Serangan Kivlan Zen terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disebutnya tak ingin Prabowo Subianto menjadi presiden, adalah wajah politik terbaru di tengah sengkarut pasca Pemilu 2019. Kivlan tampil sebagai tokoh ketiga – ibaratnya tritagonist dalam drama-drama tragedi Yunani. Faktanya, ia menjadi guratan sejarah lika-liku perjalanan politik Prabowo sejak mantan Danjen Kopassus itu masih aktif di dunia militer.
PinterPolitik.com
“Leadership is about vision and responsibility, not power”.
:: Seth Berkley ::
Jika politik adalah drama, maka sering kali masyarakat juga disuguhkan aksi para tritagonist – aktor lain di samping protagonist yang menjadi pelaku utama dan deuteragonist yang menjadi lawan main pelaku utama.
Sekalipun dianggap sebagai pelengkap, namun peran tritagonist sering kali menjadi penentu jalannya cerita, baik terhadap nasib protagonist maupun deuteragonist di akhir cerita.
Salah satu aktor Yunani kuno yang dikenal dengan peran ini adalah Aeschines (389-314 SM) yang merupakan satu dari sepuluh Attic orators atau orator paling terkemuka di era kuno.
Sementara ada pula nama Myniscus yang merupakan tritaganiost dalam karya-karya Aeschylus (523-456 SM). Nama terakhir merupakan salah satu penulis drama paling besar di era kuno dan sering disebut sebagai father of tragedy atau bapak tragedi – aliran dalam drama yang mengangkat kisah penderitaan manusia.
Peran tritagonist menjadi penting untuk menimbulkan dimensi lain dari cerita yang biasanya berpusat pada protagonist dan deuteragonist. Inilah yang mungkin mirip dengan apa yang kini diperankan oleh Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen yang beberapa hari terakhir menjadi tajuk utama pemberitaan politik di tingkat nasional.
Kivlan adalah tritagonist yang membawa lakon di akhir kontestasi elektoral ini menuju katarsis – apa yang disebut oleh Aristoteles sebagai tujuan akhir perasaan “pemurnian” atau “dibersihkan” setelah tragedi.
Kivlan adalah tritagonist yang membawa lakon di akhir kontestasi elektoral ini menuju katarsis – apa yang disebut oleh Aristoteles sebagai tujuan akhir perasaan “pemurnian” atau “dibersihkan” setelah tragedi. Share on XPria berusia 72 tahun itu memang kembali ke sentral perbincangan publik ketika ia membalas pernyataan politikus Partai Demokrat Andi Arief terkait tudingan “setan gundul” di koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sebelumnya, Andi memang menyebutkan bahwa soliditas koalisi tersebut terganggu karena Prabowo lebih mendengarkan setan gundul yang bukan berasal dari partai-partai politik koalisi. Ia juga menuduh setan gundul inilah yang ada di balik klaim kemenangan 62 persen yang dideklarasikan oleh Prabowo.
Kivlan kemudian membalas dan menyebut bahwa Andi-lah sang setan gundul itu. Ia juga secara blak-blakan menyerang SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat yang disebutnya “licik” dan ingin menggagalkan keinginan Prabowo berkuasa ketika ikut memecat menantu Soeharto itu di tahun 1998.
Sontak, pernyataan itu mendatangkan reaksi dari berbagai pihak. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Agum Gumelar misalnya, mengkritik pernyataan Kivlan dan menyebutnya tidak pantas karena SBY berpangkat lebih tinggi. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menengahi dan menyebut Kivlan terbawa suasana batin.
Sementara kubu Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin justru membela SBY dan menyebut Presiden ke-6 Indonesia tersebut sebagai demokrat sejati – konteks yang menguatkan wacana merapatnya Partai Demokrat ke koalisi petahana.
