Terpilihnya Airlangga sebagai Ketua Umum Baru Golkar membawa jargon ‘Golkar Bersih’. Mampukah ia?
PinterPolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]argon ‘Golkar Bersih’ tentu tidak dibuat tanpa alasan tertentu. Partai Beringin ini memang kerap dicap sebagai sarangnya para koruptor dan para begundal hukum. Belum lagi drama antar kader dan petingginya yang tak jauh-jauh dari ribut soal kedudukan dan kekuasaan.
Dari rentetan kejadian itu, Partai Golkar mau tak mau lekat di mata masyarakat layaknya “badut” bermasalah yang gemar sekali drama. Maka, tak mengagetkan dan mengherankan jika dari sana popularitas Golkar menurun drastis selama beberapa tahun terakhir.
Tapi perubahan bisa sedikit mulai terlihat saat Setya Novanto (Setnov), pemimpin Golkar terdahulu yang menggemparkan publik lewat kasus korupsi E-KTP, akhirnya menyerah dan mengundurkan diri sebagai Ketua Umum (Ketum) Golkar. Walau sedikit, tentu ada pengaruh masyarakat atau publik yang ramai-ramai mendemonisasinya, baik lewat meme atau ulasan ilmiah di berbagai kanal media, online maupun offline.
Dari sana, Ketum yang baru pun dipilih, yakni Airlangga Hartarto. Sebagai tambahan, saat ini Airlangga masih punya status rangkap jabatan, yakni di Partai Golkar dan Kementerian Perindustrian. Keberadaan Airlangga memang berbeda dibandingkan dengan Ketum Golkar sebelum-sebelumnya. Internal Golkar bisa mencapai satu suara dan solid dengan pengangkatannya. Selain itu, Airlangga belum pernah terjerat kasus hukum apapun.
Tapi ‘noda’ yang menempel pada Golkar memang harus dibersihkan. Salah satunya, selain sepak terjang Setnov tentunya, adalah pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK. Dari permukaan, tim Pansus dilihat sebagian besar masyarakat sebagai upaya untuk melemahkan KPK. Sementara itu, bagi anggota partai yang mendukung Pansus Hak Angket, tim terbentuk guna memperbaiki institusi KPK.
Namun, secara garis besar, pembentukan tim Pansus ini sudah mendulang citra yang buruk di mata masyarakat. Hasil itu terekam dalam Lembaga survei Indikator yang menyiarkan suara dukungan publik kepada KPK dan menaruh persepsi buruk kepada Tim Pansus KPK.
Nah, mengingat ketua Tim Pansus berasal dari Golkar dan kerja kadernya dalam tim tersebut lumayan mendominasi, apakah Airlangga mampu dan berani menarik kadernya dari Pansus KPK atau malah tak bergeming sama sekali?
Jalan Menuju Golkar yang ‘Bersih’
Dalam pidato Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub), Airlangga menyinggung banyaknya persoalan hukum yang menjerat petinggi Golkar. “Golkar pernah menjadi partai nomor satu. Golkar pernah menjadi partai nomor dua. Kami tak akan biarkan Golkar menjadi partai nomor tiga. Melalui Munaslub, Golkar memulai lembaran baru,” begitu petikannya.
Lembaran baru yang dimaksud, tentu saja pembersihan partai dari kader-kader yang korupsi. Airlangga, seperti yang dilaporkan Tempo, berencana merombak besar-besaran kepengurusan Golkar dengan mendepak orang-orang dekat Setnov.
Mau bagaimana lagi, Setnov memang dinilai sebagai biang kerok merosotnya elektabilitas dan popularitas partai tersebut. Mengeluarkan Setnov, maka mengeluarkan juga ‘kroni-kroninya’. Itulah logika ‘membersihkan’ Golkar yang paling dekat.
Usaha ini sudah terlihat dari beredarnya salinan surat berkop DPP Partai Golkar yang berisi draf susunan pengurus baru partai sejak masa Munaslub. Di dalamnya ada nama-nama yang bergeser posisi dan bahkan digantikan. Salah satunya adalah posisi Sekretaris Jenderal, yang sebelumnya diduduki Idrus Marham, akan digantikan Letjen (Purn) Eko Wiratmoko. Posisi Bendahara Umum, akan digantikan oleh Melchias Mekeng.
