Batalnya pemberian keringanan hukuman kepada Abu Bakar Ba’asyir menimbulkan perdebatan. Isu ini menyerempet kepentingan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi), intervensi Australia, hingga politik anggaran penanggulangan terorisme di Indonesia.
PinterPolitik.com
“Intervention continues to be a prominent dimension of the post-cold war world.”
– Mike Jackson, politisi Amerika Serikat –
[dropcap]A[/dropcap]lasan kesehatan dan umur yang sudah semakin menua menjadi pertimbangan awal wacana pemberian keringanan hukuman kepada Abu Bakar Ba’asyir. Namun, rencana tersebut akhirnya dibatalkan. Padahal awalnya, usulan itu disebut-sebut berasal langsung dari Presiden Jokowi. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebut presiden bahkan mempertimbangkan pengajuan tahanan rumah kepada Ba’asyir.
Setelah menjadi isu yang melibatkan tarik-menarik kepentingan politik, belakangan muncul kabar bahwa pembatalan rencana pemberian keringanan hukuman tersebut terjadi karena pengaruh intervensi Australia. Negara Kangguru tersebut memang tidak ingin status hukuman Ba’asyir diperingan.
orang udah tua gini masih di penjara.
— abiabi (@AlfaetAlfito) March 8, 2018
Hal ini beralasan, mengingat Ba’asyir merupakan salah satu orang yang dituduh ada di belakang aksi Bom Bali 1 pada tahun 2002. Desakan dari Australia ini juga beralasan mengingat korban Bom Bali 1 mayoritas berasal dari negara tersebut dengan 88 orang.
Namun, tarik menarik yang terjadi dalam kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah benar usulan yang awalnya datang dari Presiden Joko Widodo ini akhirnya dibatalkan begitu saja karena desakan Australia? Lalu, mengapa usulan pengurangan hukuman Ba’asyir datang dari Jokowi?
Jokowi-Ba’asyir: Siasat Tahun Politik?
Abu Bakar Ba’asyir dianggap sebagai salah satu tokoh yang punya pengaruh besar dalam berbagai aksi-aksi teror di Indonesia – setidaknya demikianlah persepsi yang dimunculkan oleh pemberitaan-pemberitaan media internasional.
Walaupun pengadilan memberikan keringanan hukuman pada tahun 2005 dan menyebut tokoh spiritual Jemaah Islamiyah (JI) ini hanya melakukan pelanggaran keimigrasian dan tidak terbukti terlibat dalam konspirasi Bom Bali 1, namun Ba’asyir oleh banyak pihak masih dipersepsikan sebagai salah satu tokoh di balik radikalisme di Indonesia.
Oleh karena itu, ketika muncul rencana pemberian keringanan hukuman kepada Ba’asyir, jelas ada dimensi politis yang besar dan jauh melampaui sekedar alasan kemanusiaan. Terlepas dari faktor usianya yang sudah hampir menginjak kepala delapan serta gangguan kesehatan yang menimpanya, rencana pemberian keringanan hukuman – bahkan juga muncul rencana pemberian grasi dari Presiden Jokowi – dianggap bertolak belakang dengan kebijakan pengetatan tahanan yang dialami Ba’asyir pada tahun 2016 lalu.
Selain itu, keinginan ini bertolak belakang dengan pernyataan kepolisian yang menganggap Ba’asyir masih menjadi tokoh di belakang kebangkitan gerakan Neo-Jemaah Islamiyah.
Artinya, jika Jokowi memang mengusulkan keringanan hukuman seperti yang disampaikan oleh Menhan, maka ada kontra posisi antara kebijakan yang diusulkan ini dengan pandangan Kepolisian. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Jokowi memang serius ingin memberikan keringanan hukuman kepada tokoh yang dipersepsikan dunia internasional sebagai “the mastermind” gerakan radikalisme di Indonesia?
Jika menilik berbagai pemberitaan, keinginan Jokowi ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ketua MUI, KH Maruf Amin. Maruf memang sempat meminta pada Jokowi untuk mengizinkan Ba’asyir mendapatkan perawatan di RSCM.
Bagi Jokowi, memberikan keringanan hukuman terhadap Ba’Asyir akan membantunya memperbaiki citra politiknya di hadapan kelompok Islam. Jika tidak memperhatikan hal ini, maka citra Jokowi berpotensi semakin buruk di mata kelompok-kelompok Islam.
Secara politik, sikap Jokowi terhadap Ba’asyir akan menentukan posisi politiknya. Apalagi, Ba’asyir masih dianggap sebagai salah satu ulama berpengaruh dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang didirikannya masih menjadi salah satu kelompok yang suaranya cukup didengarkan oleh banyak orang.
MMI juga masih dianggap sebagai salah satu corong berpengaruh, utamanya dalam isu-isu politik yang terjadi belakangan ini, termasuk ketika berhadapan dengan partai pendukung utama Jokowi, PDIP. Hal ini terlihat misalnya ketika MMI menjadi salah satu kelompok yang paling keras mengkritik pidato Megawati Soekarnoputri tentang ideologi tertutup.
Artinya, Jokowi berada di persimpangan dalam kasus Ba’asyir ini: memenuhi keinginan kelompok Islam pendukung Ba’asyir dan mengurangi tensi politik agama yang menimpa dirinya tetapi pada saat yang sama akan berhadapan dengan kelompok yang kontra, atau menolak keinginan itu dan berpotensi terus memperburuk citra politik di depan kelompok Islam serta mengabaikan unsur kemanusiaan.
