Site icon PinterPolitik.com

Bagaimana Jika SEATO Direinkarnasi?

seato nations leaders portrait manila conference 1966

Pimpinan negara-negara SEATO ketika Konferensi Manila 1966 (Foto: Frank Wolfe/Lyndon B. Johnson Library Photo)

Amerika Serikat (AS) dan NATO semakin terlihat ingin memantapkan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Ini mengingatkan kita pada SEATO, pakta pertahanan Asia Tenggara yang dulu pernah digagasi Negeri Paman Sam. Apa jadinya bila SEATO dihidupkan kembali? 


PinterPolitik.com 

Konflik Rusia dan Ukraina seakan-akan menjadi panggilan kesadaran pada dunia bahwa permasalahan pertahanan dan keamanan negara masih menjadi topik yang sangat penting. Dua bulan semenjak konflik berlangsung, karena khawatir tentang keamanan negaranya, Finlandia dan Swedia akhirnya merasa terdorong untuk bergabung dengan geng Barat, alias Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).  

Menariknya, NATO tampak ingin menyambut dua negara itu dengan tangan yang terbuka. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Jens Stoltenberg bahkan menyebut NATO bersedia mempermudah dan mempersingkat proses birokrasi agar Finlandia dan Swedia bisa menjadi anggota secepatnya. 

Keinginan NATO untuk memperluas pengaruhnya pun tidak hanya di Benua Eropa saja. Pada April lalu, Stoltenberg mengumumkan bahwa NATO tengah berniat ekspansi ke Benua Asia. Klaim alasannya adalah NATO perlu meredam pengaruh Tiongkok yang semakin bertambah kuat, terlebih lagi Negeri Tirai Bambu itu sampai sekarang belum mengutuk serangan yang dilakukan Rusia ke Ukraina. 

Tidak lama setelah itu, Korea Selatan (Korsel) mengumumkan bahwa mereka resmi menjadi negara Asia pertama yang bergabung dengan NATO Cyber Unit, yaitu satuan NATO yang berfokus pada urusan pertahanan siber.  

Meski pemerintah Tiongkok belum memberi tanggapan resmi, beberapa pengamat, salah satunya Hu Xijin dari media Tiongkok, The Global Times, menilai bahwa apa yang dilakukan Korsel berpotensi sangat berbahaya bagi kestabilan keamanan di kawasan, dan bisa memicu situasi seperti apa yang terjadi di Ukraina. 

Namun pendekatan Barat ke Asia tidak hanya itu. Terbaru, AS tengah mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) dengan para pemimpin negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang diadakan dari tanggal 12 sampai 13 Mei 2022. Presiden AS, Joe Biden menyebut salah satu agenda utamanya adalah pembahasan mengenai Tiongkok. 

Disandingkan dengan narasi yang beberapa waktu ini sedang dimainkan, yaitu tentang perlunya peningkatan kewaspadaan pertahanan dan keamanan terhadap Tiongkok. Maka dari itu, bukan tidak mungkin bila Biden mengajukan proposal untuk mempererat kerja sama pertahanan dan keamanan di Asia Tenggara. 

Banyak kemudian yang bertanya-tanya, apakah ini indikasi bahwa NATO juga akan masuk ke Asia Tenggara? Mengapa kira-kira Biden perlu melakukan hal demikian? 

Cabang NATO yang Terlupakan 

Bagi sebagian orang, gagasan tentang masuknya kepentingan AS melalui NATO ke ASEAN memunculkan memori lama tentang Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO). Sederhananya, SEATO ini adalah ibarat “adik” NATO yang berfokus pada keamanan di Asia Tenggara. 

SEATO didirikan pada tahun 1954, dan memiliki motivasi pendirian yang sama dengan NATO, yaitu untuk menangkal pengaruh komunisme yang semakin menyebar ke banyak negara di dunia pada masa Perang Dingin.  

Pakta pertahanan itu beranggotakan delapan negara. Dari negara Barat adalah AS, Inggris, dan Prancis, lalu dari Asia adalah Filipina, Thailand, dan Pakistan. Dua negara terakhir dari Oseania, yaitu Australia dan Selandia Baru.  

Seiring perkembangan waktu dan runtuhnya Uni Soviet, akhirnya SEATO menjadi proyek yang ditinggalkan. 

Lantas, bagaimana kira-kira kepentingan AS dalam mendorong kembali bangkitnya pakta pertahanan yang terlupakan ini? 

Well, sejak zamannya Presiden Barrack Obama pada tahun 2010, AS telah menggagasi doktrin luar negeri baru yang disebut sebagai “pivot to Asia” atau poros ke Asia. Alasannya ada banyak, mulai dari prospek Asia Tenggara sebagai bagian dari Asia-Pasifik yang memiliki potensi ekonomi luar biasa, sampai ke urusan perlunya penyeimbangan kekuatan di wilayah tersebut. 

Kenneth G. Lieberthal, seorang pengamat politik internasional dari Brookings, dalam tulisannya The American Pivot to Asia, menilai penciptaan keseimbangan kekuatan ini tidak hanya penting bagi kelangsungan AS sebagai negara hegemon, tetapi juga bagi negara-negara Asia yang membutuhkan kepercayaan diri agar mereka tidak perlu tunduk seutuhnya pada Tiongkok. 

Dari pandangan itu, bisa dinterpretasikan juga bahwa penyeimbangan kekuatan di Asia Tenggara sesungguhnya adalah upaya untuk menciptakan rasa kepercayaan diri dari negara-negara Asia Tenggara pada AS.  

