HomeNalar PolitikBahar bin Smith, Benalu Prabowo?

Bahar bin Smith, Benalu Prabowo?

Penahanan Habib Bahar bin Smith karena kasus penganiayaan menjadi ganjalan bagi Prabowo.


PinterPolitik.com

[dropcap]V[/dropcap]ideo seseorang berjubah putih dengan rambut pirang terurai sedang menarik rambut seorang bocah dan membenturkan ke lututnya beredar luas di media sosial. Belakangan diketahui yang melakukan tindakan penganiayaan dalam video itu adalah Habib Bahar bin Smith, pendakwah yang kerap melontarkan kritik keras kepada rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Atas dasar video itu, sang habib menjadi tersangka dan kini harus ditahan. Bahar dijerat dengan pasal 170 KUHP dan/atau 351 KUHP dan/atau pasal 80 UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Sebelumnya, Bahar juga menjadi tersangka setelah dirinya dilaporkan karena melakukan ujaran kebencian terhadap Presiden Jokowi.

Tentu saja kasus yang menimpa Bahar ini memiliki implikasi politik, khususnya dalam konteks elektoral. Sikap politiknya jelas, ia membenci Jokowi dan mendukung pencapresan lawan sang presiden, Prabowo Subianto.

Maka, mudah untuk menilai bahwa Bahar masuk dalam barisan pendukung Prabowo. Namun, sikap dan kata-katanya yang cenderung kasar, ditambah statusnya yang kini menjadi tahanan karena penganiayaan anak di bawah umur, memberikan dampak politik yang negatif terhadap Prabowo.

Oleh karenanya, langkah sang habib dinilai akan cukup mengganjal Prabowo pada Pilpres mendatang. Benarkah demikian.

Kasus Bahar bin Smith menjadi benalu bagi Prabowo? Share on X

Bahar dan Sikap Anti-Jokowi

Peran habib – sebutan yang sering diberikan pada orang-orang bergelar sayid atau keturunan Nabi Muhammad – di Indonesia bisa dilacak setidaknya dari abad ke-16. Mereka membawa ajaran tariqa alawiyah, seperti tradisi ziarah atau merayakan maulid, serta ajaran sufi lainnya. Sementara kehadiran klan Smith baru masuk ke Indonesia pada gelombang kedua, yakni pada abad ke 19.

Menurut analis dari Bowergroup Asia, Ahmad Syarif Syechbubakr, peran para habib semakin penting pada periode 1990-an. Ia berpendapat, saat itu mulai tumbuh persaan untuk memeluk identitas religius pada masyarakat, sehingga munculnya tokoh agama menjadi semakin diminati. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok pengajian atau majelis zikir juga semakin popular.

Meningkatnya peran habib dalam masyarakat ditandai dengan kemunculan Habib Munzir al-Musawa, pimpinan Majelis Rasulullah (MR). Munzir terkenal karena karakternya yang karismatik dan toleran, bahkan ia memperbolehkan umat Islam untuk mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani. Munzir melarang penggunaan kata-kata yang menyinggung dalam ceramah.

Sayangnya, Munzir meninggal pada 2013 dan posisinya di MR digantikan oleh saudara laki-lakinya, Habib Nabiel al-Musawa yang adalah mantan anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pada periode yang sama, muncul juga habib lain, yakni Rizieq Shihab dengan organisasinya Front Pembela Islam (FPI) yang mulai bersinar dengan gayanya yang berapi-api dalam berkhotbah. MR dan FPI mewakili dua aliran politik utama di komunitas Sayyid atau komunitas yang mewakili garis keturunan nabi.

Sejak pelarangan penggunaan Monumen Nasional (Monas) untuk kegiatan pengajian oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memang membuat hubungan antara MR dengan Gubernur DKI Jakarta saat itu renggang. Sebab, Monas adalah simbol kekuatan dan pengaruhnya MR. Saat itu pula, anggapan bahwa Ahok anti Islam tumbuh di kalangan MR.

