Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Bahlil Lahadalia yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi Menteri Investasi. Apakah posisi Bahlil sebagai pemimpin Kementerian Investasi yang baru ini menjadi kunci bagi strategi geo-ekonomi Jokowi?
Waktu luang merupakan hal yang kerap kali ditunggu bagi individu-individu yang kesehariannya diisi dengan setumpuk pekerjaan. Kadang kala, dalam waktu-waktu luang tersebut, aktivitas yang digemari menjadi jawaban sebagai pelipur stress.
Aktivitas yang digemari pun bisa banyak ragamnya. Ada beberapa individu yang suka menghabiskan waktu dengan membaca, ada pula yang lebih memilih untuk bermain gim video melalui konsol favoritnya.
Gim video pun bermacam-macam. Salah satu jenis gim video yang populer untuk dimainkan adalah gim-gim yang bertemakan sepak bola, seperti Pro Evolution Soccer (PES).
Baca Juga: Jokowi, Kapitalisme dan Super League
Tidak jarang, untuk memenangkan pertandingan-pertandingan yang disuguhkan dalam gim tersebut, diperlukan juga strategi dan taktik yang unik. Selain itu, formasi pemain juga tidak luput untuk diperhatikan.
Pentingnya formasi dalam strategi dan taktik permainan seperti ini tidak hanya berlaku bagi gim-gim video seperti PES, melainkan juga di bidang pemerintahan dan pengambilan kebijakan. Inilah yang mungkin juga mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengatur kembali formasinya.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi baru saja merombak susunan Kabinet Indonesia Maju kembali. Terdapat sejumlah perubahan struktur, seperti dileburnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek), serta pendirian Kementerian Investasi.
Jika mantan Wali Kota Solo tersebut tetap memilih Nadiem Makarim untuk kembali memimpin Kemdikbud-ristek, sosok lama juga ditunjuk sebagai pemimpin Kementerian Investasi, yakni Bahlil Lahadalia yang sebelumnya menjabat seagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang kemudian menjabat sebagai Menteri Investasi.
Menariknya, pendirian kementerian baru satu ini disebut-sebut juga bakal merubah struktur dan tata pengambilan kebijakan di bidang investasi. Jika sebelumnya BKPM menjadi tombak ujung investasi, kini peran tersebut diambil oleh Kementerian Investasi.
Beberapa hal yang mencolok dari kementerian ini mungkin adalah kewenangan yang bakal dimilikinya. Menurut Bahlil sendiri, Kementerian Investasi bisa membuat regulasi tersendiri – berbeda dengan BKPM yang sebelumnya hanya menjadi eksekutor atas berbagai kebijakan dan peraturan seperti undang-undang (UU) dan peraturan menteri (Permen).
Perubahan seperti ini tentu menarik. Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi tengah mempersiapkan strategi tertentu di bidang investasi.
Pertanyaannya adalah mengapa Jokowi mengambil perubahan serupa untuk urusan investasi. Mungkinkah kebijakan di bidang ekonomi – seperti investasi – berkaitan dengan kebijakan strategis di tingkat internasional?
Menuju Geo-ekonomi Indonesia?
Bukan tidak mungkin, perubahan proses pengambilan kebijakan investasi pemerintahan Jokowi ini bisa berkaitan dengan dinamika geopolitik di panggung internasional. Pasalnya, di tengah dunia yang saling terhubung, keamanan dan militer tidaklah menjadi satu-satunya sumber kekuatan (power) yang berarti bagi suatu negara.
Bisa jadi, perubahan proses pengambilan kebijakan investasi ini menjadi upaya pemerintahan Jokowi untuk mengambil sumber kekuatan yang berasal dari dimensi ekonomi. Hal-hal yang berkaitan dengan sumber power dari dimensi ekonomi dalam politik internasional ini kerap disebut sebagai geo-ekonomi.
