Usulan ASN untuk mengikuti komcad mendapat atensi cukup besar. Bagaimana tidak, ASN yang sudah mempunyai tugas pokok dalam pelayanan publik dirasa akan terganggu, jika mengikuti pelatihan komcad yang punya konsekuensi terhadap tugas pokoknnya. Lantas, untuk apa urgensi ASN menjadi Komcad?
Pada 27 Desember 2021, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Reformasi, dan Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 27 Tahun 2021 yang isinya mendorong Aparatur Sipil Negara (ASN) mengikuti pelatihan komponen cadangan (komcad).
Jika menelisik SE-nya, disebutkan bahwa ASN didorong untuk berperan serta mengikuti pelatihan komponen cadangan dalam rangka mendukung upaya pertahanan negara. Namun demikian, Tjahjo menegaskan bahwa pelatihan komponen cadangan bagi ASN bersifat sukarela dan tidak wajib.
Namun lebih lanjut, Tjahjo mengatakan bahwa program komcad bagi ASN bertujuan untuk mendisiplinkan para pegawai pemerintah. Sebab, ia mengungkapkan, masih banyak ASN yang tidak disiplin, mulai dari menyalahgunakan wewenang hingga terpapar paham radikal.
Di sisi lain, Ardi Manto Adiputra, Koordinator Program Imparsial, mempertanyakan pentingnya perekrutan komcad dari kalangan ASN. Ia menilai bahwa pelibatan ASN dalam komcad akan mengganggu pelayanan publik yang jadi tugas utama ASN saat ini.
Senada dengan penolakan itu, Tasdik Kisnanto, Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengatakan, ada kekhawatiran bahwa karier pegawai negeri yang bertugas di komponen cadangan akan diabaikan. Ditambah lagi, jika terjadi pergantian rezim kepemimpinan, maka akan semakin terombang ambing nasib ASN ini.
Lantas, apakah keterlibatan warga sipil, yang dalam konteks ini ASN sebagai komponen cadangan pertahanan negara merupakan sebuah preseden buruk?
Baca juga: Komcad Bukan Kartu As Prabowo?
Memahami Komcad
Jika kita telusuri konstruksi hukumnya, komcad ini adalah amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN). Di sana komcad disiapkan untuk dapat dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
Selain komponen cadangan, UU PSDN juga mengatur soal komponen pendukung (komduk). Ini adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Nah, dalam kondisi mobilisasi, komduk ini bisa ditingkatkan statusnya menjadi komcad. Artinya, komcad adalah total komcad hasil rekrutmen ditambah komduk yang dimobilisasi.
Komponen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU 23/2019 terdiri atas; (a.) anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; (b.) warga terlatih; (c.) tenaga ahli; dan (d.) warga lain unsur Warga Negara. Selain anggota kepolisian yang kita tahu merupakan institusi yang melatih semi militer anggotanya, perlu penjelasan tentang tiga bagian lain, yaitu warga terlatih, tenaga ahli, dan warga lain unsur Warga Negara.
Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan “warga terlatih” adalah warga negara yang terlatih dan terorganisasi dalam lembaga pemerintah atau lembaga non-pemerintah sesuai dengan kebutuhan dan tujuan organisasi yang siap menjadi komponen pertahanan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan “tenaga ahli” adalah warga negara yang mempunyai keahlian sesuai dengan bidang ilmu pengetahuan yang ditekuni. Pengelompokan tenaga ahli ditentukan sesuai dengan kecabangan komponen utama dan komponen cadangan untuk kepentingan pertahanan negara.
Dan yang terakhir, yang dimaksud dengan “warga lain unsur Warga Negara” adalah warga negara yang tidak termasuk dalam komponen utama, komponen cadangan, warga terlatih, dan tenaga ahli tetapi memenuhi syarat secara fisik dan psikis untuk menjadi komponen pendukung. Warga lain unsur warga negara salah satunya adalah ASN.
Secara substansi, perekrutan warga sipil sebagai bagian dari komponen cadangan yang diatur dalam UU PSDN bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2). Warga sipil yang akan menjadi bagian komponen cadangan akan mengikuti latihan dasar kemiliteran yang sifatnya wajib selama tiga bulan, ini tertulis pada Pasal 35 ayat (1). Dan mereka yang bisa ikut berumur 18 hingga 35 tahun yang dituliskan di Pasal 33 ayat (2).
