Investigasi yang dilakukan Tirto menemukan kejanggalan dalam proses pencalonan Bagyo Wahyono-Fx Supardjo (Bajo), pasangan independen pesaing putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Solo 2020. Diduga pasangan tersebut ‘sengaja’ dimunculkan agar Gibran tak melawan kotak kosong. Lantas, jika benar demikian, mengapa kemunculan Bajo ini begitu penting?
Langkah putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi orang nomor satu di Kota Solo sepertinya semakin mendekati kenyataan. Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) yang dirilis sejumlah lembaga survei menjagokan pasangan Gibran-Teguh Prakosa sebagai pemenang Pilkada Kota Solo 2020.
Tak tanggung-tanggung, lembaga survei Charta Politika bahkan memprediksi kemenangan Gibran mencapai 87,15 persen, jauh meninggalkan pesaingnya yang maju dari jalur independen, Bagyo Wahyono-Fx Supardjo (Bajo) yang diprediksi hanya meraup 12,85 persen suara.
Meski masih terlalu dini untuk menyimpulkan hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun pasangan Bajo sendiri sudah mengakui kekalahannya atas Gibran. Sesaat setelah hasil quick count diumumkan, Bagyo menyatakan kesiapannya untuk bertanding ulang dengan Gibran di Pilkada Solo berikutnya yang dijadwalkan akan digelar pada 2024 nanti.
Sejak awal, sejumlah pihak sudah memprediksi kemenangan Gibran di kota kelahiran ayahnya itu memang bakal berjalan mulus. Ini tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa Ia maju sebagai Calon Wali Kota (Cawalkot) dengan bekingan hampir semua partai di DPRD Kota Solo, minus Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tak ayal pencalonannya itu kemudian diwarnai isu politik dinasti, meski telah dibantah berulang kali oleh Gibran.
Selain menyasar Gibran, isu miring nyatanya juga menerpa pasangan pesaingnya, Bajo. Kemunculan pasangan independen di tengah kuatnya dukungan terhadap Gibran menimbulkan spekulasi bahwa pasangan Bajo sebenarnya hanya ‘lawan boneka’ yang sengaja dipersiapkan untuk bertanding melawan anak presiden.
Meski telah dibantah berulang kali, namun faktanya spekulasi itu kini kembali menguat dengan munculnya dugaan adanya makelar KTP yang bermain untuk memuluskan pencalonan pasangan Bajo.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan Tirto, seorang pria bernama Sapardi mengaku menjadi ‘pengepul’ KTP untuk dukungan terhadap Bajo. Tak main-main, dana yang digelontorkan untuk penggalangan ini diklaim mencapai Rp 1,5 miliar.
Dugaan tersebut juga diperkuat oleh pengakuan sejumlah warga yang mengaku namanya dicatut untuk mendukung Bajo. Sapardi mengatakan kepada tim Tirto bahwa penggalangan ini dilakukan demi ‘kondusifitas’ kota Solo agar Gibran tak melawan kotak kosong di Pilkada 2020.
Dugaan ini kemudian menimbulkan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Jika benar Bajo adalah lawan boneka, mengapa kemunculannya sebagai rival Gibran menjadi begitu penting? Lalu jika investigasi Tirto ini memang benar adanya, lantas apa konsekuensinya bagi kehidupan demokrasi di Indonesia?
Koalisi Gibran Butuh Pesaing?
Kemunculan calon tunggal dalam kontestasi elektoral daerah sebenarnya bukan fenomena baru di Indonesia. Di sejumlah daerah, kuatnya dukungan terhadap salah satu calon sehingga menutup peluang calon lain untuk berkontestasi sudah sering terjadi.
Faktanya, jika kita berbicara mengenai aspek hukum, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XII/2015 telah menegaskan legalitas bagi pasangan calon tunggal untuk berkontestasi di Pilkada.
Kendati demikian, kemunculan calon tunggal dalam pesta demokrasi memang kerap mendapat kritikan publik terutama dari para pegiat kepemiluan. Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto dalam opininya di Media Indonesia menilai fenomena calon tunggal dapat melemahkan pelembagaan politik di tubuh partai.
Thomas Carothers, dalam bukunya yang berjudul Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric dan didominasi oleh lingkaran kecil elite politikus.
Saat elite pragmatis ‘mendagangkan’ dukungan partai jelang perhelatan kontestasi elektoral seperti pilkada, partai akan mengalami deinstitusionalisasi.
Di sisi lain, absennya rivalitas dalam kontestasi elektoral sedikit banyak juga dapat memengaruhi calon tunggal yang berkontestasi. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut calon tunggal dapat membuat jumlah pengguna hak pilih (voter turn out) menurun.
Kendati dari aspek legal memang dibenarkan, namun Titi menegaskan pasangan calon tunggal di pemilihan kepala daerah bukanlah satu-satunya pilihan bagi pemilih. Pemilih masih memiliki opsi lainnya, yaitu mencoblos kotak kosong.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, disenyebutkan bahwa pemenang Pilkada dengan calon tunggal harus memeroleh suara lebih dari 50 persen suara sah. Jika pada hasil akhirnya perolehan suara pada kotak kosong lebih banyak maka KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pemilihan serentak periode berikutnya.
