Jokowi terus menggenjot sertifikasi hingga mencapai 9 juta di tahun 2019.
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]impang, begitulah kondisi kepemilikan tanah di negeri ini. Lebih dari 70 persen tanah di Indonesia dimiliki oleh hanya segelintir orang. Rakyat, terutama dari golongan tidak mampu, tidak dapat menikmati kemewahan serupa segelintir elit tersebut.
Selain timpang, kepemilikan lahan juga kerap diwarnai dengan kasus sengketa tanah. Sudah berkali-kali berita tentang konflik agraria mengemuka di media. Tidak jarang, konflik ini menimbulkan korban luka hingga korban nyawa. Persoalan legalitas tanah menjadi sebab segala konflik tersebut.
PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) ternyata masih belum bisa menjadi solusi persoalan tersebut. Sudah lebih dari 30 tahun berjalan, hasil dari program ini masih belum benar-benar memuaskan. Kondisi ini membuat Jokowi tidak tinggal diam.
Dalam berbagai lawatannya ke daerah, Jokowi kerapkali menyertakan agenda bagi-bagi sertifikat tanah. Beberapa orang menilai bahwa Jokowi tengah melakukan agenda bagi-bagi tanah serupa land reform atau reforma agraria. Akan tetapi, benarkah Jokowi tengah membagikan tanah secara begitu saja kepada rakyat?
Tanah yang Rawan Sengketa
Bukan Jokowi namanya jika tidak membagikan sertifikat tanah saat berkunjung ke daerah. Selain membagi sepeda, mantan Wali Kota Solo tersebut juga rajin membagi sertifikat tanah kepada rakyat di wilayah yang ia sambangi.
Merujuk pada data yang dirilis Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), pada tahun 2016, persentase tanah yang sudah memiliki sertifikat hanya mencapai 56 persen saja. Hal ini berarti lebih dari separuh tanah di dalam negeri masih belum jelas aspek legalitasnya.
Berkaca dari kondisi tersebut, Jokowi langsung menggenjot pembenahan sertifikat tanah ini. Program sertifikasi tanah menjadi salah satu program utama dari Kabinet Kerja. Agenda ini dimasukkan ke dalam Paket Kebijakan Ekonomi VII.
Jokowi langsung meminta Kementerian ATR tancap gas. Menteri ATR Sofyan Djalil dibebani target cukup tinggi setiap tahunnya. Pada tahun 2017, pemerintah menargetkan agar ada 5 juta lahan yang selesai proses sertifikasinya. Di tahun 2018, target ini meningkat menjadi 7 juta. Di penghujung masa jabatan, tahun 2019, ditargetkan ada 9 juta lahan yang mendapat sertifikat.
Niat menggebu untuk membagi sertifikat tanah ini memang ada alasannya. Bagi masyarakat, sertifikasi ini dapat menjadi bukti jika terjadi sengketa. Masyarakat memiliki bukti legalitas yang kuat jika nanti kepemilikan lahan tersebut ada yang menggugat.
Pemerintah juga menekankan aspek keuntungan finansial dari kebijakan ini. Tanah yang sudah memiliki sertifikat dapat dijaminkan untuk mengakses berbagai layanan keuangan baik itu perbankan, koperasi, atau Kredit Usaha Rakyat (KUR). Hal ini dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan bantuan permodalan untuk menjalankan usaha.
Bagi pemerintah sendiri, tanah yang tidak bersertifikat mengganjal mereka dalam proses pembangunan infrastruktur. Tanpa sertifikat yang jelas, proses pembebasan lahan kerapkali terganggu karena tidak diketahui pihak mana yang benar-benar berhak atas suatu lahan.
Bagi-bagi Sertifikat
Benarkah Jokowi membagi-bagikan sertifikat tanah tersebut begitu saja? Di atas kertas, sertifikat ini tidak dibagikan secara cuma-cuma. Yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi sebenarnya lebih merupakan percepatan proses sertifikasi tanah.
Langkah Jokowi ini sebenarnya lebih dapat dipandang sebagai percepatan dari program Prona yang sudah lebih dahulu ada. Percepatan yang dilakukan pemerintah saat ini memang diperlukan karena program yang sudah ada sejak lama tersebut tidak kunjung memberikan kemajuan berarti.
Ada proses yang harus ditempuh terlebih dahulu jika ingin menikmat sertifikat tanah tersebut. Sebelum sertifikat dapat dibagikan, tim Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) akan terlebih dahulu menyisir wilayah yang terdata.
Selanjutnya, akan ada tahapan-tahapan yang ditempuh seperti pengumpulan data, verifikasi, penghitungan tanah dan surat-surat yang sudah terselesaikan tersebut oleh pihak BPN. Berbeda dengan sistem sebelumnya, melalui program ini terjadi sistem jemput bola sehingga pengurusan lahan tidak lagi dilakukan secara individu.