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Akibatnya, banyak pemimpin – terutama habib-habib muda – MR sepeninggal Habib Munzir, loncat ke tubuh FPI. Mereka melihat FPI sebagai satu-satunya organisasi yang mau melawan Ahok.

Sementara itu, Bahar bin Smith diketahui mengisi wajah baru dalam barisan para pemuka agama yang rajin melontarkan kritik kepada Jokowi. Namanya bersinar setelah aktivitasnya pada momen Aksi Belas Islam tahun 2017 lalu.

Bahar bin Smith lahir di Manado tahun 1985. Dirinya dianggap sebagai pewaris keturunan Nabi Muhammad dari kakek buyutnya Habib Alwi bin Abdurrahman bin Smith yang berasal dari Hadramautsebuah provinsi Yaman.

Karena hal tersebut, Habib Bahar sangat dihormati oleh kalangan pengikutnya. Dalam pandangan umum masyarakat Indonesia, seorang keturunan nabi dianggap memiliki kesucian. Bahkan Syamsul Rijal dalam penelitiannya yang berjudul Habaib, Markets and Traditional Islamic Authority: The Rise of Arab Preachers in Contemporary Indonesia, menyebut bahwa bagi kalangan pengikut, menyentuh tangan atau jubah sang habib saja dipercaya akan mendapatkan keberkahan tersendiri.

Habib Bahar jelas memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingannya menjaring pengikut. Status alawiyyin atau keturunan nabi digunakan untuk melegitimasi ketokohannya.

Ketokohan Bahar terbukti membuahkan hasil. Tidak sedikit pengikutnya berada dalam wadah Majelis Pembela Rasulullah atau Pesantren Tajul Alawiyyin yang ia pimpin, seiring meningkat pula popularitasnya di hadapan publik.

Nama Bahar semakin populer secara luas setelah videonya “menghina” Presiden Jokowi beredar luas. Dalam kadar tertentu, cara Bahar ini memang mirip dengan Rizieq Shihab.

Dalam konteks politik, kasus yang kini menimpa junjungannya oleh para pendukungnya dianggap sebagai kriminalisasi karena kritiknya terhadap Jokowi.

bahar bin smith benalu prabowo

Bahar dan Wavering Support

Bagaimanapun juga, kesan Bahar sulit dilepaskan dari pencapresan Prabowo. Meski bukan orang di lingkaran utama, namun dakwahnya yang membawa isu politik memberikan pengaruh di akar rumput, apalagi dalam konteks polarisasi yang terjadi di masyarakat.

Video ceramah Bahar yang mengkritik Jokowi dengan mengatakan bahwa sang presiden adalah banci dapat dengan mudah ditemukan di Youtube. Bahkan dalam sebuah unggahan lain, ia menuding Jokowi memberikan kelonggaran terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk hidup kembali di Indonesia.

Selain Jokowi, nama besar lain yang menjadi “bahan” Bahar adalah Kapolri Tito Karnavian dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.

Sementara itu, bagi kubu Prabowo isu terkait Bahar dianggap sebagai kriminalisasi ulama. Hal itu seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua DPR, Fadli Zon. Politisi Partai Gerindra itu menyebut bahwa rezim Jokowi kembali melakukan kriminalisasi ulama. Komentarnya itu mendapatkan reaksi dari banyak orang. Tidak sedikit yang langsung beraksi keras sebab berdasarkan video yang beredar, memang aksi Bahar mutlak dianggap sebagai tindakan penganiayaan atau kejahatan.

Apalagi, kasus yang menjerat Bahar adalah aksi penganiayaan terhadap anak di bawah umur, sehingga tudingan kriminalisasi sulit untuk diterima.

Bahkan, Bahar akan dianggap melakukan blunder dan menjadi ganjalan bagi Prabowo, sosok yang secara tidak langsung ia bela.

Dalam kadar tertentu, masyarakat bisa mengalihkan perhatiannya kepada Jokowi karena perilaku Bahar tersebut, terutama bagi swing voters atau undecided voters alias mereka yang belum menentukan pilihan politiknya.

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Hal ini sejalan dengan pendapat dosen komunikasi politik dari Universitas Komputer Indonesia, Adiyana Slamet yang menyebut bahwa kasus Bahar menjadi blunder bagi Prabowo.