Fenomena kemenangan kotak kosong pun sebenarnya sudah pernah beberapa kali terjadi. Misalnya pada Pilkada Kabupaten Pati pada 2017 lalu, di mana pasangan tunggal Haryanto-Saiful Arifin dikalahkan oleh kotak kosong. Hal serupa kembali terulang pada Pemilihan Wali Kota Makassar tahun 2018, di mana Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi kalah dari kotak kosong.
Berangkat dari sini maka dapat dikatakan keberadaan Bajo sebagai pesaing dari jalur independen nyatanya cukup esensial bagi kemenangan Gibran sendiri. Dari konteks partai politik, keberadaan Bajo sedikit banyak bisa mengalihkan perhatian publik pada sentimen politik kartel yang mewarnai pencalonan Gibran.
Fakta bahwa Gibran tidak berkontestasi melawan kotak kosong sekaligus bisa dijadikan alasan untuk menepis argumen bahwa Presiden Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk mengkapitalisasi dukungan politik bagi putranya.
Di sisi lain, entah disadari Gibran atau tidak, keberadaan rival nyatanya bisa mengurangi risiko adanya voter turn out sebagaimana diungkapkan Titi. Kemunculan pesaing yang tidak populer dengan modal politik minim rasionalnya akan lebih menguntungkan Gibran ketimbang harus bersaing dengan kotak kosong yang justru berpotensi mengurangi partisipasi pemilih, hingga bisa juga membuatnya kalah.
Asumsi ini semakin mendapat afirmasinya jika kita melihat kembali pernyataan-pernyataan Gibran sendiri yang sedari awal mengindikasikan ketidaksukaanya dengan wacana yang menyebut bahwa Ia akan melawan kotak kosong di Pilkada 2020.
Sekarang, jika memang investigasi Tirto benar adanya, bahwa Bajo diduga sengaja dipersiapkan agar Gibran tak melawan kotak kosong semata, lantas apa konsekuensinya bagi demokrasi di Indonesia?
Terjebak Demokrasi Semu?
Istilah demokrasi semu atau illiberal democracy pertama kali dipopulerkan oleh pengamat politik berkebangsaan Amerika-India, Fareed Zakaria.
Sebagaimana dikutip Dominic Eggel dalam tulisannya yang berjudul Illiberal Democracy: The Return of the Authoritarian Spectre, bagi Zakaria yang secara fundamental dipertaruhkan bukanlah demokrasi itu sendiri, melainkan demokrasi liberal, yang dicirikan tidak hanya oleh pemilihan umum yang bebas dan adil, tetapi juga oleh supremasi hukum, pemisahan kekuasaan dan perlindungan kebebasan sipil.
Demokrasi semu kemudian terjadi ketika rezim yang telah dipilih oleh mayoritas rakyat, di saat yang sama, merusak perlindungan konstitusional. Eggel kemudian menambahkan para pemimpin yang lahir dari demokrasi semu dapat dicirikan dari generalisasi sifat otoriter dari pemerintah terpilih dengan konsentrasi kekuasaan di eksekutif dan dukungan populer dari mayoritas.
Jika kita berkaca pada sejarah, fenomena demokrasi semu tergambar jelas pada gelaran Pemilu tahun 1971 yang merupakan gelaran pesta demokrasi pertama di era Orde Baru. Sejarawan Anhar Gonggong, dikutip dari Kompas menyebut momen itu sebenarnya menjadi peluang terbaik untuk mewujudkan kehidupan negara demokratis setelah Pemilu 1955.
Namun sayangnya Pemilu saat itu direkayasa dengan cara-cara yang justru antidemokrasi. Berbagai aturan dan tata cara dimanipulasi untuk memenangkan Golkar sebagai mesin politik rezim Orde Baru. Inilah yang disebut pseudo democracy atau demokrasi semu yang mengelabui rakyat.
Kemudian, jika memang investigasi terkait adanya operasi penggalangan KTP untuk memunculkan Bajo semata hanya untuk membuat Gibran tak melawan kotak kosong, maka Pilkada Kota Solo 2020 ini bisa dikategorikan terjebak dalam demokrasi semu.
Sebab, meski terlihat masyarakat diberikan opsi-opsi untuk memilih, namun pada kenyataannya, pilihan-pilihan tersebut telah diatur sedemikian rupa untuk menguntungkan salah satu calon.
Tak hanya berpotensi mencoreng kualitas demokrasi, penyalahgunaan KTP untuk kepentingan elektoral nyatanya jelas melanggar hukum. Ketua Dewan Pengurus Cabang Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Solo, Muhammad Taufiq menyebut pencatutan surat dan KTP dukungan itu dapat dijerat pidana sesuai Undang-Undang 10/2016 tentang Pilkada. Dan, jika terbukti ada pemalsuan dokumen KTP, bisa dijerat pidana dalam UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Namun sekali lagi perlu ditegaskan semua asumsi ini baru bisa diafirmasi jika hasil investigasi yang dilakukan Tirto dapat dibuktikan kebenarannya secara hukum.
Pada akhirnya, sekelumit ulasan ini hanyalah analisis teoretis yang masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Namun di titik ini, setidaknya kita bisa menarik kesimpulan mengapa pencalonan Bajo itu begitu penting bagi kemenangan Gibran di Pilkada Solo. Sementara terkait dugaan adanya penyalahgunaan KTP untuk dukungan elektoral, hanya waktu yang sanggup menjawabnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.