Kesepakatan perdagangan bebas yang ditandatangani oleh Indonesia dan Australia menjadi babak baru hubungan kedua negara. Dengan konteks kontestasi elektoral yang terjadi di Indonesia, kerja sama yang tertunda beberapa saat akibat isu perpindahan kedubes Australia dari Tel Aviv ke Yerusalem nyatanya punya dimensi yang berbeda. Apalagi, lembaga survei asal Negeri Kanguru itu, Roy Morgan baru merilis hasil survei yang mengunggulkan calon petahana. Sebuah kebetulan?
PinterPolitik.com
“A secure Indonesia is Australia’s interest”
:: Buku Putih Pertahanan Australia 2016 ::
[dropcap]S[/dropcap]aat publik dalam negeri sibuk mengomentari kasus penangkapan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat, Andi Arief terkait kasus narkoba, sebuah kesepakatan kerja sama penting yang melibatkan negara tetangga di wilayah selatan – Australia – terlihat seperti tenggelam dalam pemberitaan. Padahal, kerja sama ini menjadi hal yang cukup penting untuk disoroti dari berbagai sudut pandang.
Bukan tanpa alasan, pasalnya kesepakatan ini justru lebih banyak disoroti oleh media-media asing.
Portal berita Singapura, The Straits Times misalnya, menurunkan tajuk peristiwa itu dalam bingkai Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) sebagai ujung dari tensi hubungan yang sempat memanas pasca Perdana Menteri (PM) Australia, Scott Morrison mewacanakan pemindahan kedutaan besar negara tersebut di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem beberapa waktu lalu.
Narasi anti-asing yang kerap digembar-gemborkan oleh Prabowo selama kampanye sangat mungkin menggeser haluan kebijakan dan kepentingan banyak negara di Indonesia. Share on XWacana tersebut memang sempat mendatangkan protes di dalam negeri, mengingat Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah salah satu negara yang mendukung penuh kemerdekaan Palestina, dan Yerusalem adalah salah satu wilayah yang masih manjadi basis konflik negara tersebut dengan Israel.
Konteks tersebut juga dipengaruhi oleh situasi dalam negeri jelang kontestasi elektoral Pilpres 2019 yang memang sensitif terhadap isu-isu berbasis identitas – hal yang linear dengan persaudaraan terhadap masyarakat Palestina.
Sementara, nada serupa juga diturunkan oleh portal berita yang berbasis di Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), yang menyebut bahwa kebijakan IA-CEPA yang sudah digodok sejak tahun 2010 ini sangat mungkin menjadi awal kerja sama yang lebih intensif antara Indonesia dengan Australia.
Pasalnya, sekalipun pada tahun 2017 nilai perdagangan antara kedua negara menyentuh angka US$ 11,7 miliar (Rp 165,3 triliun), namun Indonesia hanya menjadi partner dagang terbesar ke-13 dari Australia.
Bagi publik di Indonesia, kesepakatan kerja sama ini mungkin dianggap biasa saja. Secara ekonomis, perjanjian ini bisa menguntungkan dua pihak karena mengeliminasi 100 persen tarif barang asal Indonesia ke Australia, dan 94 persen tarif barang dari Australia ke Indonesia.
Namun, hal ini bisa dilihat dalam dimensi yang berbeda secara geopolitik, terutama dengan konteks kontestasi elektoral yang saat ini tengah berlangsung di Indonesia. Pasalnya, Negeri Kanguru itu selalu punya kepentingan terhadap Indonesia – hal yang bisa dilihat dari arah politik pertahanan negara tersebut dalam Defence White Paper atau Buku Putih Pertahan-nya.
“A secure Indonesia is Australia’s interest”, demikian salah satu kalimat dalam dokumen yang berisi rencana strategis pertahanan negara tersebut. Artinya, jika pergantian kekuasaan melahirkan pemimpin yang menjamin “keamanan” domestik Indonesia, maka kepentingan nasional Australia dengan sendirinya terwujud.
Konteks penandatangan perjanjian ini menjadi menarik karena beberapa hari lalu, lembaga survei ternama asal Australia, Roy Morgan, mengeluarkan hasil survei elektabilitas Jokowi dan Prabowo Subianto, dengan nama terakhir tertinggal cukup jauh dari nama pertama.
Jokowi memperoleh 58 persen suara, sementara Prabowo hanya 42 persen – terpaut hingga 16 persen. Bahkan dalam keterangan resmi lembaga tersebut, sang CEO, Michele Levine menyebut Indonesia akan memilih Jokowi untuk periode kekuasaannya.
Hal tersebut tentu membuat fenomena hubungan kerja sama yang disepakati menjadi hal yang menarik. Mengingat Roy Morgan adalah salah satu lembaga terpercaya, apakah mungkin mengatakan bahwa Australia merasa lebih nyaman jika Jokowi terpilih lagi dan secara tidak langsung menyiratkan adanya dukungan serta keberpihakan politik di dalamnya?
Antara Politik dan Kerja Sama Dagang
Setelah PM Morrison mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2018, ia mendapat tantangan besar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Australia. Pasalnya, di akhir tahun lalu, berbagai analisis menyebut pertumbuhan ekonomi negara tersebut mengalami perlambatan.
Konteks tersebut juga berkaitan dengan investasi dan neraca perdagangan. Pasalnya, partner dagang terbesar Australia di tahun 2018 adalah Tiongkok dengan persentase 29 persen dari total keseluruhan perdagangan negara tersebut dan total nilainya mencapai US$ 74 miliar.