Tentu menarik untuk melihat pernyataan Kivlan tersebut terkait posisinya, dampaknya, serta pribadi mantan Kepala Staf Kostrad tersebut. Lalu, apa yang bisa dimaknai di balik pernyataan Kivlan tersebut?
Kivlan Zen dan De-Prabowo-isasi
Pada akhir 2017 lalu, Terry Russell dalam salah satu tulisannya di The Diplomat berjudul “Zon, Zen and the Art of Mass Mobilization in Indonesia” menyebutkan nama Fadli Zon dan Kivlan Zen sebagai dua sosok kunci di balik jalan politik Prabowo Subianto.
Ia menyebutkan bahwa “Zon dan Zen” – dari nama belakang kedua sosok itu – sesungguhnya menjadi tokoh utama di balik gerakan massa di seputaran Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu – sekalipun media-media asing lebih banyak yang memberi perhatian pada para pemimpin Islam.
Fadli jelas telah menjadi sosok sentral di Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo, serta dianggap sebagai salah satu “tangan politik” utama sang jenderal.
Sementara Kivlan secara spesifik telah menjadi ally atau sekutu Prabowo sejak tahun 1980-an. Dalam sebuah penuturannya di tahun 2006, ia menyebut dirinya dan Prabowo adalah sekutu B.J. Habibie untuk mencegah Benny Moerdani mengambil alih kekuasaan.
Konteks hubungan tersebut terlihat dalam tulisan Jose Manuel Tesoro di majalah Asia Week, terkait jaminan untuk kursi Panglima ABRI bagi Prabowo jika Habibie mampu mengambil alih kekuasaan dari Soeharto.
Sebagai tambahan, Soeharto dan Benny memang terlibat perimbangan kekuasaan kala nama terakhir menjabat sebagai Panglima ABRI di akhir 1980-an. Jenderal yang juga berjasa pada kemunculan nama Megawati Soekarnoputri ke panggung politik tersebut memang mulai terbuka mengkritik praktik korupsi di era kepemimpinan Soeharto.
Namun, belakangan “koalisi” Habibie dan Prabowo tersebut pecah di sekitaran tahun 1998. Keputusan Habibie – yang mengambil alih kekuasaan pasca pengunduran diri Soeharto – untuk menjadikan Wiranto sebagai Panglima ABRI adalah awalnya. Beberapa pihak menyebut Prabowo kecewa – sekalipun pernah dibantahnya – mengingat ia dan Wiranto terlibat rivalitas kala itu.
Konteks tersebut kemudian berujung pada titah Habibie kepada Wiranto untuk melakukan pemecatan terhadap Prabowo dari jabatannya sebagai Panglima Kostrad atas tuduhan rencana kudeta. Ini disampaikan oleh Habibie dalam salah satu wawancaranya di program Kick Andy – sekalipun masing-masing kubu mengklaim mempunyai kebenaran versi sendiri-sendiri.
Sementara Kivlan Zen yang kala itu menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad juga terkena imbas. Pencopotan Prabowo memang disertai dengan aksi yang disebut sebagai “de-Prabowo-isasi” atau pembersihan pengaruh putra Sumitro Djojohadikusumo itu dari militer – demikian ditulis oleh Jun Honna dalam buku Military Politics and Democratization in Indonesia.
Konteks hubungan Prabowo dan Kivlan juga terlihat dalam wawancara Prabowo di acara Kick Andy di mana Kivlan sempat membuat usulan promosi jabatan untuk Prabowo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
De-Prabowo-isasi pada akhirnya menyebabkan Kivlan dicopot dari Kepala Staf Kostrad kemudian digantikan oleh Ryamizard Ryacudu yang merupakan menantu dari mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.
“Saya diberhentikan Wiranto. Betapa sakitnya saya. Saya tidak menculik, tidak kudeta, kenapa diberhentikan?” demikian kata-kata Kivlan seperti ditulis oleh Merdeka.
