Kunjungan Menhan Prabowo Subianto ke Austria pekan ini menjadi cukup dinantikan. Ini dengan rencana pembelian pesawat tempur Eurofighter yang diwarnai sekelumit kontroversi kedua negara. Lantas, mengapa Prabowo seolah tetap bersikukuh dalam upaya kerja sama dan deal kontroversial tersebut? Adakah pertimbangan politis tertentu dibaliknya?
Konstelasi kerja sama pertahanan negara-negara di dunia agaknya memang selalu memiliki daya tarik tersendiri dengan berbagai intrik di dalamnya, tak terkecuali dengan apa yang dilakukan Indonesia.
Setelah lawatan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto untuk mengeratkan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu diwarnai intrik pemberian semacam “amnesti” bagi eks Danjen Kopassus itu, kali ini kunjungan maraton Prabowo ke Austria juga mendapat sorotan tersendiri.
Ya, hari ini merupakan agenda pertemuan antara Prabowo dengan Menhan Austria Klaudia Tanner, yang mana jamak keduanya dikabarkan akan terlibat pembicaraan seputar transaksi pesawat tempur Eurofighter Typhoon.
Media Austria, Kronen Zeitung hingga Der Standard menyebut bahwa pertemuan dua Menhan sendiri cukup disoroti di dalam negeri Austria. Hal itu dikarenakan penjualan jet tempur kepada Indonesia itu dianggap sebagai upaya mengaburkan skandal praktik tidak sehat atau korupsi pengadaan awal Eurofighter.
Variabel kontroversi domestik Austria yang sedang berkembang itu tampak menambah signifikansi desakan beberapa kalangan di tanah air, mulai dari parlemen hingga pengamat militer dan pertahanan yang tak sepakat dengan rencana pembelian pesawat seken tersebut.
Analis Pertahanan, Connie Rahakundini misalnya, menilai bahwa rencana tersebut justru akan menurunkan standar militer yang tidak sesuai bagi kebutuhan perang modern. Sementara peneliti senior Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI), Beni Sukadis menyebut bahwa rencana tersebut kurang tepat lantaran biaya operasional pesawat ini terbilang mahal, yakni berkisar Rp 1,3 miliar per jam.
Ketertarikan Prabowo untuk memborong 15 jet tempur bekas pakai itu sendiri mengemuka dari komunikasi berbalas surat dengan Menhan Austria Klaudia Tanner yang terkuak ke media.
Surat bernomor 60/M/VII/2020 dengan perihal proposal tentang Eurofighter Typhoon Aircraft pada Juli lalu, menjadi bentuk inisiatif awal Prabowo yang kemudian dibalas Tanner dengan hangat pada September kemarin.
Ihwal yang kemudian menjadi landasan kunjungan maraton Prabowo dari Washington ke Wina, yang mana pertemuan dengan Menhan Tanner pada Selasa pagi tadi diduga kuat salah satunya akan membahas finalisasi keputusan deal Eurofighter.
Lalu, dengan asumsi bahwa Kemenhan tentu mengetahui dan memahami adanya indikasi skandal internal yang ada di Austria serta berbagai kritik terkait niat akuisisi Eurofighter seken, mengapa Prabowo seolah tetap bersikukuh untuk tetap mewujudkan rencana tersebut?
Strategi Jaga Kedekatan Dengan Barat?
Dalam sebuah tulisan yang berjudul Are Military Purchases in SE Asia for Political Balancing a Good Use of National Defense Resources?, Chandler Sachs dan John V. Parachini menyebut bahwa pembelian alutsista yang dilakukan oleh sejumlah negara Asia Tenggara tak hanya terkait dengan kebutuhan pertahanan dan keamanan nasional.
Terdapat kecenderungan bagi apa yang Sachs dan Parachini sebut sebagai political symbolism atau simbolisme politik untuk “condong” pada kekuatan negara tertentu yang merupakan si produsen alutsista.
Sampel yang dicontohkan ialah Filipina ketika Presiden Duterte lebih memilih dan memutuskan untuk tidak lagi “ketergantungan” Barat saat membeli helikopter Mi-17 Rusia dibanding Sikorsky S-70 Blackhawk dari AS.
Tendensi political symbolism yang sama dinilai dapat pula dipertanyakan kepada hasrat Prabowo terhadap Eurofighter seken milik Austria, yang pada kasus ini justru berkebalikan dengan apa yang terjadi dengan Filipina.
Ya, dalam beberapa pekan ini Prabowo melakukan sejumlah agenda pertemuan dengan negara mitra “persekutuan duniawi” pertahanan berhaluan Barat. Mengawalinya dengan AS sebagai penasbih, Prabowo lantas melanjutkan perjalanannya dengan tur Eropa ke Austria dan Prancis.
Khusus pada konteks Austria, meski bukan anggota NATO, negeri tuan rumah Euro 2008 itu merupakan negara dengan kelengkapan pertahanan dan alutsista yang dipasok dari negara-negara Barat.
Karenanya, tendensi kedekatan dengan sekutu Barat agaknya akan menguntungkan bagi Indonesia dalam proses negosiasi – baik secara harfiah maupun politik – yang dinilai akan menjadi lebih mudah.
Dan Austria yang ingin menggantikan Eurofighter dengan armada lain mungkin saja dilihat Prabowo sebagai peluang emas dalam upaya menambah kekuatan TNI AU berlandaskan kalkulasi yang sesuai dengan kebutuhan pertahanan Indonesia.
