Isu kudeta Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar terus mencuat. Dari deretan nama-nama yang beredar sebagai pengganti Airlangga, muncul nama Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Mungkinkah Bahlil merupakan kandidat terkuat pengganti Airlangga?
“Bukannya ketua umum menarik partai, malah Golkar mengemban beban ketum,” begitu ungkap Sirajuddin Abdul Wahab, Inisiator Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG). Mengikuti perkembangannya, isu kudeta Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar tampaknya semakin kuat.
Sejauh ini, ada dua gestur penting yang sepertinya menjadi rem belum memuncaknya upaya kudeta. Pertama adalah pernyataan terbuka Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) pada 13 Februari 2022.
“Saya akan pasang badan, jika ada internal yang mengganggu pencalonan Airlangga sebagai capres Golkar,” begitu ungkapnya.
Suka atau tidak, pernyataan terbuka ini adalah pesan bahwa terdapat internal Golkar yang justru menghalangi Airlangga maju di Pilpres 2024. Keluarnya ARB setelah lama vakum di ruang publik juga merupakan pesan bahwa Airlangga berada di bawah perlindungannya.
Kedua adalah pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PAN, dan PPP. Koalisi ini adalah bahasa simbolis bahwa Airlangga mampu merangkul kekuatan politik di sekitarnya. Ini juga merupakan pesan bahwa dirinya mendapatkan tambahan kekuatan politik bagi siapa saja yang ingin mengganggu, baik untuk Pilpres 2024 maupun kursi Ketum Golkar.
Namun, dua gestur politik itu tampaknya hanya rem sementara. Mengutip artikel Kumparan yang berjudul Goyah di Pucuk Partai Golkar, telah beredar nama-nama yang dipercaya akan menggantikan posisi Airlangga sebagai Ketum Golkar.
Mereka adalah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet), Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang, Wakil Ketum (Waketum) Golkar Ahmad Doli Kurnia, dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali.
Terkait Bamsoet, ini bukan kejutan. Kita tentu masih ingat persaingan sengitnya dengan Airlangga dalam memperebutkan kursi Ketum Golkar pada 2019 lalu. Sementar,a nama Agus, Ahmad Doli, dan Zainudin Amali dinilai masih belum cukup kuat.
Yang paling menarik adalah sosok Bahlil. Setelah mengaku tidak aktif di Golkar selama sepuluh tahun, mantan Ketum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini justru menjadi salah satu sosok potensial pengganti Airlangga.
Lantas, seberapa besar modal politik (political capital) Bahlil untuk mengkudeta posisi Airlangga Hartarto dari Ketum Golkar?
Kekuatan Politik Bahlil
Mengutip Kimberly L. Casey dalam tulisannya Defining Political Capital, modal politik merupakan metafora yang digunakan untuk menggambarkan gabungan berbagai modal yang membuat politisi memiliki daya tawar.
Mengutip teori interconvertibility dari Pierre Bourdieu, Casey memetakan berbagai jenis modal yang dapat menjadi modal politik, yakni modal institusional, modal sumber daya manusia (SDM/human capital), modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik, dan modal moral.
Meskipun dapat dipetakan menjadi tujuh jenis, Casey menegaskan pada dasarnya tidak ada modal politik yang murni atau baku. Artinya, besar tidaknya daya tawar suatu modal tergantung atas pasar politik atau modal apa yang tengah dibutuhkan.
Terkait konteks merebut kursi Ketum Golkar, setidaknya ada tiga modal yang paling penting, yakni kekayaan personal, dukungan elite politik, dan dukungan akar rumput partai.
Pertama, berbicara soal kekayaan, Bahlil dapat dikatakan yang terdepan. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2020, kekayaan Bahlil mencapai Rp300 miliar. Agus Gumiwang Rp197,4 miliar (LHKPN 2021), Bamsoet Rp98 miliar (LHKPN 2019), Zainudin Amali Rp20,5 miliar (LHKPN 2021), dan Ahmad Doli Rp14 miliar (LHKPN 2019).
Selain sebagai simbol kekuatan personal, sudah menjadi rahasia umum bahwa mengadakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) membutuhkan dana yang besar.
Kedua, terkait dukungan elite politik, Bahlil kembali disebut sebagai yang terdepan. Pasalnya, kembali mengutip Kumparan, pada Lebaran kemarin Bahlil disebut sudah mengungkapkan keinginannya secara terbuka menjadi Ketum Golkar di hadapan Menteri BUMN Erick Thohir, Ketua DPR Puan Maharani, Menteri Perdagangan M. Luthfi, dan Bamsoet. Menariknya, Bamsoet disebut memberikan dukungan.