Setelah semua proses selesai, barulah Presiden akan membagi-bagikan sertifikat kepada masyarakat yang sudah terdata. Hal ini berarti Presiden tidak benar-benar membagikan sertifikat secara tiba-tiba, melainkan memberikan tanah kepada pemiliknya yang sudah mengikuti program PTSL.
Program ini memang mempercepat proses sertifikasi tanah. Jika tanah diurus oleh individu misalnya, durasi yang dibutuhkan umumnya akan memakan waktu 60 hingga 120 hari. Melalui PTSL, lama waktu tersebut dipangkas menjadi 45 hari.
Percepatan ini memang benar-benar diperlukan agar sengketa tanah tidak terjadi terus-menerus. Akan tetapi, beberapa kalangan mencium aroma populisme dari kebijakan ini. Meski bermanfaat, percepatan ini dipandang sebagai salah satu strategi untuk memuluskan jalan di 2019.
Target yang diusung pemerintah terlampau ambisius. Angka yang menjadi target pemerintah terus-menerus meningkat setiap tahunnya. Di ujung masa jabatan, sebanyak 9 juta sertifikasi lahan rampung menjadi target yang dikejar.
Angka-angka tersebut bukanlah target yang mudah diwujudkan. Pada tahun 2017 misalnya, target pemerintah untuk menyelesaikan 5 juta sertifikat tidak tercapai. Di tahun itu, Kementerian ATR hanya mampu memenuhi 4,2 juta saja.
Ada beragam penyebab mengapa target itu tidak mudah untuk dicapai. Maraknya sengketa lahan membuat target 5 juta di tahun 2017 tidak tercapai. Selain itu, pembiayaan juga menyulitkan langkah pemerintah untuk menyelesaikan sertifikasi lahan. Di tahun 2017, hanya 2 juta bidang saja yang mampu dibayai oleh APBN.
Reforma Agraria?
Jika dilihat jauh ke belakang, reforma agraria menjadi salah satu agenda utama Jokowi. Pada kampanye Pilpres 2014, ia telah mengingatkan pentingnya hal ini. Hal ini masih berlanjut ketika ia terpilih. Untuk melancarkan hal itu, Jokowi sampai harus membuat nomenklatur baru di dalam kabinetnya.
Dalam pengertian yang sempit, reforma agraria berarti langkah untuk meredistribusi kepada petani-petani kecil yang tidak memiliki tanah. Menurut Richard F. Doner, dalam reforma agraria ada elemen penyebaran kekayaan dan kapasitas produktif.
Membahas pernyataan Amien Rais mengenai sertifikasi tanah oleh Jokowi.
Tidak ada yang salah dengan sertifikasi tanah Jokowi. Tapi, jika itu dikaitkan dengan Reforma Agraria. Ini yang perlu diluruskan," Dewi Kartika. pic.twitter.com/QhsUihbOaV
— Tanah untuk Rakyat (@SeknasKPA) March 22, 2018
Apakah pembagian sertifikat tanah ini adalah wujud dari reforma agraria? Sulit untuk mengatakan kebijakan bagi-bagi sertifikat tanah ini sebagai reforma agraria secara penuh. Hal ini dikarenakan begitu jauhnya program bagi-bagi sertifikat ini dengan redistribusi lahan.
Program ini masih sulit untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan kepemilikan lahan. Tidak ada distribusi ulang dari tanah-tanah yang dimiliki oleh segelintir elit kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah. Lahan yang hak guna usahanya habis tidak serta-merta diberikan kepada rakyat melalui program ini.
Pemerintah lebih bersikap sebagai pihak yang mempermudah sertifikasi lahan ketimbang meredistribusinya. Tanah yang sertifikatnya dibagi-bagikan oleh pemerintah sejatinya adalah kepunyaan pemiliknya masing-masing. Program ini hanya mempercepat dan mempermudah pemberian sertifikat kepada mereka. Secara konsep, apa yang dilakukan pemerintah saat ini lebih tepat jika dikategorikan sebagai legalisasi lahan.
Pemberian sertifikat tanah dari pemerintah kepada rakyat memang benar-benar terjadi. Akan tetapi, hal ini tidak berarti tanah yang sudah ada tiba-tiba didistribusikan kepada rakyat. Program ini lebih tepat dikategorikan sebagai percepatan proses sertifikasi tanah ketimbang bagi-bagi sertifikat saja. Jokowi hanya hadir sebagai penyempurna dari proses tersebut dengan membagikan sertifikat secara seremonial. (H33)