Menariknya, nama Kivlan pun mencuat di sekitaran gerakan sipil yang muncul di tahun 1998. Terry Russell menyebutkan Kivlan adalah salah satu tokoh di balik pendirian Pam Swakarsa sebagai gerakan sipil untuk mengamankan situasi – yang kemudian berubah menjadi Front Pembela Islam (FPI).
Pam Swakarsa kala itu memang menjadi “alat” TNI untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa tanpa takut menimbulkan ketegangan politik domestik yang berlebihan.
Pasca Reformasi 1998, nama Kivlan pun terus mencuat, salah satunya di sekitaran isu Partai Komunis Indonesia (PKI). Zaskia E. Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana dalam bukunya yang berjudul Propaganda and The Genocide in Indonesia menyebutkan bahwa Kivlan menjadi salah satu orang terdepan dalam gerakan melawan narasi komunisme.
Terkait perannya terhadap jalan politik Prabowo, ia juga menjadi orang yang selalu dituju ketika membicarakan strategi politik Ketua Umum Partai Gerindra tersebut, misalnya ketika jurnalis asal Amerika Serikat (AS) Allan Nairn memuat tulisan tentang tuduhan kudeta di balik aksi melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2016 lalu.
Kivlan, Political Instigator?
Kini, perbincangan tentang Kivlan lagi-lagi ada di seputaran de-Prabowo-isasi, sekalipun konteksnya berbeda. Dulu de-Prabowo-isasi ada dalam konteks militer, sedangkan saat ini istilah tersebut berkaitan dengan kekuatan politik Prabowo di Pilpres 2019.
Bukan rahasia lagi bahwasanya arah keluaran kontestasi elektoral di tahun ini sangat mungkin kembali memenangkan Jokowi – setidaknya hingga hitungan terakhir yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, tudingan kecurangan Pemilu sangat mungkin mendistorsi mulusnya raihan tersebut, dan Prabowo pun cukup vokal memperjuangkannya.
Hal inilah yang membuat de-Prabowo-isasi dengan “menyingkirkan” satu per satu kekuatan politik sang jenderal sangat mungkin dilakukan oleh lawannya.
Sosok-sosok ulama macam Bachtiar Nasir, hingga politisi seperti Eggi Sudjana serta penyanyi Ahmad Dhani adalah beberapa di antaranya. Belum lagi partai-partai koalisi Prabowo-Sandi seperti Demokrat dan PAN yang berpotensi pindah arah.
Beberapa pihak menyebutkan bahwa peran Kivlan ini bisa disebut sebagai political instigator – aktor yang membenturkan kubu-kubu dalam politik. Hans J. Nissen Peran dalam bukunya The Early History of the Ancient Near East, 9000-2000 B.C. menyebut political instigator telah ada sejak era Babylonia dan merupakan bagian yang intrinsik dari politik kekuasaan.
Namun, mengingat hubungannya yang dekat dengan Prabowo, agaknya Kivlan tidak bisa disebut murni political instigator. Sebab, sebutan itu umumnya berujung pada citra negatif, katakanlah kepada kubu tempat ia mendaku berpihak.
Sekalipun demikian, pernyataannya tentang SBY memang pada akhirnya memperuncing hubungan Prabowo dengan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut. Hal tersebut bisa merugikan Prabowo jika SBY benar-benar berbalik dan tak ingin lagi berada di satu kubu.
Pada akhirnya, Kivlan adalah tritagonist yang membawa lakon di akhir kontestasi elektoral ini menuju katarsis seperti yang disebut oleh Aristoteles.
Ia mungkin masih menyimpan sakit hati terhadap Wiranto untuk semua yang terjadi di massa lalu. Bersama Prabowo, ia juga mungkin masih tak terima atas tuduhan kudeta dan pemberhentian dari militer.
Yang jelas, Kivlan yang pernah berjasa membebaskan WNI yang ditawan kelompok teroris Abu Sayyaf akan menjadi lembaran menarik dalam pentas politik nasional.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)