Presiden Sukarno sempat memberi apresiasi yang besar pada kosmonot Uni Soviet, Yuri Gagarin, setelah menjadi manusia pertama yang berhasil ke luar angkasa. Karena ini, banyak yang kemudian menilai Gagarin telah menjadi inspirasi bagi Sukarno untuk mengembangkan program keantariksaan di Indonesia. Bagaimana kita merefleksikannya pada zaman sekarang?
Sepertinya, bisa dipastikan sebagian besar dari kita pernah mendengar sebuah nama yang berbunyi “Yuri Gagarin”. Ya, dia adalah kosmonot asal Uni Soviet, yang namanya begitu terkenal pada masa Perang Dingin dahulu, karena berhasil menjadi manusia pertama yang mencapai luar angkasa.
Pada 12 April 1961, Gagarin berangkat menggunakan wahana antariksa Vostok 1, menembus perbatasan langit Bumi, dan mengitari planet kita ini selama 108 menit. Pencapaian luar biasa itu membuat Gagarin tidak hanya dielu-elukan di tanah airnya, tetapi juga membuatnya bak pahlawan umat manusia ketika berhasil mendarat kembali di Bumi dengan selamat.
Kabar tentang kesuksesan Gagarin menyebar ke seluruh dunia, tersampaikan ke rival besar Uni Soviet pada saat itu, yaitu Amerika Serikat (AS), dan tentunya sampai pula ke Indonesia. Hal ini berhasil menarik perhatian Presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Sebagai pemimpin revolusioner yang memiliki perhatian tinggi pada pengembangan teknologi, khususnya yang berkaitan dengan keantariksaan, Sukarno dikabarkan turut memberikan apresiasi besar kepada kosmonot tersebut.
Mengutip dari artikel di laman Historia berjudul Yuri Gagarin dan Para Kosmonot Pahlawan Indonesia, yang ditulis Martin Sitompul,pada Juni 1961, ketika sedang melakukan kunjungan ke Moskow, Sukarno bahkan menyempatkan diri bertemu langsung dengan Gagarin, dan menasbihkannya sebagai “pahlawan bangsa Indonesia”.
Tidak hanya itu, Sukarno secara pribadi pun menyematkan penghargaan Bintang Mahaputra pada Gagarin, yang merupakan salah satu penghargaan tertinggi Indonesia. Sebagai pelengkap, Sukarno juga menghadiahkan sebuah wisma khusus di Jalan Raya Puncak, Bogor sebagai tempat tinggal Gagarin, jika ia nanti berkesempatan datang ke Indonesia.
Jika dilihat dari sejarahnya, Gagarin memang memiliki tempat yang spesial di hati Sukarno dan juga Indonesia. Tidak heran bila kemudian banyak orang yang menganggap Gagarin sebagai inspirasi kuat bagi Sukarno untuk mewujudkan mimpinya menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu mengirimkan manusia ke luar angkasa.
Lantas, kira-kira mengapa Sukarno bisa memberikan perhatian yang sedemikian besarnya pada keantariksaan?
Baca juga: Globalis dan Ambisi Antariksa Jokowi
Antariksa Sebagai Tren?
Sebelum menggali pertanyaan di atas lebih dalam, rasanya pantas bila kita buka pembahasan ini dengan mengutip perkataan Presiden AS, John F. Kennedy tentang antariksa: “Eksplorasi antariksa akan terus berlanjut, tidak peduli kita bergabung atau tidak, dan tidak ada negara yang bisa menjadi pemimpin bagi negara lain jika ia tertinggal dalam perlombaan antariksa”.
Well, perkataan Kennedy tadi beresonansi dengan apa yang sesungguhnya terjadi dalam politik internasional pada masa Perang Dingin. Ketika itu, seluruh negara di dunia tidak hanya dipanaskan oleh perlombaan teknologi nuklir antara AS dan Uni Soviet, tetapi juga oleh sengitnya persaingan kedua negara adidaya tersebut dalam mengembangkan program dan teknologi antariksa.
Polemik ini pada akhirnya berpengaruh juga pada pandangan politik internasional Sukarno. Rahadian Rundjan dalam artikelnya Sukarno dan Angan-angan Keantariksaan Indonesia, Mampukah Impian Sukarno Terwujud?, menilai bahwa topik keantariksaan yang menjadi perbincangan orang awam sampai politisi pada saat itu, telah menjadi modal bergaul Sukarno dalam arena politik internasional.
Oleh karena itu, ketertarikan Sukarno pada pencapaian Gagarin pun bukan semata-mata hanya karena kekaguman, tetapi juga dipengaruhi faktor hubungan politik antara Indonesia dan Uni Soviet. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Abdul Haris Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama, mengungkapkan bahwa niatan Sukarno untuk memberi penghargaan pada Gagarin muncul setelah Indonesia menyepakati kontrak pembelian senjata kedua dengan Uni Soviet, untuk melegitimasi kedekatan diplomatis Indonesia dan Uni Soviet.
Selain ke Uni Soviet, Sukarno juga sempat menggunakan topik antariksa untuk mendekati Presiden Kennedy dari AS, dengan mengirimkan telegram ucapan selamat kepada rakyat Amerika atas kesuksesan astronotnya, John Glenn, yang berhasil mengorbit Bumi pada tahun 1962.
Pada akhirnya, bisa dikatakan, antariksa sebagai tren politik internasional telah membuat Sukarno sadar bahwa Indonesia pun perlu mengembangkan program antariksanya sendiri jika ingin menjadi negara maju. Karena itu, ketika sedang menyambut delegasi Uni Soviet di Stadion Senayan, menurut laporan Daily Report, Foreign Radio Broadcast tahun 1963, Sukarno menekankan bahwa jika ingin menjadi negara besar, maka Indonesia harus ambil bagian dalam revolusi antariksa dan nuklir.
