HomeNalar PolitikAtasi Radikalisme, Dudung Perlu Diapresiasi?

Atasi Radikalisme, Dudung Perlu Diapresiasi?

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Dudung Abdurachman menyatakan akan berupaya meredam radikalisme dan terorisme. Wacana ini dikritik banyak orang karena terkesan melanggar tugas dan kewenangan seorang KSAD. Di sisi lain, beberapa pihak justru mendorong Dudung. Tepatkah kemudian inisiatif Dudung kita apresiasi? Apakah ini saatnya TNI terjun memberantas radikalisme?


PinterPolitik.com

Baru satu bulan dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), nama Jenderal TNI Dudung Abdurachman sudah ramai diperbincangkan pengamat pertahanan, politisi, sekaligus warganet Indonesia. Utamanya, kritik muncul akibat pernyataan Dudung terkait sejumlah isu yang menyangkut agama dan radikalisme.

Banyak pihak menilai, Dudung telah bertindak di luar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagai KSAD yang seharusnya adalah membina kekuatan angkatan darat, bukan mengurusi radikalisme dan terorisme yang sebenarnya lebih cocok dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Aad Satria Permadi, seorang dosen psikologi politik dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, dalam tulisannya Jenderal Dudung, Umpan Radikalisme, dan Pawang ‘Macan’ mengkritik pendekatan terhadap radikalisme yang dilakukan Dudung. Contohnya, terkait sikap Dudung pada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua, yang disebut cenderung akan melalukan pendekatan merangkul dan menerapkan pola pikir “tidak berperang”.

Ironisnya, sebut Aad, di sisi lain Dudung justru bertindak lebih keras ketika berhadapan dengan Front Pembela Islam (FPI), yaitu dengan penurunan baliho, lengkap dengan personel TNI. Padahal, FPI tidak bersenjata api dan tidak menyatakan perang kepada NKRI, seperti yang dilakukan KKB Papua.

Meskipun demikian, sejumlah pihak justru mendorong Dudung untuk memberantas radikalisme. Pengamat politik, Jhon Sitorus contohnya, yang mengatakan, tak akan ada tempat bagi kelompok preman berbaju agama di Indonesia jika Dudung mampu memberantas radikalisme.

Lalu ada juga pandangan dari Ketua DPP PDIP, Said Abdullah yang mengatakan Dudung adalah salah satu dari segelintir orang yang mampu bersikap tegas terhadap potensi ancaman radikalisme, sesuatu yang selama ini belum banyak berani dilakukan oleh pemerintah daerah, sebutnya.

Berangkat dari argumen ini, muncul pertanyaan, perlukah Dudung didukung? Dan apakah kita perlu lumrahkan TNI mengurusi radikalisme?

Akibat Ambiguitas Radikalisme

Untuk membaca tepat atau tidaknya keterlibatan Dudung dalam memberantas radikalisme, mau tidak mau kita harus menarik isu ini ke akar dari semua permasalahan yang berkaitan dengan penanganan terorisme, yaitu perbedaan definisi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.

Selama ini, untuk tindak pidana terorisme, Indonesia mengandalkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).

Perlu diketahui bahwa di dalam UU tersebut, meskipun kata “radikalisasi” disebutkan berkali-kali, khususnya dalam Pasal 43, kita sama sekali tidak menemukan definisi dari radikalisme.

Kejanggalan ini juga disorot oleh pengamat intelijen, Ridlwan Habib. Ia mengatakan, karena definisi radikalisme tidak ada, belum ada lembaga negara mana pun yang dapat secara sah menentukan siapa yang radikal, dan apa yang bisa dilakukan kepadanya.

Baca juga :  Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Jika orang kemudian berpandang ke BNPT, ini juga sebetulnya tidak tepat karena BNPT sendiri ditugaskan untuk penanggulangan terorisme. Mereka tidak punya kuasa untuk menentukan pihak mana yang telah menjadi kelompok radikal, ataupun ekstrem, kata Ridlwan.

Di sisi lain, meskipun definisi ekstremisme ada di Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE), pemahamannya masih sangat ambigu. Disebutkan bahwa ekstremisme adalah keyakinan dan atau tindakan, yang menggunakan cara-cara kekerasan, atau ancaman kekerasan ekstrim, dengan tujuan mendukung atau melakukan terorisme.

Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Sidik Sunaryo menilai RAN PE sangat berdasarkan tafsir tunggal pemerintah. Ia menyoroti kata “keyakinan”, yang menurutnya dalam pandangan hukum adalah kata yang tidak rasional, sementara tindak hukum harus berlandaskan alasan-alasan yang rasional.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan Dudung sebetulnya bukan saja tidak sesuai dengan tupoksi TNI, tetapi juga tidak memiliki landasan hukum yang dapat melindungi aksinya dalam menyebut suatu kelompok sebagai entitas radikal.

Lantas, apa hubungan definisi radikalisme dan ekstremisme terhadap tindak pidana terorisme?

Meskipun saling berhubungan, tiga istilah tadi adalah hal yang berbeda. Mengutip pendapat dari ilmuwan politik, Cas Mudde, dalam bukunya The Ideology of Extreme Far Right, radikalisme adalah pandangan yang muncul dari memahami suatu aliran, contohnya keagamaan, secara mendalam, dan kemudian menggunakannya untuk menentang negara, tanpa selalu bertujuan pada penghapusan tatanan yang berlaku.

