian dari aspirasi politik yang digunakan untuk menyerang Trump dan pendukungnya.

Namun, tak ada yang tahu apakah aksi-aksi tersebut benar-benar dilakukan oleh pendukung garis keras kubu lawan masing-masing atau tidak. Bahkan, The Washington Times menyebutkan bahwa kemungkinan besar kelompok-kelompok yang melakukan aksi-aksi vandalisme tersebut justru tidak memilih Trump maupun lawannya, Hillary Clinton.

Konteks tersebut menjadi gambaran besar bahwa Pemilu seringkali memang lekat dengan political vandalism atau vandalisme politik, entah karena alasan fanatisme dukungan, karena ketidakpuasan terhadap isu-isu kampanye yang dibawa oleh kandidat, atau bisa juga hasil desain aktor politik tertentu.

Daniel Victor, seorang reporter untuk Express Time, dalam sebuah tulisannya di New York Times menyebutkan bahwa cara-cara kotor, vandalisme, dan yang sejenisnya memang menjadi warna kontestasi politik di negara paling demokratis sekalipun. Demokrasi dan kebebasan individu nyatanya bisa berujung pada tindakan-tinbdakan yang cenderung destruktif.

Hal ini tentu saja menjadi sebuah paradoks. Pasalnya, demokrasi dengan Pemilu di dalamnya, selalu dianggap sebagai cara untuk menyalurkan aspirasi politik. Demokrasi membebaskan individu untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi serta membuat penilaian tentang pilihan-pilihan tertentu dalam jalur-jalur yang tetap menjunjung tinggi asas penghormatan terhadap nilai, norma, kepentingan umum maupun kepentingan pribadi.

Artinya, vandalisme dalam konteks saluran aspirasi politik telah membawa demokrasi pada level yang paling ekstrem. Aksi-aksi tersebut memang menjadi bagian dari penyaluran aspirasi politik, namun kontradiktif dengan inti sari demokrasi itu sendiri.

Bahkan citra yang ditimbulkan justru menjadi tidak demokratis ketika kesan yang diperoleh adalah ketakutan, keterpaksaan, atau ancaman. Hal ini dapat terjadi karena faktanya politik memang membawa keburukan-keburukan keluar dari setiap orang – politics bring out the worst in us – demikian kata Profesor Biman Prasad, pemimpin National Federation Party di Fiji.

Politik pada akhirnya tidak lagi dilihat sebagai cara untuk mencapai kepentingan bersama dan membawa kemajuan untuk kehidupan bernegara, tetapi sekedar digunakan untuk melihat keburukan-keburukan lawan dan menggunakan segala cara untuk mencegahnya terpilih dalam Pemilu.

Mungkin hal ini bisa digunakan sebagai alasan untuk merefleksikan konteks politik Indonesia belakangan ini yang memang cenderung dipenuhi dengan “keburukan-keburukan”.

Makin Panas Jelang 2019

Lalu, bagaimana dengan vandalisme yang menimpa alat peraga kampanye milik Partai Demokrat? Apakah konteksnya sama dengan yang terjadi pada Pilpres AS 2016?

Dalam konteks vandalisme politik sebagai saluran aspirasi, jawabannya tentu saja iya. Bagaimanapun juga, vandalisme alat peraga kampanye selalu punya tujuan yang ingin disampaikan, entah itu aspirasi politik, atau yang lainnya.

Namun, konteksnya akan berbeda jika vandalisme yang terjadi ini adalah aktivitas yang didalangi – ada master mind, demikian bahasa Partai Demokrat – oleh tokoh atau elite partai tertentu. Jika hal itu yang terjadi, maka vandalisme by design ini memang bertujuan untuk memanaskan situasi, membentuk persepsi publik sebagai lanjutan dari polarisasi politik, atau mempertajam gesekan di masyarakat.

Konteks tersebut tentu membuat persaingan politik menjadi tidak sehat, apalagi jika aksi-aksi ini didalangi kelompok elite – oleh Partai Demokrat disebut sebagai “institusi siluman”. Gesekan yang terjadi pada akhirnya akan terasa kuat di kalangan masyarakat bawah dan bisa berujung pada aksi saling balas.

Pada akhirnya, persoalan ini memang hanya bisa diselesaikan oleh para elite partai sendiri. Bagaimanapun juga perusakan alat peraga kampanye adalah pelanggaran Pemilu. Hal ini juga menggambarkan bahwa kontestasi politik belakangan ini sudah ada pada level tidak sehat. Tentu tak ada yang ingin perpecahan terjadi hanya karena kekuasaan lima tahun, bukan? (S13)

Exit mobile version