Pimpinan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Abu Bakar al-Baghdadi tewas setelah pasukan khusus Amerika Serikat (AS) menyerbu persembunyiannya di Desa Barisha, barat laut Suriah. Namun, tewasnya teroris yang paling diburu di dunia ini diprediksi tidak akan diikuti dengan kehancuran ISIS. Selain itu, kematian Baghdadi justru membuat dunia bersiap menghadapi serangan balasan dari ISIS, termasuk Indonesia.
PinterPolitik.com
Potensi serangan balik ini salah satunya diutarakan oleh juru bicara Badan Intelijen Negaral (BIN), Wawan Hari Purwanto yang mengatakan bahwa dalam upaya kontra-terorisme yang seperti perang, biasanya ada serangan balik.
Hal senada juga diutarakan oleh Kepala Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri, Asep Adi Saputra.
Menurut Asep, kematian Baghdadi menjadi kewaspadaan bagi Polri dan pasukan khusus anti-terorisme kepolisian, Densus 88, agar tetap melakukan upaya penegakkan hukum. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa seluruh jaringan ISIS yang ada di Indonesia berada dalam pemantauan.
Lalu, mengapa kematian Baghdadi tidak diikuti dengan kehancuran ISIS dan seperti apa kematiannya akan berpengaruh pada gerakan terorisme di Indonesia?
Tetap Aktif
Menurut Jenna Jordan, profesor asal Georgia Institute of Technology, kematian pimpinan suatu kelompok teroris tidak serta merta berujung pada kehancuran kelompok tersebut.
Ia mejelaskan ada dua faktor yang menentukan hancur-tidaknya kelompok teroris jika pimpinanannya ditangkap atau tewas.
Pertama adalah birokrasi. Jordan menjelaskan bahwa seperti organisasi pada umumnya, kelompok teroris dapat memiliki struktur birokrasi yang lengkap bahkan kompleks.
Struktur ini memiliki unsur pimpinan, administrasi, keuangan, hingga cabang-cabang di daerah berbeda yang memiliki pembagian tugasnya masing-masing, namun beraktivitas sesuai dengan arahan dan aturan pimpinannya.
Kejelasan struktur, aturan, serta rutinitas inilah yang kemudian membuat kelompok teroris tertentu dapat bertahan dan secara cepat mengganti struktur kepemimpinannya yang hilang.
Jordan juga menambahkan bahwa kelompok teroris yang lebih tua, besar, dan pergerakannya berdasarkan alasan religi cenderung lebih mampu bertahan dibanding kelompok yang lebih baru, kecil, dan berjuang dengan alasan ideologi.
Faktor kedua adalah dukungan publik terhadap kelompok tersebut.
Dukungan ini menjadi penting karena bantuan masyarakat memudahkan kelompok teroris dalam melakukan rekrutmen, mengumpulkan dana, hingga membantunya bersembunyi dari pemerintah.
Dukungan ini pada akhirnya juga akan memudahkan kelompok teroris untuk melakukan re-orgnisasi ketika diserang.
Dalam tulisannya, Jordan mencontohkan bagaimana kematian berturut-turut petinggi-petinggi Al-Qaeda, seperti Osama bin Laden, Abu Yahya al-Libi, dan Atiyah Abd al-Rahman sepanjang 2011-2012 tidak berhasil menghancurkan kelompok teroris tersebut.
Kematian-kematian ini, lanjut Jordan, hanya melemahkan kelompok teroris untuk sementara waktu dan waktu tersebut akan digunakan oleh sisa organisasi tersebut untuk melakuan re-organisasi struktur kepemimpinanya.
Oleh karena itu, menurut Jordan, ketika pimpinan teroris berhasil dibunuh, hal penting selanjutnya adalah mencegah sisa-sisa kelompoknya berkumpul dan melakukan re-organisasi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Max Abrahams dan Philip B.K. Potter.
Dalam tulisan yang berjudul Explaining Terrorism: Leadership Deficits and Militant Group Tactics, keduanya berpendapat bahwa defisit atau kekosongan kepemimpinan tidak serta merta membuat kelompok teroris berhenti melakukan serangan.
Bahkan, defisit kekosongan ini dapat membuat kelompok teroris meningkatkan serangannya terhadap masyarakat sipil.
Keduanya menjelaskan bahwa di Timur Tengah dan Afrika Utara, pimpinan kelompok teroris memiliki strategi untuk tidak menjadikan masyarakat sipil sebagai target serangan demi meraih dukungan publik.
Strategi ini kemudian bergantung pada kontrol pemimpin ataupun petinggi kelompok tersebut terhadap anak buahnya yang memiliki insentif lebih kuat untuk menyerang masyarakat sipil.