Baca Juga: Jokowi “Lirik” Diplomasi Iklim Biden?https://platform.twitter.com/embed/Tweet.html?creatorScreenName=pinterpolitik&dnt=false&embedId=twitter-widget-1&features=eyJ0ZndfZXhwZXJpbWVudHNfY29va2llX2V4cGlyYXRpb24iOnsiYnVja2V0IjoxMjA5NjAwLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X2hvcml6b25fdHdlZXRfZW1iZWRfOTU1NSI6eyJidWNrZXQiOiJodGUiLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X3NwYWNlX2NhcmQiOnsiYnVja2V0Ijoib2ZmIiwidmVyc2lvbiI6bnVsbH19&frame=false&hideCard=false&hideThread=false&id=1387512811438460933&lang=id&origin=https%3A%2F%2Fwww.pinterpolitik.com%2Fin-depth%2Fbahlil-kunci-geo-ekonomi-jokowi&sessionId=317f3677e64f1a901d033b51bb2a5c81bd383043&siteScreenName=pinterpolitik&theme=light&widgetsVersion=2582c61%3A1645036219416&width=550px
Mikael Wigell dari Finnish Institute of International Affairs dalam tulisannya yang berjudul Conceptualizing Regional Powers’ Geoeconomic Strategies mendefinisikan geo-ekonomi sebagai penggunaan kekuatan ekonomi sebagai bagian dari geostrategi. Sembari mengutip Huntington, Wigell menyebutkan bahwa kekuatan ekonomi menjadi semakin penting untuk menentukan dominasi hingga subordinasi negara-negara kala konflik bersenjata semakin tidak mungkin untuk terjadi.
Pentingnya geo-ekonomi ini bisa saja terjadi akibat interdependensi ekonomi yang terjadi antarnegara. Setelah Perang Dunia II dan Perang Dingin berakhir, tatanan dunia menjadi lebih terstruktur dengan munculnya rezim-rezim internasional di berbagai bidang kebijakan – meskipun hanya beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) yang mengambil dominasi yang besar.
Namun, menariknya, dengan kekuatan ekonomi yang semakin penting ini, sejumlah negara ternyata mampu bangkit tanpa harus sepenuhnya mengandalkan kekuatan militer. Padahal, bila berkaca pada dinamika internasional pra-Perang Dunia II, keamanan dan kemampuan militer kerap menjadi determinan utama kuat tidaknya pengaruh suatu negara.
Terdapat beberapa unsur ekonomi yang menurut Wigell mampu menjadi kekuatan geo-ekonomi, seperti hubungan dagang, modal investasi, dan bantuan luar negeri. Dengan kekuatan ekonomi tersebut, negara-negara seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rusia, Brasil, Jerman, India, dan Jepang mampu memengaruhi perilaku negara lain.
Pentingnya geo-ekonomi ini mungkin juga dapat diamati dari bagaimana Tiongkok kini bangkit menjadi salah satu kekuatan adidaya di Asia – bahkan mungkin juga di dunia. Bahkan, banyak ahli Hubungan Internasional (HI) menilai bahwa kebangkitan Tiongkok ini akan berjalan dengan damai tanpa disertai konflik bersenjata dengan kekuatan-kekuatan tradisional seperti AS dan negara-negara Barat lainnya.
Asumsi akan kuatnya geo-ekonomi Tiongkok ini juga dijelaskan oleh Dan Ciuriak dalam tulisannya yang berjudul The Laws of Geoeconomic Gravity Fulfilled?. Setidaknya, banyaknya investasi langsung (foreign direct investment) atau FDI yang masuk membuat Tiongkok memiliki geo-ekonomi yang signifikan.
Banyak perusahaan-perusahaan asal AS – seperti Apple – membangun FDI yang masif di negara Tirai Bambu ini. Bahkan, Tiongkok disebut berhasil memanfaatkan berbagai FDI ini dengan mengembangkan inovasi teknologinya sendiri.
Lantas, bila geo-ekonomi menjadi penting bagi negara-negara – seperti Tiongkok – di masa saling terhubungnya ekonomi antarnegara, bagaimana dengan Indonesia? Mungkinkah Kementerian Investasi yang dipimpin Bahlil ini menjadi kesempatan Jokowi?
Bahlil Imbangi Luhut?
Bukan tidak mungkin, seperti apa yang dilakukan oleh Tiongkok, pemerintahan Jokowi mulai melihat pentingnya geo-ekonomi. Dengan mengoptimalkan regulasi yang memudahkan masuknya FDI, Indonesia bisa saja turut memaksimalkan kekuatan materialnya (material power).