Selain itu, relevansinya tentu terkait pula dengan tantangan pertahanan yang dimiliki Indonesia. Benjamin Schreer seorang analis strategi pertahanan senior Australian Strategic Policy Institute dalam publikasinya yang berjudul Moving Beyond Ambitions? Indonesia’s Military Modernisation menyebut bahwa Tiongkok sejauh ini menjadi satu-satunya ancaman state-actor yang secara aktif acapkali mengusik kedaulatan Indonesia khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Natuna.
Analisa Schreer tersebut “kebetulan” beririsan dengan kepentingan Barat utamanya AS yang juga tidak menyukai manuver Tiongkok di Laut China Selatan (LCS) yang kiranya membuat kalkulasi Prabowo dalam pemilihan alutsista Barat, termasuk Austria, memiliki urgensi dan relevansinya sendiri.
Lantas, jika kecenderungan political symbolism di balik hasrat Prabowo terhadap jet tempur Eurofighter tersebut benar adanya, apakah mengindikasikan bahwa visi pertahanan Indonesia di masa yang akan datang tak akan bergantung pada selain “Barat”?
Indonesia Tetap Tak Bisa Memihak?
Kemungkinan political symbolism yang mengiringi keinginan Prabowo terhadap Eurofighter memang terbuka. Akan tetapi, hal tersebut dinilai tak serta merta membuat Indonesia akan anti selain Barat dalam pemenuhan alutsista ke depannya.
Natasha Hamilton-Hart dan Dave McRae dalam Indonesia: Balancing the United States And China, Aiming For Independence lagi-lagi menyebut posisi diplomasi dan kebijakan pertahanan Indonesia di tengah-tengah kekuatan dunia cenderung mempraktikkan salah satu teori perimbangan kekuatan dalam hubungan internasional beraliran realis yakni balancing.
Frasa “balancing” sendiri memang cukup lazim digunakan Indonesia baik secara lisan, tulisan, maupun praktik dalam hal pertahanan. Hamilton-Hart dan McRae menyebut balancing digunakan Indonesia untuk memunculkan permainan strategis, di mana gerakan untuk mendekat ke satu sisi dapat digunakan untuk mendapatkan dukungan dari sisi lain.
Pada konteks alutsista jet tempur sendiri, Indonesia memang tidak bisa serta merta memihak pada kekuatan tertentu. Selain karena kekuatan relatifnya, negara +62 masih memiliki skuadron yang diisi pesawat-pesawat yang diproduksi oleh kekuatan dunia yang acapkali saling berkontradiksi, yakni AS dan Rusia.
Isu beserta polemiknya mengenai Eurofighter sendiri muncul hampir beriringan dengan mengemukanya kembali diskursus mengenai kontrak perjanjian senilai lebih dari Rp 16,75 triliun atas kesepakatan pengadaan 11 pesawat Su-35 ke Indonesia kembali muncul.
Oleh karena itu, “permainan” dua kaki tampaknya diperagakan Prabowo dalam hal Eurofighter. Polemiknya mungkin saja memang dibiarkan sebagai impresi balancing bahwa Austria dapat terlihat menjadi penjembatan Barat, apalagi pasca isu Sukhoi mengemuka. Masih berlarut dan belum adanya kepastian pesawat mana yang akan diborong Prabowo sampai saat ini seolah menasbihkan hal tersebut.
Apalagi diwartakan bahwa AS menekan Indonesia setelah kabar kesepakatan Sukhoi Su-35 tersebut terdengar Washington. Ihwal ini yang disebut menyebabkan kesepakatan dengan negeri Tirai Besi masih menggantung sampai detik ini dan justru kabar dan polemik Eurofighter lah yang lebih jamak terdengar.
Namun demikian, pada konteks Eurofighter dan dengan presumsi adanya penciptaan impresi balancing serta probabilitas analisa teknis Kemenhan yang tentu telah dilakukan sendiri, menjadikan realisasi pengadaannya mungkin saja urung terlaksana.
Prabowo dan para analis Kemenhan tentu telah menyerap variabel negatif dari Eurofighter seken Austria sebelumnya. Masa pakai yang telah cukup lama, dibutuhkannya upgrade teknologi yang tidak murah, plus biaya operasional yang cukup mahal, plus indikasi korupsi internal Austria menjadikan pembelian serta eksistensinya dinilai tidak ideal bagi Minimum Essential Force (MEF) jangka panjang, khususnya bagi Angkatan Udara Indonesia.
Eurofighter Typhoon sendiri memang bisa dibilang sekelas dengan Sukhoi Su-35, Dassault Rafale, hingga FA-18E Super Hornet, dan bahkan F-35. Namun dari sisi harga seken, perawatan, hingga biaya operasional, Eurofighter dinilai lebih menguras anggaran dan kurang efisien.
Pada titik ini, taktik balancing Indonesia di bidang kerja sama dan diplomasi pertahanan, termasuk upaya pengadaan pesawat tempur, tampaknya cukup sulit dihindari dan membuat implementasi pengadaan alutsista dari negara lain terkesan berlarut dan menggantung, setidaknya sampai saat ini.
Akan tetapi, hal tersebut tentu tidak boleh membuat Prabowo kehilangan ketegasannya dalam menentukan sikap untuk memodernisasi alutsista berdasarkan pertimbangan terbaik yang urgensinya tidak bisa ditawar. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.