Jumlah tersebut hampir 3 kali lipat nilai perdagangan Australia dengan Jepang di urutan kedua yang hanya 10,3 persen (US$ 26,2 miliar), dan jauh di atas nilai perdagangan dengan Indonesia yang hanya 1,7 persen (US$ 4,3 miliar).
Persoalannya, Tiongkok dikabarkan tengah menerapkan kebijakan pembatasan investasi luar negeri di beberapa sektor, dan salah satu yang terdampak adalah di bidang properti – yang nyatanya menjadi salah satu sektor terbesar dalam kerja sama ekonomi dengan Australia.
Akibatnya akan ada penurunan nilai yang diperkirakan mencapai 26 persen dari total investasi di sektor tersebut. Australia sudah merasakan dampak yang cukup besar dari kebijakan ini mengingat Tiongkok menguasai 38 persen dari total investasi properti di Negeri Kanguru tersebut.
Pembatasan ini juga berpeluang membuat proyek yang sudah dikerjakan menjadi terbengkalai dan merugi. Apalagi Australia masuk dalam 10 besar negara tujuan investasi properti warga Tiongkok. Beberapa analis dan media di Australia menyebut bahwa jika hal ini terus berlangsung, akan ada dampak yang cukup terasa bagi ekonomi negara persemakmuran Inggris tersebut.
Persoalan-persoalan tersebut memang menjadi tantangan Morrison dan ia tentu saja harus melihat peluang lain dari kebijakan luar negeri dengan partner yang bisa digarap, dalam hal ini salah satunya Indonesia.
Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang ditulis oleh Hugh White dari Australian National University yang menyebutkan bahwa Australia perlu mengubah cara pandangnya terhadap Indonesia.
Dari sisi pasar misalnya, Indonesia punya populasi yang cukup besar dan bisa menjadi target pasar komoditas yang masuk dalam 10 besar ekspor negara tersebut, misalnya produk daging dan susu. Selain itu, jarak kedua negara pun relatif lebih dekat. Artinya, ada potensi untuk meningkatkan kerja sama ekonomi tersebut.
Selain itu, Defence White Paper – Buku Putih Pertahanan – Australia tahun 2016 masih menyebut Indonesia secara khusus sebagai “sekutu”. Bahkan Indonesia disebut sebagai negara di Asia Tenggara yang harus dioptimalkan kerja sama pertahanan dan keamanannya, juga dari konteks ekonomi.
Australia juga menyebut Indonesia akan menjadi pemain utama dalam ekonomi global dalam beberapa dekade mendatang. Konteks tersebut memang membuat kerja sama ekonomi yang melibatkan arus barang dan jasa menjadi hal yang bisa menguntungkan dua belah pihak.
Namun, sebagai negara berdaulat, Indonesia juga perlu waspada. Bukan tanpa alasan sosok semacam mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo kerap menaruh curiga terhadap Australia. Pasalnya, negara ini selalu punya kepentingan dalam konteks domestik di Indonesia dan menjadi bagian dari pertarungan proxy yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar lain di kawasan.
“A secure Indonesia is Australia’s interest”, seperti disinggung di awal tulisan, tentu bisa dimaknai secara beragam. Sebab, secara tradisional, Australia melihat Indonesia sebagai “ancaman” yang datang dari utara.
Tetangga Berpengaruh, Dukung Jokowi?
Memang cukup naif untuk melihat konteks survei Roy Morgan yang mengunggulkan Jokowi, dengan kesepakatan kerja sama yang berpotensi meningkatkan nilai keekonomian dua negara.
Apalagi, lembaga survei yang mencontoh Gallup – salah satu lembaga riset opini publik paling berpengaruh di dunia – itu punya rekam jejak yang tak bisa diragukan. Sebagai catatan, Roy Morgan – sang pendiri lembaga tersebut – pernah menghabiskan waktu beberapa tahun di Amerika Serikat dan belajar dari pendiri Gallup, George Gallup.
Artinya, dari sisi kredibilitas survei, memang lembaga itu agak sulit dibantah. Pada Pilpres 2014 lalu, Roy Morgan juga menyebut Jokowi akan memenangkan kontestasi dengan persentase 52 persen berbanding 48 persen milik Prabowo. Hasilnya terbukti dan bahkan marjin prediksi tersebut hanya terpaut 1,15 persen saja.
Sementara, dalam konteks yang lebih besar, sangat mungkin hasil survei tersebut menjadi acuan kebijakan-kebijakan Australia di sisa akhir masa waktu kekuasaan Jokowi – jika dugaan-dugaan tak berdasar macam intervensi Pemilu dikesampingkan.
Australia tampaknya lebih percaya dengan potensi dan program ekonomi di bawah Jokowi yang terlihat lebih menjamin kepastian hubungan dua negara, terutama di bidang ekonomi. Sementara, dengan Prabowo, mungkin saja hal tersebut tidak terjadi.
Publik mungkin ingat pada Oktober 2018 lalu, Prabowo sempat menemui Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan. Ia juga pernah membela Australia terkait wacana pemindahan Kedubes negara tersebut dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Namun, narasi anti-asing yang kerap digembar-gemborkan oleh Prabowo selama kampanye sangat mungkin menggeser haluan kebijakan negara tersebut. Apalagi, Jokowi cenderung lebih akomodatif – hal yang bisa dilihat dari protes Australia terkait rencana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir yang pada akhirnya tak jadi dilakukan.
Pada akhirnya, publik tentu menanti, apalagi hal yang akan terjadi antara Indonesia dan Australia di waktu-waktu yang akan datang. Yang jelas, sampai kapan pun, Australia akan selalu melihat ke utara. Sebab, bagi mereka, “keamanan” di Indonesia akan selalu jadi kepentingan nasionalnya. (S13)