Selain itu, Bahlil juga dipercaya memiliki kedekatan khusus dengan Presiden Jokowi. Ini terbukti dari dibuatnya kementerian baru dan diangkatnya Bahlil menjadi Menteri Investasi. Konteksnya mirip dengan Luhut Binsar Pandjaitan yang membuat RI-1 mengganti nama jabatan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman menjadi Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves).
Sementara terkait posisi Luhut, ada dua informasi yang beredar. Di satu sisi Luhut disebut tidak mendukung Bahlil karena dinilai belum berpengalaman memimpin Golkar. Namun, di sisi lain, Bahlil disebut-sebut menjadi salah satu orang kepercayaan Luhut saat ini.
Ketiga, sayangnya, untuk modal ini Bamsoet adalah yang terdepan. Dalam AD/ART Partai Golkar, tepatnya Pasal 39 ayat 3, terdapat syarat teknis untuk menggelar Munaslub, yang salah satunya adalah permintaan dan/atau persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi.
Sebagai sosok terkuat pesaing Airlangga pada Munas X Golkar, Bamsoet telah memiliki dan merawat loyalisnya sampai saat ini. Namun, seperti yang disebutkan sebelumnya, jika benar Bamsoet mendukung Bahlil, bukan tidak mungkin loyalisnya akan diarahkan untuk mendukung mantan Ketum HIPMI tersebut.
Well, merangkum ketiga modal politik itu, tampaknya tidak berlebihan mengatakan Bahlil adalah kandidat terkuat pengganti Airlangga jika Munaslub benar-benar diselenggarakan.
Golkar adalah Partai Rasional
Setelah mengulas modal politik Bahlil, ada satu lagi penjelasan penting yang perlu dipahami. Tidak seperti Partai Gerindra dan PDIP, Golkar bukan merupakan personalisasi partai. Langgengnya kekuasaan partai beringin tidak dibangun di atas sosok sentral, melainkan melalui pengalaman mereka dalam mengelola konflik internal.
Akbar Tandjung dalam buku The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik, menyebut Golkar sebagai catch-all party atau partai yang fleksibel untuk bersinergi, plus menarik massa dari berbagai karakteristik, latar belakang, dan ideologi.
Akbar menyebut kunci keberhasilan Partai Golkar mampu beradaptasi dengan berbagai turbulensi politik adalah karena, sejak awal, partai ini memposisikan diri sebagai kekuatan politik yang terbuka (catch-all party) dan tidak menganut ideologi politik yang ekstrem – baik kiri maupun kanan.
Sikap politik terbuka yang dimaksud adalah kepemimpinan partai yang tidak tersentralisasi dan merangkul sebanyak mungkin kelompok sosial untuk kepentingan pemilu. Sikap politik yang moderat dan terbuka tersebut memudahkan partai untuk menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi politik.
Selain memposisikan diri sebagai partai terbuka, yang paling menarik dari Partai Golkar adalah kemampuan mereka mengelola konflik internal menjadi keunggulan. Sejak Reformasi, partai ini selalu dihadapkan pada friksi internal perebutan posisi ketua umum. Namun anehnya, tidak seperti partai-partai yang mengalami kemunduran, partai beringin justru tetap kokoh sebagai partai penguasa.
Kata kunci atas hal ini ada dua, yakni kepemimpinan yang tidak tersentralisasi dan sikap partai yang rasional. Suka atau tidak, mudah membayangkan bahwa personalisasi partai seperti PDIP dan Gerindra akan mengalami kemunduran apabila Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri tidak lagi menjadi ketua umum partai. Kedua partai ini belum memiliki pengalaman mengelola konflik internal seperti Golkar.
Kemudian, prestasi Golkar yang selalu dekat dengan kekuasaan merupakan buah dari sikap partai yang rasional. Sebagai partai yang kadernya banyak diisi pengusaha, Golkar tampaknya menjadikan kalkulasi untung-rugi khas ekonomi menjadi acuan kebijakan partai.
Ini pula yang menjadi alasan Airlangga berusaha dikudeta. Berbagai tokoh Golkar menilai elektabilitas Airlangga yang rendah akan menjadi beban partai di Pemilu 2024. Bahkan ada kalkulasi yang menyebut Golkar hanya akan memperoleh 60 kursi di Pileg 2024, menurun dari 85 kursi pada Pileg 2019.
Seperti pernyataan Sirajuddin Abdul Wahab di awal tulisan, jangan sampai Airlangga justru menjadi beban partai. Keputusan Munas X Golkar untuk menjadikan Airlangga sebagai capres di 2024 justru menjadi beban besar yang harus dipikul oleh kader partai beringin.
Sebagai penutup, jika benar Bahlil akan menggantikan Airlangga Hartarto sebagai Ketum Golkar, maka tantangan terbesarnya adalah menjaga dan/atau meningkatkan perolehan kursi partai beringin pada Pemilu 2024. Lantas, mampukah Menteri Investasi itu melakukannya? (R53)