Inisiatif perbaikan hubungan tersebut nyatanya memang urung terjadi. Pada akhirnya pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto dan Kementerian Hukum dan HAM memang tidak mengabulkan keinginan untuk menjadikan Ba’asyir tahanan rumah.
Namun, persoalan ini telah menjadi polemik – entah sengaja atau tidak – yang menjadi babak baru tarik menarik kepentingan politik dengan kelompok-kelompok berbasis agama. Apalagi, isu agama telah menjadi komoditas politik dalam 6 bulan terakhir dan terus menerus menemukan bentuk-bentuk artikulasinya, termasuk dalam kejadian-kejadian intoleransi beberapa waktu belakangan ini.
Jika demikian, apakah benar keberatan Australia adalah faktor utama yang membuat pemerintah membatalkan rencana ini dan membuat Jokowi mengabaikan kepentingan politiknya?
Kepentingan Australia atau Siapa?
Menarik untuk melihat peran Australia dalam kasus Ba’asyir ini. Apakah kebetulan jika melihat timeline pemberitaan ketika 1 Maret 2018 pemerintah mempertimbangkan keringanan hukuman bagi Ba’asyir dengan nuansa kemanusiaan nan positif, lalu 3 Maret 2018 ada keberatan dari Australia, dan sehari setelahnya rencana tersebut dibatalkan oleh pemerintah sendiri?
Tentu saja tidak. Jelas keberatan yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menjadi salah satu faktor penentu rencana pemerintah ini. Australia menganggap Ba’asyir sebagai tokoh yang bertanggungjawab dalam tragedi Bom Bali 1 dan harus tetap menerima konsekuensi hukum atas tindakan tersebut.
Faktanya, hingga saat ini, Australia masih menjadi salah satu sponsor utama pendanaan gerakan kontra-terorisme di Indonesia. Pendirian Detasemen Khusus 88 (Densus 88) juga merupakan salah satu sumbangsih Australia bersama sekutunya Amerika Serikat. Pasca Bom Bali 1, Densus 88 diperkirakan menerima bantuan dari U$ 200 juta (sekitar Rp 2,7 triliun) dari berbagai negara, dengan salah satu yang paling besar berasal dari Australia.
Pasca Bom Bali 1, isu keamanan memang menjadi fokus utama kepentingan Australia di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada alokasi anggaran bantuan, misalnya dalam AusAID. Indonesia masih menjadi negara penerima bantuan terbesar dari Australia. Antara 2008-2012 misalnya total bantuan dari Negeri Kanguru tersebut mencapai U$ 1 miliar (sekitar Rp 13 triliun), dengan salah satunya berfokus pada gerakan kontra-terorisme.
Bahkan, Adi Cahya Fahadayna dari Universitas Airlangga Surabaya menyebut Densus 88 mendapatkan pelatihan dari FBI, CIA, US Secret Service dan US Diplomatic Security Services (DSS) karena fasilitasi Australia terhadap pemerintah Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Indonesia dan Australia juga menyepakati Lombok Treaty yang berisi kesepakatan pertukaran informasi intelijen di antara kedua negara.
Artinya, selain persoalan politik domestik terkait kepentingan Jokowi, masalah-masalah terorisme – dalam hal ini keringanan hukuman Ba’asyir – juga berhubungan dengan politik anggaran. (Baca: RUU Terorisme: TNI vs Polri-PDIP?)
Setiap tahunnya, bantuan untuk pemberantasan terorisme selalu mengalir ke dalam negeri, dan pada titik ini seringkali menjadi sumber dana “panas” bagi pihak-pihak tertentu.
Tak diragukan lagi bahwa Densus 88 dengan segala kecanggihan peralatan dan persenjataan yang dimiliki juga mendapatkan semua hal tersebut dari dana bantuan tersebut.
Dalam film dokumenter buatan stasiun TV SBS Australia berjudul Do Indonesian Terrorists Have Friends in High Places? yang dirilis tahun 2005, persoalan pendanaan ini dianggap sebagai salah satu hal yang menjelaskan “keuntungan” yang didapat pihak-pihak tertentu dari aksi pemberantasan terorisme di Indonesia.
Dokumenter tersebut juga menjelaskan adanya dugaan “pemerasan” terhadap pihak asing melalui ancaman bom yang dilakukan teroris di Indonesia. Aksi-aksi terorisme di dalam negeri secara langsung mempengaruhi negara-negara asing untuk tetap memberikan sejumlah bantuan, seperti uang dan peralatan, yang pada tempat tertentu juga justru mengalir ke kantong para politisi.
Apakah itu berarti ada pihak-pihak yang terus ingin memelihara keberadaan terorisme di Indonesia? Boleh jadi demikian. Jika hal ini berhubungan dengan politik anggaran, maka mengatakan bahwa Indonesia “masih rawan terorisme” tentu saja akan mendatangkan simpati dari negara lain.
Apalagi, negara seperti Australia tidak bisa melarang warganya untuk bepergian ke Indonesia. Setiap tahunnya, tercatat hampir setengah juta warga negara tersebut yang datang ke Indonesia.
Jika demikian, jelaslah ada banyak kepentingan di balik kasus Ba’asyir ini. Jokowi tentu ingin negara aman dan citranya semakin baik di depan kelompok-kelompok Islam. Namun, hal ini tentu akan merugikan bagi oknum-oknum yang mengambil untung dari gerakan kontra-terorisme di dalam negeri.
Pada akhirnya, intervensi politik masih akan menjadi isu utama hubungan internasional. Karena, seperti kata Mike Jackson di awal tulisan ini, itulah kondisi dunia saat ini. Pertanyaannya, apakah kita mau terus-terusan diintervensi? (S13)