Ini sejalan dengan definisi kekuatan material yang dijelaskan oleh John J. Mearsheimer – seorang profesor politik di University of Chicago, AS. Menurut Mearsheimer, kekuatan material turut menentukan posisi sebuah negara dalam mencapai status hegemoni.
Baca Juga: Korea Selatan, Jawaban Masalah Jokowi
Pasalnya, tingkat ketertarikan investasi Tiongkok dinilai juga mampu memberikan kekuatan lunak (soft power) – didefinisikan sebagai kemampuan negara A untuk membuat negara B memiliki keinginan dan kehendak yang sama. Inilah mengapa Tiongkok juga memiliki geo-ekonomi yang diwujudukan melalui investasi ke negara-negara lain, khususnya infrastruktur.
Dengan perubahan proses pengambilan kebijakan investasi, bisa jadi pemerintahan Jokowi ingin meningkatkan kekuatan material melalui geo-ekonomi. Ini bisa saja dilakukan dengan memberikan kewenangan lebih bagi BKPM (sekarang Kementerian Investasi).
Bila mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 90 Tahun 2007, BKPM tidak memiliki fungsi untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan investasi. Justru, penyusunan dan penetapan kebijakan-kebijakan di bidang tertentu ini lebih dilimpahkan pada kementerian – berdasarkan Perpres No. 68/2019.
Namun, apa yang membuat menarik dari dipilihnya Bahlil sebagai Menteri Investasi ini adalah bagaimana dirinya memandang kompetisi geo-ekonomi antara AS dan Tiongkok. Pasalnya, dalam sejumlah kesempatan, mantan Kepala BKPM tersebut memandang negatif investasi-investasi yang berasal dari negara Tirai Bambu.
Soal ketergantungan investasi kepada Tiongkok, misalnya, Bahlil menilai bahwa hal itu dapat berdampak buruk pada Indonesia. Pasalnya, Tiongkok dinilai memiliki tingkat komitmen yang buruk dalam menjalankan investasinya. Bahkan, Bahlil pun lebih mendukung untuk memperbanyak investasi masuk dari Jepang dan AS.
Bukan tidak mungkin, dengan kewenangan yang lebih ini, Bahlil bisa membawa pergeseran pada ketergantungan investasi yang selama ini disebut-sebut lebih condong ke Tiongkok. Apalagi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B. Pandjaitan kerap dianggap dekat dengan Tiongkok.
Dengan fungsi Kementerian Investasi yang lebih luas, kewenangan pembuatan Permen terkait investasi bisa saja lebih berada di tangan Bahlil. Dalam hal ini, keputusan akhir untuk memberikan regulasi investasi yang menguntungkan salah satu negara dapat diatur dengan lebih leluasa oleh kementerian baru ini.
Bila benar Bahlil akan membawa kebijakan investasi lebih condong ke AS, bukan tidak mungkin ini menjadi pertanda bahwa pemerintahan Jokowi mulai berupaya untuk melakukan pengimbangan kekuasaan dengan melibatkan negara Paman Sam ke dalam geo-ekonominya. Apalagi, Presiden AS Joe Biden juga telah menyatakan akan menggandeng negara-negara mitra di Asia-Pasifik untuk menghalau kekuatan Tiongkok.
Apalagi, dengan update terbaru atas krisis politik di Myanmar, pemerintahan Jokowi berusaha mengambil peran lebih dalam memberikan sejumlah solusi bersama ASEAN. Sejumlah ahli pun menyebutkan bahwa manuver Jokowi di krisis Myanmar ini bertujuan untuk menarik perhatian pemerintahan Biden di AS agar mau mendengarkan Indonesia dengan menampilkan diri sebagai negara yang mendukung prinsip-prinsip demokratis.
Meski begitu, gambaran kemungkinan akan adanya pergeseran kebijakan investasi antara AS dan Tiongkok ini masih belum dapat dipastikan. Lagipula, Presiden Jokowi sendiri belum mempublikasikan Perpres yang mengatur lebih lanjut soal tugas, peran, dan fungsi Kementerian Investasi. Mari kita tunggu saja bagaimana kelanjutannya nanti. (A43)
Baca Juga: Mengapa Jokowi-UEA Makin Mesra?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.