Jika AS tidak benar-benar ingin mewujudkan misi pivot to Asia-nya, maka negara-negara Asia Tenggara cepat atau lambat akan mencari jaminan kelangsungan hidupnya ke negara adidaya terdekat, yang tidak lain adalah Tiongkok.  

Dan jika kepercayaan dari negara-negara itu hilang, maka AS pun harus menghabiskan banyak tenaga untuk memojokkan Tiongkok agar dapat bersikap secara konstruktif, khususnya di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Hal yang sebenarnya bisa dihindari bila AS memiliki hubungan mengikat dengan negara-negara di wilayah ini. 

Permasalahan ini juga disuarakan oleh kritikus kebijakan luar negeri AS, Robert Kagan. Kenyataannya, selama ini AS belum memiliki kesepakatan-kesepakatan internasional di Asia Tenggara yang dapat memberikannya akses langsung untuk melakukan suatu intervensi pertahanan.  

Oleh karena itu, Kagan menilai bahwa jika AS tidak ingin terisolasi dari Asia Tenggara, maka AS perlu bertindak lebih dari sekadar perjanjian-perjanjian ekonomi saja dan mulai mempertimbangkan perjanjian di sektor pertahanan jika benar-benar ingin mengaplikasikan hegemoninya di Asia Tenggara. 

Dengan demikian, pakta pertahanan ala SEATO sesungguhnya adalah solusi yang akan sangat menarik bagi Biden bila ia memang ingin memperkuat pengaruh Barat dan NATO di wilayah yang digadang-gadangkan akan menjadi salah satu pusat perekonomian dunia ini. 

Lantas, apa yang akan terjadi bila SEATO benar-benar ingin dimunculkan kembali? 

Akankah Seperti Eropa Timur? 

Di sini kita masuk ke ruang lingkup spekulasi, dan tak ada peralatan spekulasi yang lebih baik selain belajar dari sejarah.  

Hal yang menarik dari SEATO adalah negara anggota ASEAN yang terlibat kala itu hanya dua negara, yakni Filipina dan Thailand. Sementara Vietnam, Laos, dan Kamboja hanya diberikan status observer, meski wilayah mereka termasuk ke jangkauan geopolitik SEATO. Indonesia dan Malaysia tidak terlibat karena kala itu berkomitmen pada prinsip non-blok. 

SEATO pun akhirnya ditinggalkan karena dianggap hanya AS saja yang memiliki kekhawatiran akan ancaman komunisme. Karena itu, pekerjaan besar Biden dalam meyakinkan negara-negara ASEAN secara keseluruhan untuk membentuk pakta pertahanan semacam SEATO adalah dengan menciptakan kekhawatiran bersama.  

Belajar dari bagaimana NATO berhasil menarik perhatian Finlandia dan Swedia untuk bergabung, maka tidak aneh bila Biden akan membawa narasi bahwa kawasan Asia Tenggara adalah kawasan yang rawan konflik layaknya Eropa Timur. 

Beberapa isu yang sensitif seperti sengketa Laut Tiongkok Selatan (LTS) kemungkinan besar akan dimainkan. Dari tahap awal ini, negara yang berhubungan langsung dengan konflik tersebut seperti Vietnam dan Filipina kemungkinan tidak akan butuh banyak bujukan, ditambah potensi adanya iming-iming persenjataan AS yang dibarengi oleh skema-skema menggiurkan seperti kemudahan transfer teknologi dan skema offset. 

Singapura pun tampaknya tidak akan butuh banyak bujukan, karena semenjak awal konflik Ukraina saja mereka sudah berani memihak kubu Barat dalam mengecam Rusia. 

Tentu, Tiongkok tidak akan tinggal diam. Layaknya konflik Ukraina, Tiongkok akan menciptakan narasi bahwa kepentingan nasionalnya telah terancam, karena negara yang selama ini bergantung secara ekonomi padanya, seperti Vietnam, telah berpaling ke AS.  

Kemungkinan agresi Tiongkok pun semakin meningkat dengan adanya SEATO. Apalagi jika pengaruh Barat ke Taiwan semakin meningkat.  

Meski selama ini Tiongkok masih terlihat ragu melakukan operasi militer ke Taiwan, jika SEATO didirikan, keraguan itu kemungkinan akan berubah bentuk menjadi ketakutan Tiongkok. Hal yang sangat buruk bila ada suatu negara kuat merasa takut. 

Lalu bagaimana dengan negara seperti Malaysia dan Indonesia? Well, negara-negara ini tidak akan semudah negara Asia Tenggara lainnya, karena meski terkadang terlihat memihak, secara resmi prinsip non-blok masih sangat kental dalam kebijakan luar negeri mereka. 

Alhasil, Indonesia dan Malaysia mungkin akan jadi segelintir negara ASEAN yang tidak akan langsung ke SEATO. Namun ketika konflik semakin dikompor-kompori, utamanya setelah Tiongkok merasa takut, bukan hal yang tidak mungkin bila Indonesia dan Malaysia akan bergabung dalam SEATO, karena apapun caranya, negara tetap perlu menjamin keamanan negerinya. 

Kendati demikian, keanggotaan yang diambil Indonesia dan Malaysia mungkin akan dalam bentuk yang tidak tetap, seperti mengambil peran yang bergelar “close partnership” atau kemitraan dekat. 

Bagaimanapun juga, berdirinya SEATO tidak bisa dipandang sebagai hal yang baik untuk kelangsungan perdamaian. Karena pendirian suatu pakta pertahanan akan dianggap sebagai aksi angkat senjata, dan ketika ada suatu negara yang angkat senjata, maka negara terdekatnya sudah pasti perlu mempertanyakan pertahanan dan keamanan mereka sendiri. (D74) 

Exit mobile version