Sebab, dalam Islam tidak mengajarkan caci maki atau tindak kekerasan. Fenomena ini akan mengakibatkan wavering support atau keraguan dalam menentukan dukungan terhadap Prabowo.

Implikasi politiknya, akan ada undecided voters yang akhirnya memutuskan tidak memilih Prabowo dan beralih pada Jokowi, atau memilih untuk golput.

Jika diperhatikan secara lebih seksama, ragu-ragu dalam menentukan pilihan politik bukanlah hal baru dalam koridor demokrasi, dan seringkali, kasus-kasus negatif yang diasosiasikan dengan kandidat tertentu, justru menjadi pijakan bagi mereka untuk menentukan pilihan politiknya.

Hal ini bisa dilihat pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 lalu, di mana banyak pemilih dari kelompok undecided voters akhirnya tidak memilih Hillary Clinton karena dirinya tidak disukai, katakanlah terkait kasus kebocoran email, dan beberapa persoalan negatif yang dituduhkan padanya.

Walaupun demikian, konteks keraguan yang muncul pada Pilpres AS itu lebih kepada faktor kandidat itu sendiri. Sementara yang terjadi di Indonesia saat ini lebih kepada persoalan Habib Bahar sebagai pendukung Prabowo.

Ganjalan Prabowo?

Memang, belum bisa dipastikan seberapa besar dampak yang akan diberikan oleh kasus Bahar terhadap Prabowo. Namun, Prabowo perlu berhati-hati sebab kejadian seperti Bahar kemungkinan akan merugikan pihaknya. Apalagi jumlah undecided voters tidak sedikit.

Menurut beberapa survei, kelompok swing voters ini jumlahnyamencapai 40 persen dari total keseluruhan pemilih. Bagi kelompok ini, alasan yang mendasari mereka belum menentukan pilihan karena cenderung belum menemukan narasi yang berbobot dari kampanye yang dilakukan oleh dua belah pihak.

Selain itu, mereka lebih memilih untuk menunggu hingga waktu pencoblosan tiba. Oleh karena itu, kasus Bahar ini sedikit banyak akan memberikan preferensi kepada undecided voters dan akan mempengaruhi elektabilitas Prabowo.

Perlu dicermati juga terkait adanya fenomena doublethink di Indonesia. Fenomena ini biasanya terjadi saat detik-detik terakhir masa pencoblosan di mana kampanye yang sudah dibangun dengan baik akan runtuh dengan percuma apabila masyarakat berpikir tentang keburukan dari calon yang semula mereka dukung.

Fenomena doublethink menggejala saat Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Kala itu, meski banyak yang mengaku puas dengan kinerja Ahok, namun pada akhirnya beralih memilih Anies Baswedan di menit-menit terakhir. Isu soal penistaan agama menjadi pemicunya.

Pada akhirnya, kasus yang menimpa Habib Bahar karena kasus penganiayaan harus disikapi dengan cermat oleh kubu Prabowo. Bagaimanapun juga sangat mungkin hal ini berefek negatif bagi tingkat keterpilihan sang jenderal. (A37)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Unikop Sandi Menantang Unicorn

Di tengah perbincangan tentang unicorn, Sandi melawannya dengan konsep Unikop, unit koperasi yang memiliki valuasi di atas Rp 1 triliun. Bisakah ia mewujudkannya? PinterPolitik.com  Dalam sebuah...

Emak-Emak Rumour-Mongering Jokowi?

Viralnya video emak-emak yang melakukan kampanye hitam kepada Jokowi mendiskreditkan Prabowo. Strategi rumour-mongering itu juga dinilai merugikan paslon nomor urut 02 tersebut. PinterPolitik.com Aristhopanes – seorang...

Di Balik Tirai PDIP-Partai Asing

Pertemuan antara PDIP dengan Partai Konservatif Inggris dan Partai Liberal Australia membuat penafsiran tertentu, apakah ada motif politik Pilpres? PinterPolitik.com  Ternyata partai politik tidak hanya bermain...