Pasca-pelatihan dasar kemiliteran mereka wajib ikut dalam masa pengabdian dengan status aktif (masa pelatihan, penyegaran, dan mobilisasi) dan masa tidak aktif, yakni masa pengabdian dengan melakukan pekerjaan semula. Usia 48 tahun adalah masa pengabdian tertua sebagai komponen cadangan.
Well, singkatnya, mengacu pada peraturan hukum yang ada, tidak ada masalah dalam terkait SE yang mendorong ASN untuk ikut dalam komcad. Lantas, peran seperti apa yang sebaiknya dilakukan oleh ASN yang tergabung dalam komcad?
Baca juga: Menanti Aksi Menpan-RB Tjahjo Kumolo
Urgensi ASN di Komcad?
Khairul Fahmi, Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), mengatakan bahwa sebenarnya kehadiran ASN berdasarkan UU 23/2019 memang sudah selayaknya ada karena merupakan komponen pendukung pertahanan negara. Harapannya, mereka disiapkan agar sewaktu-waktu dapat dimobilisasi.
Fami melanjutkan, jadi sebenarnya tidak ada yang salah dari program itu, kecuali yang kita pertanyakan adalah prioritas dan urgensinya. Sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan soal penggunaan komcad untuk hal-hal di luar ancaman militer dan hibrida. Apalagi Presiden juga sudah berulang-ulang menegaskan dalam amanatnya.
Yang perlu diperhatikan adalah, meski mekanisme rekrutmen dan pengawasan personel komcad sudah diatur dalam UU PSDN maupun peraturan-peraturan turunannya, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) juga tetap harus mengantisipasi potensi dampak sosial yang mungkin hadir dari pembentukan komcad. Setidaknya terdapat dua dampak yang dikhawatirkan.
Pertama, jika tidak terkelola dengan baik, hal itu sama saja sedang menyiapkan munculnya potensi kriminalitas dan gangguan keamanan baru yang mungkin saja muncul dari hadirnya ‘pengangguran’ yang memiliki keterampilan dasar militer.
Dijelaskan dalam UU PSDN, komcad memiliki masa aktif dan tidak aktif. Masa aktif adalah saat komcad dilatih dan dimobilisasi. Saat itu bahkan hukum militer berlaku untuk mereka. Sedangkan untuk masa tidak aktif dimulai seusai pelatihan hingga saat mengikuti latihan penyegaran maupun mobilisasi.
Masalahnya, mobilisasi komcad juga akan sangat tergantung pada kebutuhan terhadap ancaman yang disebutkan tadi. Bisa dalam waktu dekat, masih lama atau bahkan malah tidak pernah diaktifkan sama sekali hingga masa pengabdian si personel komcad berakhir pada usia 48 tahun.
Jika kita amati secara sosiologis, argumen pertama Fahmi ini ingin mengatakan bahwa mereka yang dilatih secara kemiliteran selama tiga bulan juga perlu dilihat dampak kelanjutannya. Mereka yang sudah terlatih dengan dasar kemiliteran jika tidak terkontrol tentu dapat berdampak pada aspek keamanan.
Jangan sampai latihan dasar kemiliteran justru menjadi tempat dan ajang untuk pelatihan gratis bagi para pelaku kejahatan seperti kelompok terorisme, separatisme, dan kelompok kejahatan lainnya.
Baca juga: Tjahjo Enggan PNS Banyak Libur?
Kedua, Fahmi juga melihat bahwa salah satu kelemahan UU PSDN adalah adanya pembatasan penggunaan komcad yang hanya untuk penanganan ancaman militer dan hibrida. Padahal mengacu pada kondisi hari ini saja, kita jelas sangat membutuhkan kehadiran banyak sumber daya untuk penanganan wabah penyakit yang sebenarnya dalam UU PSDN juga telah disebutkan sebagai salah satu bentuk ancaman bagi pertahanan negara.
Pandangan kedua Fahmi ini sekiranya sangat penting. Alih-alih bersandar pada argumentasi bahwa masih banyak ASN yang tidak disiplin, menyalahgunakan wewenang, hingga terpapar paham radikal, Fahmi melihat faktor ASN menjadi komcad dapat menjadi bantuan tenaga dan sumber daya untuk penanganan pandemi yang saat ini sedang kita hadapi. (I76)
Baca juga: Tjahjo Lindungi Ganjar?