Angan-angan Sukarno tersebut bersinggungan dengan apa yang dimaksud sebagai smart power oleh ilmuwan politik AS, Joseph S. Nye. Dalam tulisannya Get Smart: Combining Hard and Soft Power, Nye menjelaskan bahwa di era yang modern ini, negara tidak lagi hanya bisa mengandalkan kekuatan keras (hard power) seperti tenaga militer dan aliansi pertahanan untuk menjaga eksistensinya, tetapi juga membutuhkan fungsi kekuatan lunak (soft power) seperti persepsi negara lain dan kemajuan teknologinya untuk mengurangi permusuhan dan adanya potensi ancaman internasional.
Namun, apa yang seringnya keliru dipahami orang-orang adalah, dengan menguatnya pengaruh soft power, bukan berarti negara tidak lagi perlu mengembangkan hard power-nya. Padahal, Nye berpendapat, untuk benar-benar mendapatkan daya tawar yang tinggi dalam panggung internasional, suatu negara perlu menggabungkan hard dan soft power-nya. Inilah kemudian yang dimaksud Nye sebagai smart power.
Dalam sebuah artikel hasil wawancara yang berjudul Joseph Nye’s Reflections on Current International Relations: Public Diplomacy, Space Exploration and Artificial Intelligence, Nye berpandangan bahwa pengembangan teknologi antariksa adalah salah satu sektor yang paling mencerminkan smart power.
Melalui teknologi antariksa yang mumpuni, suatu negara tidak hanya dapat apresiasi dari masyarakat internasional, tetapi juga mampu memperkuat hard power-nya, dengan menggunakan teknologi antariksa tersebut untuk pengawasan wilayah kedaulatan dan penguatan jaringan sistem pertahanan, misalnya.
Lalu, pertanyaan besarnya adalah, apakah kita sekarang masih mengemban warisan antariksa Sukarno?
Baca juga: Balapan Antariksa: Biden vs Xi Jinping
Indonesia Sebagai Space-Faring Country?
Kalau kita melihat dari komponen kenegaraan, sesuai perkembangannya Indonesia bisa dikatakan ‘belum’ meninggalkan ambisi besar Sukarno, karena kita pun setelah puluhan tahun akhirnya memiliki payung hukum keantariksaan, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan (UU Antariksa).
Selain itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), yang sekarang telah dilebur dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga dikatakan akan menggandeng konsorsium swasta yang difokuskan pada proyek pembangunan bandar antariksa. Ide ini setidaknya sudah mulai dijalankan sejak tahun 2019 silam.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sempat dikabarkan mengajak bos perusahaan antariksa raksasa, SpaceX, yaitu Elon Musk untuk berinvestasi pada proyek bandar antariksa yang rencananya akan dibangun di Pulau Biak, Papua pada akhir 2020.
Tapi sayang, sampai saat ini semua pembicaraan mengenai proyek besar program antariksa Indonesia, khususnya yang terkait dengan banda antariksa, terlihat belum menunjukkan progres yang signifikan. Bahkan, belum pernah ada kabar seorang investor besar yang memang berniat membangun keantariksaan Indonesia. Mengapa bisa demikian?
Well, Ann Cammaro, Founder Antarexxa Space Global, sebuah startup yang berinisiatif membangun ekosistem antariksa Indonesia, dalam sebuah wawancara di kanal Helmy Yahya Bicara di YouTube, mengatakan bahwa salah satu alasan kenapa Indonesia kesulitan mendapat ketertarikan investor antariksa adalah karena kita tidak memiliki industri pendukung yang mumpuni.
Ann berkata, meskipun kita memiliki keunggulan geografis untuk membangun sebuah bandar antariksa, investor seperti Elon Musk perlu berpikir berulang-ulang kali jika ingin membangun proyek di Indonesia, karena selama ini kita belum memiliki industri yang siap, yang dibutuhkan dalam membangun infrastruktur antariksa, contohnya seperti industri propelan roket.
Karena itu, tampaknya sangat sulit jika kita berharap secepatnya mendapatkan investor antariksa, karena artinya mereka harus membangun semua keperluan bandar antariksa sendiri.
Di sisi lain, untuk menarik perhatian investor antariksa, mungkin kita juga perlu belajar dari rekan-rekan negara berkembang yang sudah terlebih dahulu sukses dalam mengembangkan program antariksanya, contohnya seperti Vietnam.
Nandini Sarma dalam tulisannya Southeast Asian space programmes: Capabilities, challenges and collaborations, menyimpulkan bahwa majunya antariksa Vietnam adalah karena mereka serius membangun sumber daya manusia yang mumpuni, dengan pelatihan tenaga ahli teknologi antariksa melalui lembaga negara yang memang difokuskan pada sektor tersebut, bernama The Space Technology Institute (STI).
STI ini disebut secara intens bekerja sama dengan negara antariksa maju seperti Jepang dan India, agar dapat terus menyesuaikan tenaga ahli yang sesuai dengan perkembangan teknologi.
Pada akhirnya, tampaknya Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk merealisasikan mimpi antariksanya, seperti penguatan industri pendukung dan sumber daya manusia.
Tetapi, sesungguhnya itu bukanlah hal yang mustahil, jika kita bisa menghidupkan kembali semangat antariksa Indonesia yang ditinggalkan Sukarno. (D74)
Baca juga: Indonesia Perlu Bangun Bandar Antariksa?