Oleh karena itu, defisit kepemimpinan justru dapat mengakibatkan peningkatan serangan teroris terhadap masyarakat sipil karena hilangnya kontrol dalam kelompok tersebut untuk menentukan target apa yang boleh diserang.
Pengalaman Indonesia
Fenomena-fenomena di atas tidak hanya terjadi di negara-negara lain.
Kelompok teroris domestik yang ada di Indonesia juga nyatanya tetap eksis meskipun pimpinan dan petingginya ditangkap ataupun tewas setelah berhasil diburu aparat keamanan.
Ambil contoh Jamaah Islamiyah (JI), kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan bertanggung jawab atas serangan bom besar seperti Bom Bali tahun 2002 dan 2005, serta Bom Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004.
Kelompok yang dibentuk pada tahun 1993 ini tetap aktif meskipun pendiri dan pimpinannya, Abu Bakar Ba’asyir serta Para Wijayanto, mendekam di penjara.
Pun kelompok ini tetap hidup meskipun petinggi-petingginya seperti Noordin M. Top dan Dr. Azhari tewas dalam penggerebekan polisi.
Kemudian ada juga Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok pecahan JI yang kemudian berafiliasi dengan ISIS.
Kelompok yang berada di balik beberapa serangan bom seperti di Sarinah, Kampung Melayu, dan Surabaya ini tetap aktif meskipun pada tahun lalu pimpinannya Aman Abdurrahman alias Oman Rochman dijatuhi hukuman mati.
Adapun serangan terbarunya adalah penusukan terhadap mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto yang dilakukan oleh simpatisannya.
Yang juga menarik adalah kemampuan kelompok teroris di Indonesia untuk tetap aktif setelah “kepalanya dipotong” tidak hanya berasal dari kemampuan kelompok teroris itu sendiri, namun juga berasal dari bantuan pihak luar termasuk pemerintah.
Hal ini setidaknya terjadi pada kasus Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), gerakan yang dinilai banyak pihak sebagai akar atau gerakan radikalisme pertama di Indonesia.
Gerakan yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1949 ini memang berhasil dihentikan pemerintah pada tahun 1962. Tidak hanya itu, pimpinannya, yaitu Kartosoewirjo juga berhasil ditangkap dan dieksekusi mati pada 1962.
Namun, pada masa Orde Baru, melalui Ali Moertopo, kelompok ini dipertahankan oleh pemerintah dan digunakan untuk kepentingan politik seperti membersihkan Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga membantu kemenangan Golkar dalam Pemilu tahun 1971.
Pun hingga saat ini, DI/TII masih memiliki pengaruh, salah salah satunya dalam menginspirasi Abu Bakar Ba’asyir dan JI dalam melakukan serangan teror.
Kemudian, kematian Baghdadi dan berkurangnya pengaruh ISIS juga dapat berdampak pada bangkitnya kelompok terorisme di Indonesia.
Potensi ini diutarakan oleh Pengamat intelijen Stanislaus Riyanta yang melihat bahwa momentum kejatuhan ISIS dan JAD dapat dimanfaatkan oleh JI untuk bangkit.
Ya, beberapa tahun ke belakang serangan terorisme di Indonesia memang lebih didominasi oleh aksi-aksi yang dilakukan oleh JAD.
Hal ini salah satunya disebabkan oleh JI yang sejak kehilangan pendiri dan petinggi-petingginya lebih memilih untuk fokus merekrut anggota baru dan menghentikan aksi teror yang dapat membuatnya kembali menjadi pusat operasi kontra-terorisme pemerintah.
Sementara JAD sendiri baru terbentuk pada tahun 2015 dan mendapat panggung di tengah “tidurnya” JI.
Jokowi resmi menunjuk Fachrul Razi menjadi Menteri Agama (Menag) dalam Kabinet Indonesia Maju. Penunjukan Fachrul ini menarik perhatian banyak pihak karena beberapa hal. Lalu, apa alasan di balik penunjukan Fachrul? Mengapa kursi Menag yang dipilih?https://t.co/3y8d4k0nVp pic.twitter.com/dDkdS4IkSa
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) October 24, 2019
Pandangan Stanislaus ini memiliki kemiripan dengan pandangan Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones.
Sidney berpendapat bahwa pada suatu saat nanti JI yang beberapa tahun ke belakang menghindari penangkapan massal anggotanya, dapat memutuskan untuk kembali melakukan serangan teror.
Terakhir, bukan hanya Indonesia yang bersiap-siap menghadapi dampak kematian Baghdadi.
Negara-negara Asia Tenggara lain khususnya Malaysia dan Filipina juga melihat kemungkinan adanya serangan balasan dari kelompok-kelompok pro-ISIS di kawasan.
Pandangan yang sama juga datang dari negara-negara Eropa seperti Inggris dan Prancis yang saat ini meningkatkan kesiapan pasukan keamanannya. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.