Penganut radikalisme, tambah Mudde, masih bisa diajak berdikusi dan lebih berhati-hati dalam menentukan tindakannya. Sementara itu, ekstremisme adalah pandangan yang memang bertujuan untuk menyerang negara melalui tindakan kekerasan dan teror.

Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, ekstremisme tidak selalu muncul akibat pemahaman yang mendalam, layaknya radikalisme, tetapi, orang yang pemahaman agamanya dangkal pun bisa disebut sebagai ekstremis jika melakukan kekerasan yang tujuannya menyebar teror dan pesan tertentu.

Fahmi menilai, tindakan atau niatan kekerasan yang muncul akibat ekstremisme inilah yang kemudian seharusnya diartikan sebagai terorisme. Sementara radikalisme, meskipun juga ada potensi kekerasannya, tidak selalu berubah bentuk menjadi aksi teror, bahkan, kelompok-kelompok radikal cenderung lebih bisa ditangani melalui dialog dan persamaan persepsi.

Singkatnya, berangkat dari pemahaman di atas, terorisme adalah bentuk kekerasan yang muncul dari paham ekstremisme. Akan tetapi, terorisme adalah akibat, bukan penyebab.

Sementara itu, Pasal 1 Ayat 2 UU Terorisme mengatakan bahwa terorisme adalah perbuatan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan rasa takut, dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Direktur Imparsial, Al Araf menganggap definisi ini sebagai hal yang multi-interpretatif. Ia khawatir pemahaman terorisme tersebut disalahgunakan untuk menindak kelompok-kelompok yang selama ini kritis terhadap pemerintah, padahal sesungguhnya mereka tidak berniat melakukan kekerasan.

Oleh karena itu bisa disimpulkan, ketiadaan definisi radikalisme serta ambiguitas arti ekstremisme dan terorisme, membuat berbagai pihak, seperti pemerintah kebingungan menanggulangi dan mencegah tindakan teror.

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Lalu, apa yang dapat kita pelajari dari kasus Dudung dan radikalisme?

Revisi Sebelum Terlambat

Apakah kita perlu merevisi definisi terorisme dalam UU Terorisme? Tentu. Tetapi, revisi seperti apa yang dibutuhkan? Melihat keterbatasan penanggulangan terorisme saat ini, sepertinya cukup jelas bahwa pergantian yang perlu dilakukan adalah penyempitan makna terorisme.

Tore Bjørgo dalam bukunya Roots Causes of Terrorism, mengatakan, kita sesungguhnya tidak perlu mencantumkan alasan terorisme dalam pendefinisiannya. Bjørgo menilai, jika memaksakan untuk memasukkan penyebab terorisme dari hal-hal yang sifatnya rentan dimultitafsirkan seperti politik, kemiskinan, dan pengaruh globalisasi, ke dalam definisi terorisme, itu akan membuat upaya pemberantasannya mengalami dead-end atau kebuntuan.

Apa yang seharusnya dilakukan adalah, memfokuskan definisi terorisme ke sebatas metode atau strategi kekerasan, dan bukan lagi membahas ideologinya, karena seringkali terorisme justru terjadi secara sporadis, hanya karena ketidakpuasan individu, misalnya. Lalu, terorisme harus dimaknai sebagai tindakan yang melibatkan penggunaan perencanaan kekerasan terhadap sipil untuk mencapai efek psikologis berupa teror pada masyarakat yang tidak menjadi korban langsung dari tindakan kekerasannya.

Definisi seperti ini sesungguhnya sudah diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengartikan terorisme sebagai tindakan kriminal yang menimbulkan teror di masyarakat umum, oleh kelompok atau individu tertentu, apa pun pertimbangannya, entah itu untuk politik, filosofi, ideologi, ras, etnis, agama atau hal lain yang dapat dimanipulasi untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka.

Sementara itu, hal yang sebetulnya perlu ditambahkan dalam UU Terorisme adalah pembatasan jelas tentang radikalisme seperti apa yang bisa disebut sebagai tindakan ekstremisme yang mengarah ke terorisme. Karena sesuai dengan apa yang sudah dibahas di atas, tidak semua bentuk radikalisme bisa diartikan sebagai ancaman teror yang membahayakan publik.

Terkait agama, sebagai faktor yang paling sering dikaitkan dengan terorisme, saran dari Ridlwan untuk mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang radikalisme bagaimana yang dilarang dalam Islam, tampaknya bisa menjadi masukan yang cukup menarik.

Dengan demikian, tindakan kontroversial seperti yang dilakukan Dudung terhadap radikalisme dapat lebih bisa ditelaah benar atau salahnya. Di sisi lain, dengan adanya definisi yang jelas mengenai radikalisme berbahaya dan yang tidak, BNPT dapat menjadi lembaga yang lebih kuat dalam mengatasi dan mencegah tindakan terorisme di Indonesia.

Sebagai kesimpulan, mulai masuknya TNI dalam pencegahan radikalisme dan terorisme menjadi pertanda bahwa pendefinisian radikalisme dan terorisme adalah urgensi yang harus cepat-cepat ditangani.

Mengutip pandangan Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, campur tangan TNI dalam urusan sipil seperti radikalisme dan terorisme, berpotensi mencederai nilai demokrasi itu sendiri.

Maka dari itu, TNI perlu kembali pada tupoksinya agar ruang-ruang sipil dapat terjaga, dan negara tidak salah sasaran dalam menangani radikalisme dan terorisme. (D74)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?