Sementara dalam jajaran Dewan Pembina, Aburizal Bakrie akan digantikan dengan Agung Laksono sebagai Ketua Dewan Pembina. Lalu, BJ Habibie yang menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan, akan digantikan Jusuf Kalla.
Orang-orang yang terdepak di masa Setya Novanto, bahkan dikembalikan kembali. Seperti Yorrys Raweyai dan Ahmad Dolly Kurnia, misalnya. Tak hanya itu, bahkan Yorrys akan menjabat sebagai Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Indonesia II dan Ahmad Dolly Kurnia akan menjadi salah satu Wakil Sekjen Golkar. Namun, Airlangga juga belum memastikan kebenaran draf tersebut.
Terlepas dari keabsahannya, perubahan struktur jabatan yang terjadi di internal Golkar memang menjadi salah satu hal yang ingin dilakukannya. Yang terpenting lagi, bagi Airlangga – setidaknya yang terlihat, dapat menyatukan suara Golkar untuk menyetujui langkah dan kebijakannya. Bahkan dari kursi pesakitan, Setnov menyatakan jika dirinya bangga terhadap Airlangga.
Namun, jika kembali lagi pada jargon ‘Golkar Bersih’, seharusnya Airlangga tak hanya harus mendepak dan menarik kembali orang-orang di masa pemerintahan Setnov. Jika hanya menggeser dan menganti nama dengan dalih membersihkan Golkar tanpa bereaksi lantang soal Pansus KPK, apakah kebijakan Airlangga hanya membentuk kroni baru versinya?
Mampukah Airlangga?
Tentu saja mengharapkan Golkar bisa bersih secara hukum dari korupsi adalah hal berlebihan, jika tak mau disebut mengkhayal. Kita harus menerima fakta jika sebersih apapun keberadaan Airlangga di Golkar, yang kerap dianggap membawa angin segar, juga turut membawa kepentingan tertentu. Tentu ada deal politik tertentu di belakangnya.
Namun berharap Golkar akan benar-benar ‘bersih’, juga bukan sesuatu yang mustahil dilakukan. Setidaknya sosok Airlangga sendiri sangat jauh dari kasus-kasus korupsi atau hukum yang selama ini membelit Ketua Umum Golkar sejak masa Reformasi.
Setidaknya, ketika berbicara anti korupsi dan anti masalah hukum, Airlangga masihlah dapat dipercaya sebab dirinya belum terkena kasus hukum dan korupsi apapun. Tentu kita tak akan coba membahas Ayahandanya yang membangun dinasti di Kementerian Perindustrian di era Orde Baru, sebab korupsi memang merajalela di sana.
Kembali pada Tim Pansus KPK. Tim yang sudah terlanjur mendapat sinis dari masyarakat luas dan dianggap sebagai lembaga pelindung koruptor, tentu menjadi kunci bagi Golkar untuk benar-benar menasbihkan diri sebagai partai yang ‘bersih’. Jika berhasil mengulik Pansus KPK, terbuka kemungkinan Golkar akan mendapat hati masyarakat pula. Dari sana, elektabilitas dan popularitas Golkar tentu akan ikut terkatrol.
Airlangga sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai itu, namun dalam suatu kesempatan, ia berkata jika tak akan menarik kadernya dari Pansus Hak Angket KPK. “Kalau itu kan ada mekanisme tersendiri. Pansus itu kan sudah terbentuk dari bagian keputusan paripurna DPR. Nah, yang dilakukan adalah tentu penyelesaian Pansus, kesimpulan Pansus itu segera diselesaikan,” ujarnya.
Pernyataan Airlangga tak salah sama sekali. Namun, sekali lagi pembuktian untuk menjadikan Golkar sebagai partai bersih yang mendukung kinerja KPK, jauh lebih penting. Jika Golkar tak bisa berbuat banyak terhadap keberadaan Pansus Hak Angket KPK, maka ‘memencet’ tim tersebut kepada kesimpulan adalah hal yang cukup bijak.
Jika jargon ‘Golkar Bersih’ hanya dimaknai dengan mendepak kroni Setnov dan mengubah susunan kepengurusan, tanpa benar-benar mendalami bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merugikan negara dan orang banyak, telan saja kembali pahit-pahit wacana tersebut. Sebab jika demikian, Airlangga hanya mengulang watak lama Golkar, dengan kemasan yang usang. (Berbagai Sumber/ A27)